Wednesday 28 December 2011

To Build is to Destroy


(* All photos are Evelyn Pritt's. For more info on her, go here and here. Many thanks, pel, for letting me put this here.)

The photographs in this collection represent the changing topographic contours of a particular landscape as it becomes subject to development. The paradoxical dynamic of land development is the central theme that interests Pritt. To develop doesn’t simply mean to cause growth or expansion, but also to demolish and take apart what was already there. The act of building, in other words, essentially implicates destroying.

Foto-foto di koleksi ini adalah representasi akan perubahan bentuk topografis sebuah lahan yang sedang menjadi objek pembangunan. Dinamika pembangunan yang penuh paradoks adalah tema utama yang menjadi daya tarik untuk Pritt. Membangun tidak semata berarti menghasilkan pertumbuhan atau pengembangan, tapi juga membongkar dan memporak-poranda apa yang sudah ada disana. Tindakan membangun, dalam kata lain, pada dasarnya selalu melibatkan tindakan memusnahkan.

Pritt’s ‘no-frills’ approach presents a unique way of inviting the viewer’s contemplation. Although it is essentially a response to the social practice of human’s intervention into natural environment, the observatory tone remains detached and objective rather than overly sentimental. The neutrality of the photographer’s eye represents these places in their own terms, uncluttered by emotional excess. Pritt’s account is above all else documentative, offering a detailed accuracy and stark reportage stylization.

Pendekatan Pritt yang tanpa ‘embel-embel’ menghadirkan sebuah cara unik untuk mengundang renungan. Meskipun foto-foto ini sebenarnya adalah sebuah tanggapan terhadap praktek sosial campur tangan manusia pada lingkungan alam, nadanya yang ‘dingin’ dan penuh observasi tetap objektif. Pandangan si fotografer yang netral menggambarkan tempat-tempat ini tanpa beban emosional. Karenanya, foto-foto ini terlihat seperti sebuah dokumentasi, menawarkan ketelitian mendetil dan gaya reportase yang jujur.



The impersonal air evoked in these photographs is also created by the lack of human figures. Yet their presence may still be sensed through the representations of their needs and ambitions. It is a person’s specific way of life that requires the motorcycle in the photo above, for instance, just as the construction occurring here is a product of the human will towards progress. Even though the person is absent in the photographs, he remains thoroughly felt.

Suasana ‘berjarak’ yang hadir disini juga terbangun karena tidak adanya figur manusia. Tetapi keberadaan mereka tetap bisa dirasakan melalu representasi akan segala kebutuhan dan ambisinya. Misalnya, gaya hidup seseorang yang membutuhkan sepeda motor di foto diatas ini atau konstruksi yang terjadi sebagai produk keinginan manusia akan perkembangan. Biarpun tidak ada manusia disini, kehadirannya tidak dapat dipungkiri.

Impersonal yet intimate, the photographs in this collection beckon us to reflect upon a pressing contradiction that is inherent in the human drive to develop: how do we negotiate the thin line between building and destroying?

‘Berjarak’ namun tetap intim, foto-foto ini mengajak kita untuk mempertanyakan sebuah kontradiksi mendesak yang melekat pada kemampuan manusia untuk membangun: bagaimana kita menegosiasi garis yang tipis antara membangun dan menghancurkan?

Jarak


Candida Hofer

One of the things I like best about German photography after the Bechers (quick Wiki here) is the avoidance of sentimentality. To my eyes, this emphasis on detached neutrality allows so many readings to be introduced. In this way it highlights the impossibility of a totalised, definite understanding of things. Our perspective is loaded with limitations, and and never remains static. But alongside this, the various manipulation techniques used here also come across as a mockery towards objective neutrality itself: what we take to be 'reality' or the 'truth' turns out to be manipulated. A contradiction that speaks of a specific era in history.

Salah satu hal yang paling menarik dari Fotografi Jerman setelah Bernd dan Hilla Becher (wiki disini) adalah penghindaran dari sentimentalitas berlebihan. Di mata saya, fokus pada 'jarak' dan 'netralitas' mempersilahkan begitu banyak interpretasi. Dengan begini, foto-foto ini menekankan tidak mungkin adanya sebuah pengertian yang absolut dan pasti. Perspektif manusia sarat dengan segala keterbatasan, dan tidak henti bergerak. Tapi disamping ini, bermacam teknik manipulasi yang digunakan terlihat seperti ejekan terhadap keinginan akan objektifitas yang netral sendiri: apa yang kita lihat sebagai 'kenyataan yang benar' ternyata hasil manipulasi. Sebuah kontradiksi yang melambangkan suatu era historis yang spesifik.


