Thursday, 26 September 2013

Tentang "yang eksperimental".


Foto dari workshop Ardi Gunawan, Playing with Mirrors, 23 - 25 September 2013, Galeri Nasional Jakarta.

Setelah mengunjungi pameran seniman residency yang diselenggarakan oleh Galeri Nasional dan ruangrupa, satu pertanyaan muncul: apa yang dimaksud dengan “yang eksperimental”?

Dalam kesenian, praktik “eksperimental” tumbuh dari semacam kebosanan atas melakukan hal-hal yang sudah dilakukan sebelumnya secara berulang-ulang, dari semacam keingin-tahuan untuk melakukannya dengan cara yang belum pernah dilakukan, dan hasil apa yang akan berkembang darinya.

Yang menjadi problematis adalah ketika praktik “eksperimental” menjadi sebuah topeng dari paradigma “anything goes”: apa saja boleh. Disini, yang terpenting adalah pembangkangan dari pemikiran-pemikiran yang dianggap sudah memapan, peruntuhan batas-batas yang tadinya diasumsikan permanen, dan pencobaan atas hal-hal baru dengan alih-alih “kenakalan”, “kejailan”, dan sebagainya. Tujuan dari eksperimentasi itu sendiri menjadi tidak penting, karena “bereksperimen” sudah menjadi suatu tujuan yang valid pada sendirinya. Upaya untuk mendefinisikan tujuan dari eksperimentasi terlihat kolot dan tidak sesuai, karena takut akan membatasai sifat eksperimentasi yang seharusnya tidak terbatas itu.

Tapi ketika kita melihat kembali impetus utama untuk melakukan eksperimen, sebenarnya terdapat sebuah tujuan yang jelas: untuk mengartikulasikan ide, gagasan, dan moda yang sebelumnya tidak pernah diartikulasikan. Ini, maka dari itu, adalah tujuan dari eksperimentasi yang melampaui tindakan atau aksi eksperimen itu sendiri.

Ketika tujuan seperti ini sudah dipertegas, maka kita bisa mengevaluasi apa iya sebuah praktik eksperimental dapat terbilang sukses. Tentu saja, ini melampaui dikotomi reduktif tentang “baik” dan “buruk” – misalnya, ada karya yang “baik” dan yang “buruk”. Melainkan, penetapan tujuan seperti ini menjadi semacam parameter untuk mempertanggung jawabkan bahwa sebuah praktik memang benar bersifat “eksperimental” - dan kalau ya, apa hal baru yang diutarakan olehnya? Dan untuk mengukur "yang baru" ini, sudah jelas bahwa harus ada pengetahuan yang luas dan dalam tentang "yang lama", yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.

Yang banal, yang "tolol" dan tidak "intelektual", yang  keseharian – ini adalah tema-tema yang seringkali diusung oleh praktik-praktik seni yang “eksperimental” di Jakarta. Namun dalam wacana seni global yang lebih luas, persoalan macam ini sebenarnya sudah menjadi persoalan pokok pergulatan para praktisi selama berdekade-dekade. 

Ah, banyak sekali yang bisa dibicarakan tentang ini. Akan berlanjut di posting berikutnya. 

Tuesday, 3 September 2013

Versi "unedited" dari artikel tentang Setouchi Triennale yang diterbitkan di Tempo, 2 September 2013.


Hari Senin kemarin, Tempo menerbitkan artikel saya tentang Setouchi Triennale. Dibawah ini adalah versi asli yang saya kirim, yang belum ter-edit.




Setouchi Triennale 2013:
Pertarungan sebuah Festival Seni

Mengkritik praktek seni kontemporer yang cenderung ‘urban-sentris’.


