Satu terobosan ideologi yang
menjadi karakteristik contemporary critical thinking sejak
kurang lebih 30 tahun yang lalu adalah apa yang disebut Ed Soja ‘the
spatial turn’ (Lihat Thirdspace...) ‘Putaran’ ideologis
kearah spasialitas terlihat dari ide tentang posisi: posisi seseorang
di peta kebudayaan – berdasarkan koordinat ras, gender,
generasi, geopolitik, dll – menjadi dasar klaim tentang identitasnya. ‘Siapa
saya’ adalah pertanyaan yang bisa – harus, bahkan – dijawab
menurut kategori budaya. Misalnya, pilihan saya untuk berbelanja di satu
supermarket dan bukan yang lain, adalah tindakan yang harus dijelaskan menurut
lokasi tempat tinggal, apakah saya perempuan atau laki-laki, segi ekonomi
keluarga, dst.
Bahayanya,
bagaimana kategori-kategori tadi terbentuk sering tidak dipertanyakan. Kategori
budaya dianggap kategori yang langsung ada dengan adanya seorang manusia.
Seorang bayi lahir dan langsung terjerat dalam jaringan kebudayaan. Menurut
saya, ini mengasumsikan realita sosial dan budaya adalah faktor-faktor utama
yang membentuk identitas seseorang.
The Syrian Gazelle Boy
Bagaimana
dengan kasus feral children? Sebuah definisi umum yang saya dapat
dari Google:
“A feral child is a human child who has lived away from human contact from a
very young age, and has little or no experience of human care, loving or social
behavior, and, crucially, of human language.” Contohnya, kasus The
Syrian Gazelle Boy, yang ditemukan oleh Jean-Claude Auger, seorang
Antrolopolog dari Spanyol Utara tahun 1960. Dalam expedisinya ke Rio de Oro,
dia berpapasan dengan penduduk nomaden yang menginformasikan tentang adanya
seorang ‘anak liar’ yang akan tiba kira-kira 1 hari lagi. Besoknya, di kaki
langit, Auger melihat seorang anak laki-laki yang telanjang “berlompatan dengan
dahsyat diantara iringan gazelle putih”. Anak ini berjalan
dengan tangan dan kaki, mengejangkan otot, hidung, telinga menanggapi suara
sedikitpun seperti ‘kawan-kawan’nya, mengunyah akar dari gurun pasir dengan
giginya, dan bila tidak ada tumbuhan, menyantap cacing atau cicak. Ada upaya
gagal di tahun 1966 untuk menangkap anak ini, dan catatan menunjukkan bahwa
setelah itu dia tidak pernah dipindahkan dari kawanan buas ini.
Apakah
kita bisa mengatakan identitasnya terbentuk dari budaya kawanan binatang yang
membesarkannya, suatu budaya yang kita mengerti menurut kategori budaya
manusia? Misalnya, menganalisa kebinatangan menurut kategori politik adu kuasa,
geopolitik, perspektif psikologis yang berbeda antara betina dan jantan?
Tidakkah kategori budaya manusia tampak begitu reduktif? Pengertian bahwa
kategori budaya membentuk identitas si subjek mempunyai keterbatas yang harus
dipertanyakan. Fokus pada kategori budaya bermasalah karena ‘kebudayaan’
menjadi hadir seperti sebuah checklist, penuh dengan
kategori-kategorinya, untuk dicentang saat kita menganalisa perilaku manusia. Checklist ini
ada – dan jadi lebih penting – sebelum manusianya ada. Aneh, kan? Padahal ilmu
humaniora harusnya terfokus pada manusianya lebih dulu.
Bagaimana
memutar balikkan fokus lagi pada si manusia? Salah satu daya tarik - dan juga
benih kegagalan - Cultural Studies adalah efektifitasnya
sebagai ‘alat teoritis’ untuk mengkaji manusia dalam kelompok. Tapi selain
bagian dari kelompok, manusia tetap seorang subjek (seperti anak diatas).
Keberadaanya sebagai subjek – sarat dengan lapisan psikologis dan fisiologis –
inilah yang kemudian, saat dia mengelompokkan dirinya, menjadi muatan identitas
kebudayaan. Ini bukan permasalahan tentang siapa yang ada duluan – si subjek
atau kelompoknya? Tapi merupakan permasalahan tentang pentingnya menyadari
‘hukum-hukum umum’ atau ‘esensi’ subjektifitas – yang datang dari interaksi
dengan lingkungan sekitar – dan tidak hanya terfokus pada kategori budaya,
dalam mencari tahu asal-muasal identitas manusia.
No comments:
Post a Comment