Thomas Demand

Thomas Struth


Tuesday 27 December 2011

Sarang

Di posting sebelumnya, saya mengatakan pentingnya ‘mengupas’ ke-manusia-an dengan mempertanyakan bagaimana subjektifitas seseorang terbentuk. Subjektifitas tersusun dari bagaimana seseorang berinteraksi dengan ruang sekitarnya, sebuah interaksi yang dialami sebagai 'suasana'. Ini adalah persoalan yang harus dikaji secara fenomenologis. Untuk memulai analisa, sebuah pertanyaan awal dirumuskan: bagaimana ‘suasana’ terbentuk?

Melihat sekilas dari beberapa kamus, ada beberapa ungkapan dan kata kunci yang timbul: ‘the atmosphere of a place’, misalnya. Ditemukan juga bahwa sebuah kata yang bersangkutan, ‘ambiance’, ternyata berasal dari rumpun kata Perancis ‘ambiant’, yang berarti ‘surrounding’ atau ‘yang mengelilingi’. Ini adalah petunjuk atau clue yang unik. Apa yang mengelilingi kita, kalau bukan ruang? Benda-benda, orang lain, berbagai situasi… semua ada di sekitar kita ‘didalam’ suatu ruang. Contoh:



Langkah analisa selanjutnya adalah untuk menjelaskan bagaimana sebuah suasana terbentuk, melalui deskripsi akan ruang dimana pengalaman itu berlangsung. Pertanyaan awal yang abstrak tadi mulai menjadi lebih konkrit. Deskripsi singkat tentang bentuk fisik ruang ini dapat menyatakan ukuran dan isi: taman sebesar 2.5 x 7 meter, jenis tumbuhan tropis seperti palem dan kamboja, bangku dari kayu, pagar dari semen, dan dibelakangnya terlihat konstruksi rumah yang sedang dibangun.

Tapi, tugas untuk mendeskripsikan ruang menjadi lebih rumit jika dirumuskan sebagai berikut: ‘bagaimana ruang ini dialami oleh saya?’ Berbeda dengan sekadar pertanyaan ‘ruang apa’, yang mengundang penjelasan secara umum. Disini ‘saya’ menjadi kata kunci. Karena ‘ruang’ tidak lagi bisa dijelaskan secara objektif, berdasarkan observasi quantitatif tentang ukuran dan isi saja. Deskripsi objektif, yang sering menjadi ‘alat’ ilmiah, tampak tidak memadai untuk usaha mengetahui pengalaman saya akan ruang ini, karena mengabaikan aspek-aspek lain yang ada disini.

Aspek-aspek apa lagi yang ‘ada’ di ruang ini, diluar bentuk fisiknya? Pertama, sudut pandang tubuh seseorang. Saya menatap ruang ini dari posisi duduk dihadapannya; jika saya duduk menyimpang, atau berada diluar pagar dan bukan didalamnya, tentu akan membuahkan sebuah sudut pandang yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa sudut pandang seseorang terbatas dan unik – tidak ada sudut pandang lain yang cakupannya sama persis dengan posisi saya sekarang ini. Posisi duduk ini terkait dengan ‘keunikan’ subjektif lain seperti habit atau kebiasaan: saya tidak suka duduk membungkuk, dan kerap memicingkan mata jika memperhatikan sesuatu. Hal-hal sederhana ini membuat perspektif yang unik, yang milik tubuh saya sendiri.



Kedua – dan ini terkait dengan poin pertama – menyangkut waktu. Sudut pandang saya tidak hanya terdiri dari posisi tubuh tapi juga posisi waktu: saya ada di ‘ruang’ ini (here), di ‘saat ini’ (now). Waktu pada jam mengatakan: Senin, 26 Desember 2011, 10.32 pagi. Tapi ini adalah waktu objektif, calendar-time. Bagi saya, ‘waktu’ dialami - misalnya - sebagai urutan tugas-tugas yang saya harus lakukan hari ini: jam 11.30 berangkat dari rumah untuk bertemu teman, malam hari saya akan makan di sebuah restoran bersama keluarga, sepulang dari sana saya akan mencoba menyelesaikan tulisan yang sudah saya janjikan. Waktu objektif – yang tertera di kalender dan jam dinding – bertaut dengan waktu subjektif, dan menjadi suatu pengalaman akan waktu yang unik untuk saya.