Sebuah festival seni menjadi menarik ketika semangat pertarungan tersirat di segala aspeknya, mulai dari tahap persiapan hingga pelaksanaan. Di dalam dunia seni kontemporer dimana semuanya seakan serba mungkin, upaya untuk memenuhi ambisi yang nyaris mustahil akan menonjol. Setouchi Triennale (ST) 2013 , sebuah festival seni yang diselenggarakan di 12 pulau di daerah Laut Pedalaman Seto di Jepang, adalah satu festival seni dengan atmosfir yang sarat akan gejolak perjuangan.

Di satu sisi, festival ini ingin menawarkan sebuah alternatif dari praktek seni kontemporer yang ada, yang cenderung berpusat pada wilayah urban. Ia mempertanyakan, apakah praktek ini dapat berlangsung ditengah kekerasan wilayah rural.

Seniman yang berdomisili di kota kerap mengandalkan kenyamanan fasilitas yang tersedia, misalnya untuk membeli material untuk berkarya. Ketimbang pelosok pedesaan, ruang galeri yang lazim digunakan untuk pameran di kota-kota juga lebih mudah diatur. Menurut penyelenggara festival, resiko dan potensi yang disimpan oleh wilayah rural penting untuk dijelajah praktek seni kekinian.

Di sisi lain, ST bermisi memberikan nafas baru ke sebuah daerah terpencil, dengan mayoritas penduduk yang sudah lanjut usia dan industri lokal yang hampir punah. Pernyataan dari Fram Kitagawa, Direktur dari Setouchi Triennale – bahwa ST ingin “menaruh senyum di wajah-wajah penduduk yang sudah tua” – seakan merangkum ambisi festival tersebut.

Pada kenyataannya, meyakinkan warga setempat bukan hal yang mudah. Ada kesangsian apakah festival ini tak hanya akan mengobrak-abrik ketenangan mereka. Tak bisa disangkal, jika ada salah langkah maka ST dapat menjadi pedang bermata ganda.

ST, yang berlangsung selama musim semi, panas, dan kemarau, memang memiliki banyak daya tarik yang istimewa. ‘Berlompat’ dari satu pulau ke pulau berikutnya diantara lautan Jepang yang jernih, ditambah dengan ‘eksotisme’ desa-desa setempat, adalah suatu pesona tersendiri.

Meski menjadi bagian dari daerah yang sama, fakta geografis tetap memberikan identitas yang unik untuk tiap pulau. Ambil contoh industri yang berkembang di masing-masing pulau. Teshima, yang namanya berarti “kaya”, adalah pulau yang kaya akan air sehingga penduduk dapat mengolah sawah disana. Lain dengan Shodoshima, yang terkenal dengan produksi batu granit dan perkebunan buah zaitun. Di Megijima, mayoritas penduduk adalah peternak. Sementara, penduduk pulau lain menghidupi diri mereka sebagai nelayan.

Dengan jumlah penduduk sebanyak 30.000 orang, Shodoshima adalah pulau terbesar kedua di area ini. Ogijima adalah pulau yang jauh lebih kecil dengan total populasi 160 orang, yang hidup berdesakan diantara kelokan setapak yang terjal dan curam.

Kendati ukurannya, Ogijima menjadi rumah untuk lebih dari  20 karya kontemporer. Diluar Setouchi Triennale Ogijima memang terbilang jarang dikunjungi turis, yang menjadikannya semakin menarik perhatian semasa festival berlangsung.



Figure 1 Pemandangan ketika ferry mendekati pelabuhan di Ogijima. Foto: Dokumentasi penulis.


Figure 2 Dream Cafe, bagian dari karya Takeshi Kawashima. Disini tersedia beberapa fasilitas untuk pengunjung seperti toko dan toilet. Foto: Dokumentasi penulis.

Terlebih dari itu, Setouchi Triennale juga menawarkan pengalaman yang bertolak belakang dari biennale dan triennale dunia yang lain, yang cenderung terkesan seperti sebuah pertunjukan akbar dengan dana tak terhingga yang akhirnya justru mengasingkan warga setempat. Di ST, mayoritas karya yang ada, hasil dari 200 seniman yang berasal dari 24 negara, melibatkan warga setempat dalam berbagai cara. Semangat kolaborasi jugaseakan menjadi roh yang menghidupi festival ini.