Ditelusuri lebih jauh, ‘waktu subjektif’ menunjuk tidak hanya kepada daftar tugas yang harus saya lakukan hari ini, tapi juga memori – ingatan akan waktu yang sudah lewat. Misalnya: di ruang ini, saya mengingat taman di rumah terdahulu yang sebelumnya pernah saya huni. Selain memori, ada juga imajinasi. Saya mulai membayangkan taman apa yang akan saya bangun untuk rumah saya di masa depan. Ruang ini terbingkai oleh pengalaman subjektif saya akan hukum umum tentang tiga aspek waktu – yang lalu, yang sekarang, dan yang akan datang.

Hal-hal seperti ini terlihat sepele dan sering diabaikan. Padahal, bagaimana seseorang memaknai dunianya beranjak dari pengalaman-pengalaman ini. Saat saya duduk disini, berkat lapisan kebiasaan, jadwal, memori dan imajinasi – yang menyatu di tubuh saya – suatu suasana yang unik hadir. Inilah yang dimaksud oleh terminologi teknis fenomenologi dengan 'lived experience': bagaimana ruang di'hidupi' oleh si subjek. Bagi saya, ruang ini, di saat ini, adalah sarang. Pernyataan ini bukan metafora: ruang ini tidak seperti sarang, tapi adalah sarang. Suatu wadah untuk menaungi kompleksitas hubungan timbal balik antara ruang dan tubuh, antara seorang subjek dan dunianya.

Friday 23 December 2011

Wild Bodies



Satu terobosan ideologi yang menjadi karakteristik contemporary critical thinking sejak kurang lebih 30 tahun yang lalu adalah apa yang disebut Ed Soja ‘the spatial turn’ (Lihat Thirdspace...) ‘Putaran’ ideologis kearah spasialitas terlihat dari ide tentang posisi: posisi seseorang di peta kebudayaan – berdasarkan koordinat ras, gender, generasi, geopolitik, dll – menjadi dasar klaim tentang identitasnya. ‘Siapa saya’ adalah pertanyaan yang bisa – harus, bahkan – dijawab menurut kategori budaya. Misalnya, pilihan saya untuk berbelanja di satu supermarket dan bukan yang lain, adalah tindakan yang harus dijelaskan menurut lokasi tempat tinggal, apakah saya perempuan atau laki-laki, segi ekonomi keluarga, dst.

Bahayanya, bagaimana kategori-kategori tadi terbentuk sering tidak dipertanyakan. Kategori budaya dianggap kategori yang langsung ada dengan adanya seorang manusia. Seorang bayi lahir dan langsung terjerat dalam jaringan kebudayaan. Menurut saya, ini mengasumsikan realita sosial dan budaya adalah faktor-faktor utama yang membentuk identitas seseorang.

The Syrian Gazelle Boy
Bagaimana dengan kasus feral children? Sebuah definisi umum yang saya dapat dari Google: “A feral child is a human child who has lived away from human contact from a very young age, and has little or no experience of human care, loving or social behavior, and, crucially, of human language.” Contohnya, kasus The Syrian Gazelle Boy, yang ditemukan oleh Jean-Claude Auger, seorang Antrolopolog dari Spanyol Utara tahun 1960. Dalam expedisinya ke Rio de Oro, dia berpapasan dengan penduduk nomaden yang menginformasikan tentang adanya seorang ‘anak liar’ yang akan tiba kira-kira 1 hari lagi. Besoknya, di kaki langit, Auger melihat seorang anak laki-laki yang telanjang “berlompatan dengan dahsyat diantara iringan gazelle putih”. Anak ini berjalan dengan tangan dan kaki, mengejangkan otot, hidung, telinga menanggapi suara sedikitpun seperti ‘kawan-kawan’nya, mengunyah akar dari gurun pasir dengan giginya, dan bila tidak ada tumbuhan, menyantap cacing atau cicak. Ada upaya gagal di tahun 1966 untuk menangkap anak ini, dan catatan menunjukkan bahwa setelah itu dia tidak pernah dipindahkan dari kawanan buas ini.
Apakah kita bisa mengatakan identitasnya terbentuk dari budaya kawanan binatang yang membesarkannya, suatu budaya yang kita mengerti menurut kategori budaya manusia? Misalnya, menganalisa kebinatangan menurut kategori politik adu kuasa, geopolitik, perspektif psikologis yang berbeda antara betina dan jantan? Tidakkah kategori budaya manusia tampak begitu reduktif? Pengertian bahwa kategori budaya membentuk identitas si subjek mempunyai keterbatas yang harus dipertanyakan. Fokus pada kategori budaya bermasalah karena ‘kebudayaan’ menjadi hadir seperti sebuah checklist, penuh dengan kategori-kategorinya, untuk dicentang saat kita menganalisa perilaku manusia. Checklist ini ada – dan jadi lebih penting – sebelum manusianya ada. Aneh, kan? Padahal ilmu humaniora harusnya terfokus pada manusianya lebih dulu.
Bagaimana memutar balikkan fokus lagi pada si manusia? Salah satu daya tarik - dan juga benih kegagalan - Cultural Studies adalah efektifitasnya sebagai ‘alat teoritis’ untuk mengkaji manusia dalam kelompok. Tapi selain bagian dari kelompok, manusia tetap seorang subjek (seperti anak diatas). Keberadaanya sebagai subjek – sarat dengan lapisan psikologis dan fisiologis – inilah yang kemudian, saat dia mengelompokkan dirinya, menjadi muatan identitas kebudayaan. Ini bukan permasalahan tentang siapa yang ada duluan – si subjek atau kelompoknya? Tapi merupakan permasalahan tentang pentingnya menyadari ‘hukum-hukum umum’ atau ‘esensi’ subjektifitas – yang datang dari interaksi dengan lingkungan sekitar – dan tidak hanya terfokus pada kategori budaya, dalam mencari tahu asal-muasal identitas manusia.


Thursday 22 December 2011

Thinking the Animal


Nudibranch

Currently trying to build a concept for an artist who wants to make an exhibition about animals. I’m finding that one of the most important things to think about when coming up with a theme for a solo exhibition is to really try and get a sense of the artist’s style and what ideological basis they may have – even if they say they don’t have any. Especially when they say they don’t have any, cause then I think it’s my job to dig it out of them. Lacking better words, most of the artists I’ve come across with have, in one way or another, made statements like “I’m just a dreamer” or “I just used this colour because I like it.” I think this is all totally fine; this is why they’re the artists and not the dealers, curators, gallery owners, etc. Not everyone think conceptually in words – just like I don’t think in images and sounds – so it becomes the curator’s job to translate the artist’s ideas into words.

Lionfish

So the animal project. Obviously this is a very broad topic that needs to be trimmed and pruned to give the collection a focus. Just like a good essay builds its arguments around a particular issue, a good exhibition needs to have a specific message to be conveyed by the artworks. In my conversation with the artist yesterday, I suggested that we could start with the idea of animals’ adaptive capacity to respond to their habitat. Considering his style, I then said that he could visually explore this notion of habitat into something whimsical and just plain impossible – for instance, an underwater world where water has oxygen, or a world without gravity. We agreed on this, after thinking further about the kinds of metamorphoses his animal figures could go through. Brainstorming for ideas in this way is the best thing about working with creative minds. Quite a contrast to working with academics. Right now, I’m looking at expedition accounts of wildlife and nature researchers for ideas.

Blue-ringed octopus

Wednesday 21 December 2011

Mari Meneliti!


Ada beberapa hal menarik yang keluar dari Research-in-Progress Day di UPJ hari ini.

Eka Permanasari (Arsitektur) berbagi penelitian tentang rumah lapak di daerah Jurang Mangu, Tangerang, yang dianalisa sebagai jenis gated community baru. Menurutnya, perumahan lapak ini mempunya beberapa ciri yang sama dengan gated houses: mempunyai gerbang, pagar, ada entry dan exit points. Cara pendapatan tanahnya juga unik. Mereka mempunyai semacam ‘kepala suku’ atau landlord yang menyewa tanah itu dari tuan tanah, dan kemudian membayar uang sewa kepada si landlord ini. Jadi, ketidak jelasan antara batas legal/illegal terlihat secara nyata dari bagaimana penduduk perumahan ini menggunakan ruang kota. Satu cara - diantara banyak cara - memandang fenomena seperti ini adalah sebagai bukti bahwa spasialitas kota terbentuk melalui proses negosiasi antar kalangan marjinal dan otoritas dominan.


(Terima kasih banyak foto-fotonya Mbak Eka!)

Mbak Eka juga mengingatkan saya bahwa perumahan ‘kitsch’ – misalnya Taman Wisata di Cibubur – adalah reaksi terhadap imbasan tragedi ’98. Hasrat untuk ‘melupakan’ luka secara masal – collective trauma – termanifestasi dalam bentuk dorongan untuk ‘menghapus’ keindonesiaan dari wajah kota.