Tapi apakah sebuah festival seni yang diadakan setiap tiga tahun sekali dapat menawarkan solusi yang berkelanjutan bagi daerah yang terlibat? Bisa dikatakan inilah pertarungan terbesar Setouchi Triennale, yang pertama kali diadakan di tahun 2010. Saat itu, mereka harus menghadapi skeptisisme warga yang beranggapan bahwa acara seperti itu hanya akan menganggu ketentraman hari tua mereka.

Anggapan seperti ini mulai berubah ketika mereka menimbang pulau Naoshima, yang menjadi populer sebagai situs karya seni dan beberapa museum. Dukungan signifikan terhadap Naoshima datang dari Tetsuhiko Fukutake, pendiri Benesse Corporation, salah satu perusahaan pendidikan terbesar di Jepang. Di tahun 1992, Benesse House dibuka untuk publik sebagai ruang pamer karya seni kontemporer dan penginapan.

Situs ini kemudian berkembang, hingga berdirilah Chichu Art Museum di tahun 2009 dan Lee Ufan Museum di tahun 2010. Kedua bangunan ini dirancang oleh arsitek ternama asal Jepang, Tadao Ando. Hingga, tak heran jika pulau ini menjadi situs ‘peziarah’ karya Ando, yang juga membangun The Tadao Ando Museum disana.

Tak hanya dirancang oleh Ando, ChiChu Art Museum juga menyimpan koleksi karya-karya tokoh Impresionisme Perancis Claude Monet dan seniman Amerika James Turrell, yang terkenal karena ‘bermain-main’ dengan ruang dan cahaya. Selain itu, Naoshima juga menjadi lokasi dua ‘labu raksasa’ karya seniman perempuan Jepang yang kontroversial, Yayoi Kusama.

Ini adalah sebagian dari alasan naiknya popularitas Naoshima. Tergiur akan hal ini, jumlah pulau di daerah ini yang ikut serta dalam Setouchi Triennale 2013 meningkat dari hanya 7 pulau di tahun 2010. Ternyata, perjuangan untuk mendapatkan kepercayaan dan kerja sama dari penduduk membuahkan hasil. 

Visi Tetsuhiko Fukutake untuk mengembangkan Naoshima juga diteruskan oleh putra tertuanya, Soichiro. Tahun ini, diresmikanlah Fukutake House, sebuah ruang pamer untuk karya-karya hasil kolaborasi seniman dan institusi dari Asia.  Terletak di desa Fukuda di pulau Shodoshima, bangunan Fukutake House menggunakan gedung sekolah yang sudah terbengkalai.


Figure 3 Suasana konferensi pers di peresmian Fukutake House. Foto: Dokumentasi penulis.

Untuk tahun pertama mereka, Fukutake House mengundang 7 institusi seni dan budaya dari beberapa negara, yaitu Rumah Seni Cemeti (Indonesia), Asialink (Australia), Hong Kong Arts Centre (Cina), Institute for Historical Resources Management (Taiwan), Jim Thompson Art Centre (Thailand), Seoul Art Space GEUMCHEON (Korea), dan The Substation (Singapura). Tiap institusi kemudian diminta untuk mengundang seniman dan kurator untuk menyelesaikan sebuah projek sesuai dengan tema yang ditentukan. Kali ini, Fukutake House memberi tema besar, “Bagaimana Kita telah Menanggapi Globalisasi?”

Untuk mewakili Indonesia, Rumah Seni Cemeti mengundang Irwan Ahmett. Karyanya yang berjudul A Vulnerable Bubble adalah hasil berkolaborasi dengan Ismal Muntaha, Tita Salina, Muhammad Fatchurofi, dan Tedi En. Diawali dengan mengobservasi desa Jatisura, Irwan mulai mendapatkan gagasan-gagasan mengenai persoalan yang dialami wilayah pedesaan ditengah pusaran globalisasi.