Satu pertanyaan yang masih ‘nggantung’ di kepala saya menyangkut sejarah perkotaan di Indonesia (urban history). Apakah lapak houses meniru gated community, atau sebaliknya? Cara menetap dan menghuni yang mana yang hadir duluan? Insting saya mengarah kepada lapak houses, yang terlihat begitu ‘mentah’, berasal dari keputus asaan (desperation), dan terbangun tanpa perencanaan terperinci. Tapi ini tentu saja baru spekulasi dari saya. Saya jadi ingin tahu, secara kesejearahan, perkotaan di Asia Tenggara itu terbentuk dari upaya grassroots seperti ini, atau pembangunan yang terencana? Harus dicek ke ahlinya atau setidaknya buka buku-buku sejarah urbanisme Asia Tenggara.

Hal menarik berikutnya datang dari Gita Soerjoatmodjo dan Yuka Narendra, yang sedang melakukan collaborative research berjudul Heavy Metal Moms, Heavy Metal Dads. Temanya memang sudah punya ‘wow factor’ karena tidak sering disentuh secara ilmiah (tentang anak-anak metal 80an di Indonesia yang sekarang sudah menjadi orang tua dan punya anak). Tapi yang juga ‘seru’ buat saya adalah bagaimana mereka berusaha menguji keterbatasan-keterbatasan bidang ilmu masing-masing untuk merevisi dan memperkaya keilmuan tersebut – Yuka dari Cultural Studies, Gita dari Psikologi. Aspirasi intradisipliner ini penting karena punya semangat mencari bentuk keilmuan baru.

Saya sendiri mempresentasikan paper yang akan saya berikan di ISLIVAS nanti, berjudul “’Livable Space’ and Postcolonial Heritage: Rethinking Aesthetics and Ethics”. Di paper ini saya mengkritik (apa yang saya sebut) kitsch spaces di Jakarta, melalui bingkaian issues Estetika dan Etika.

Tuesday 20 December 2011

Shout Out to Cultural Idiot

For excellent ruminations on Indo heavy metal from a Cultural Studies perspective, go here.

Monday 19 December 2011

The 'Face' of the Environment (2)


Andreas Gursky, The Rhine II, 1999

Artikel “Taking a Glance at the Environment” (Edward Casey) terus membantu saya memahami persoalan etika lingkungan sekitar (environmental ethics). Penting bagi saya - pada awal pemahaman saya - untuk ‘membendung’ asumsi-asumsi politik-sosio-kultural tentang permasalahan ini. Karena... saya ngga sepenuhnya yakin bahwa sudut pandang yang kritis harus diawali dan dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan tentang keadaan politik, ekonomi, budaya, dst. Sebelum ini semua, sepertinya ada level kemanusiaan lebih mendasar yang bisa membentuk penjelasan valid tentang tindakan etika. Untuk niatan seperti ini, fenomenologi adalah metodologi yang tepat. Soalnya, deskripsi fenomenologis bertujuan mengupas pengalaman subjektif seseorang di level ‘lived-experiences’, atau – maaf atas terjemahan saya – ‘pengalaman yang dihidupi’ (lihat Edmund Husserl, Ideas...) Pengertian saya akan konsep-konsep fenomenologi seperti ‘lived-experiences’ dan ‘embodiment’ akan menyusul.

Di awal artikel ini Casey mencari, apakah lingkungan sekitar memiliki elemen-elemen ‘Wajah’ yang diteorisasikan oleh Levinas? Langkah ini dianggap penting, karena Casey setuju dengan argumen Levinas bahwa hubungan etika berawal saat kita berhadapan dengan ‘Wajah’ orang lain. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan ‘Wajah’ disini tidak hanya paras luar – kulit, hidung, mata, dlsb – yang dapat dilihat, suatu kehadiran, presence. Yang dimaksud Levinas dengan ‘Wajah’ lebih kompleks, mengimplikasikan sesuatu yang juga tidak dapat dilihat, suatu absence: saya bisa melihat raut muka seseorang, tapi akan selalu ada lapisan yang akan luput dari pengamatan saya. Bagi Levinas, inilah Otherness, faktor terpenting dari etika. Paradox antara ‘kehadiran’ dan ‘ketidak hadiran’, antara absence dan presence, yang tertera di ‘Wajah’ seseorang membentuk hubungan etika antara saya dan dia.

Berarti ada beberapa esensi yang bisa kita tarik dari konsep ‘Wajah’ ini. Pertama, ‘Wajah’ adalah sumber hubungan etika. Kedua, ‘Wajah’ terdiri dari apa yang dapat dan tidak dapat dilihat, yang bisa saya mengerti dan tidak (Otherness atau keliyanan). Ketiga – dan pada awalnya ini sulit dimengerti – ‘Wajah’ menuntut kita untuk bertanggung jawab atas Otherness ini. Bagaimana Casey menginterpretasikan esensi-esensi ini, untuk menjelaskan hubungan etika antara manusia dan ruang hidupnya?

(Sebelumnya, Casey mengingatkan bahwa kita tidak bisa sebatas mencari analogi tentang wajah dan lingkungan sekitar. Misalnya, jendela sebagai mata, dst. Karena ini hanya meneruskan tradisi filosofis yang berkesimpulan bahwa manusia adalah tolak ukur segalanya, termasuk alam dan lingkungan sekitar.)

Andreas Gursky, Ruhr Valley, 1989

Memasuki badan artikel ini, Casey menjelaskan bahwa seperti hubungan etika bagi Levinas berawal dari ‘Wajah’, lingkungan sekitar – yang Casey sebut ‘place-world’ – dapat dimengerti sebagai sumber hubungan etika juga. Kok bisa? Argumen ini terkait dengan ontologi Aristotle yang menyatakan bahwa alam semesta, the universe, ada sebelum yang lainnya ada. Secara ringkas, lebih dari ini Aristotle juga menjelaskan the universe sebagai 'wadah' keberadaan (Lihat Aristotle, Physics). Maka, for anything to ‘be’, it necessarily has 'to be somewhere': sesuatu yang ‘ada’, pasti ‘ada di suatu tempat'. Menurut pengertian saya, Casey berpendapat bahwa sebagai naungan keberadaan, dimana keberadaan itu muncul, ‘tempat’ – lingkungan sekitar – adalah sumber semua hubungan yang ada di dalamnya, termasuk hubungan etika. Levinas mengatakan ‘Wajah’ adalah sumber dorongan etika; Casey mengatakan ‘tempat’.

Tapi gagasan Casey tentang ‘tempat’ ini masih sangat abstrak, dan sungguh belum menjelaskan bagaimana suatu tempat – secara riil – bisa mendorong manusia untuk bertindak etis. Jika kita perhatikan lebih lanjut, tulis Casey, ‘tempat’ termanifestasi secara konkrit sebagai sebuah lahan, landscape. Misalnya, ‘lahan kota’ (cityscape), ‘lahan pegunungan’ (mountainscape), dll. ‘Lahan’ mempunyai karakteristik-karakteristik utama, yaitu layout - ‘susunan’ atau 'tata ruang' - dan surface - ‘permukaan’. ‘Tata ruang’ adalah pengaturan secara koheren berbagai fitur suatu lahan: contoh, di sebuah lahan desa kita bisa membayangkan adanya rumah-rumah yang disatukan menjadi pemukiman dan kumpulan warung menjadi pasar. Dan Casey dengan tepat juga mengatakan bahwa di ‘lahan’ apapun, kita tidak bisa menghindar dari permukaan-permukaan: “Everywhere we look, everywhere we feel and sense, we are confronted by surfaces: by their phenomenal properties (e.g. shape, colour, size, etc)..." Klaim yang sederhana, tapi benar. Ini bukti bahwa Casey memang fenomenolog yang handal, mampu mengupas pengalaman keseharian sebelum – tapi bukan tanpa – memasuki asumsi-asumsi ilmiah, politik, ekonomi, ataupun sosio-kultural.

Jadi... ‘tata ruang’ dan ‘permukaan’ adalah bagian dari lahan lingkungan hidup kita, dan elemen-elemen ini mempunyai karakteristik yang dapat 'menggerakkan' perilaku beretika. Meskipun Casey sudah menjelaskan elemen-elemen konkrit dari ‘tempat’, pertanyaan besarnya masih belum terjawab: bagaimana ‘tata ruang’ dan ‘permukaan’ dari tempat yang kita hidupi, melalui kilasan mata, memanggil kita untuk bertindak secara etis? Di analisa lebih lanjutnya, Casey menunjuk pada ciri-ciri ‘expressivity’ dan ‘simplicity’ dari permukan, yang akan saya coba mengerti di posting berikut.