Ini kemudian dibandingkan dengan situasi di Fukuda. Melalui dialog dengan warga, staf pengurus Fukutake House dan juga para partisipan Setouchi Triennale, ia mulai memahami masalah-masalah genting yang juga dihadapi oleh penduduk desa itu. “Isu usia tua hingga isu radioaktif senantiasa menjadi percakapan menarik selama saya disana...” Irwan menjelaskan.
   

Figure 4 Karya Irwan Ahmett, A Vulnerable Bubble, ditengah pengunjung. Foto: Dokumentasi Rumah Seni Cemeti.

Tentang pengalamannya disana, Irwan berkata, “Event khusus wilayah Asia di Fukutake House semakin membuka mata saya tentang potensi seni Indonesia dalam peta Asia, juga memperkuat network dan visi praktek berkesenian saya."

Pada saat pembukaan Fukutake House, terlihat banyak warga setempat memberi bantuan dalam penyelenggaraan. Namun partisipasi mereka melampaui sekadar bantuan pendukung. Mereka juga memiliki peran penting dalam riset dan produksi karya para seniman.

Misalnya pada karya seniman Hong Kong, Jaffa Lam Laam, yang membuat instalasi ruang tentang memori penduduk akan sekolah tersebut. “Kebanyakan warga disini adalah alumni sekolah ini, mulai dari yang muda hingga yang tua. Saya mengundang mereka untuk menyanyikan himne sekolah ini untuk saya rekam...” ujar Laam, yang diundang oleh Hong Kong Arts Centre.

Menilai dari ST pertama dan kedua, memang terlihat perkembangan penting dalam segi revitalisasi kawasan-kawasan yang nyaris dihancurkan polusi seperti Teshima, atau daerah terlupakan seperti Fukuda di Shodoshima. Festival ini juga terlihat mampu mengkikis resistensi warga akan kegiatan budaya tersebut.

Namun apakah perkembangan ini terjadi secara organis tanpa imposisi terhadap warga setempat dan gaya hidup mereka? ST pertama mampu meraih 1 juta pengunjung, jumlah kaki yang banyak untuk menginjak wilayah pedesaan yang relatif tak tersentuh itu. Jelas, dampak jangka panjang akan ‘turisme-kesenian’ seperti ini tetap harus dipertimbangkan secara matang.

Jika tidak, realita Setouchi Triennale akan menusuk misi utamanya sendiri. Setouchi Triennale memang harus bergumul dengan dua wajah pembangunan, yang membawa janji permajuan seiring dengan resiko kontaminasi alam dan gaya hidup penduduk yang sudah ada.

Pertarungan Setouchi Triennale yang lain adalah upaya meyakinkan masyarakat seni dunia untuk menyadari pentingnya praktek seni kontemporer untuk mengarahkan mata ke daerah pedesaan. Terlebih lagi dengan maraknya ideologi ‘kota kreatif’ di seluruh pelosok dunia saat ini. Paradigma urbanisasi telah mendominasi praktek seni kontemporer, dan masih belum pasti apakah ST memiliki kapasitas untuk memutarbalik arah ini.

Memperhatikan praktek seni yang kian menjadi ‘urban-sentris’, pesan yang disuarakan oleh Setouchi Triennale terdengar semakin penting. Bisa jadi bahwa kembali memperhatikan kawasan rural adalah langkah ke depan untuk praktek seni kontemporer.

Tak salah jika Setouchi Triennale seakan menganggap bahwa sudah bukan waktunya lagi untuk terus merayakan pencapaian perkotaan, dan menciptakan karya dan festival seni sebagai tugu perayaan tersebut. Menghiraukan wilayah yang tertinggal dan memperhatikan hubungan antara manusia dan alam bagian dari pertarungan Setouchi Triennale. Terlepas dari kesan idealisme fantastis belaka, ini adalah misi yang patut diperjuangkan. 


Jakarta, 14 Agustus 2013.