Wednesday 30 May 2012

Setelah Kebudayaan: Giorgio Agamben dan Kemanusiaan yang Baru


Beberapa bulan yang lalu, Fakultas Filsafat UNPAR berbaik hati mengundang saya menjadi pembicara di extension course ‘Filsafat dan Kebudayaan’. Ini makalah yang saya tulis untuk kuliah tersebut.

RUNTUHNYA HUMANISME

1.
Sebagian besar teori filsafat yang dikemukakan di abad 20 adalah respons terhadap runtuhnya rumusan periode Renaisans tentang humanisme dan, dengan demikian, kebudayaan.[i]  Terutama di belahan kedua abad ini, berbagai filsuf beranggapan bahwa ‘humanisme’ dan ‘budaya’ telah menjadi kategori yang tercela secara etika dan politik, mengingat bermacam-macam tragedi bersejarah yang terjadi dalam kurun waktu ini. Dihadapi dengan realita kekejaman dan kekerasan dua Perang Dunia dan Perang Dingin misalnya, apakah manusia masih dapat disebut sebagai mahkluk yang ‘berbudaya’, dimana ‘budaya’ dimengerti sebagai kesadaran untuk memberdayakan budi pekerti? Atau, bagaimana mungkin kita tetap mendefinisikan ‘budaya’ sebagai dorongan ke arah kebajikan moral, setelah terjadinya peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan tak bermoralnya manusia? Jika arti ‘budaya’ merujuk pada budi – atau akhlak – yang baik, bukankah manusia setelah peristiwa-peristiwa ini tampil sebagai mahluk yang justru tidak berbudaya dan bahkan, tidak manusiawi? Setelah artian humanisme ini runtuh, pertanyaan besar yang kita hadapi sekarang adalah, apakah ‘kemanusiaan’ jika tindakan manusia menunjukkan tabiat yang menentang esensi-esensi kemanusiaan yang telah dikukuhkannya? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang mendasari filsafat Giorgio Agamben (1942), seorang filsuf kontemporer dari Italia. Gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh Giorgio Agamben menyingkap bahwa ‘humanisme’ dan ‘budaya’ terlilit akan kekeliruan yang pelik, dan maka dari itu, kategori-kategori ini harus segera dibongkar supaya tragedi masa lampau tidak terulang lagi dan bahaya di masa depan dapat dicegah.

2.
Meskipun kategori-kategori seperti ‘humanisme’ dan ‘budaya’ sudah ternodai oleh bencana buatan manusia pada skala besar, filsuf-filsuf seperti Agamben tetap beranggapan bahwa kita tidak bisa dengan semudah itu menelantarkan mereka. Sebaliknya, kajian filsafat sekarang mempunyai tugas untuk merumuskan sebuah humanisme baru, dengan memberikan diagnosa atas sebab dan jangkauan malapetaka kemanusiaan yang telah terjadi. Untuk melakukan itu, Agamben membedah kebudayaan moderen melalui apa yang kita pahami sebagai ‘kehidupan politik’. Dalam bukunya Remnants of Auschwitz, Agamben menuturkan bahwa “manusia adalah manusia sejauh mereka menjadi saksi atas ketidak manusiaan.”[ii] Apa yang dimaksud Agamben dengan mengatakan bahwa setelah runtuhnya kemanusiaan, sebuah kemanusiaan baru dapat dirintis dimulai dengan ‘menyaksikan ketidakmanusiaan’?

MENGUPAS POLITISASI KEHIDUPAN: Kedaulatan, Hidup yang Polos, dan Keadaan Pengecualian
3.
Di awal buku Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Agamben berupaya menelusuri asal mula biopolitik atau politisasi kehidupan. Dia membuka kajian ini dengan tafsiran tentang ajaran filsafat Yunani Kuno, dimana dia tidak menemukan satu istilah yang menjelaskan apa yang sekarang kita sebut dengan ‘hidup’. Melainkan, filsafat Yunani Kuno menggunakan dua terminologi yang berbeda untuk hal ini: zoē, untuk mengartikulasikan hidup alamiah semua makhluk termasuk manusia, binatang dan dewa, dan bios, yaitu bentuk kehidupan yang dimiliki manusia secara perorangan atau dalam kelompok. [iii] Melalui tata hukum dan kehidupan bernegara, zoē diolah – dibudidayakan – menjadi bios. Seperti yang Aristoteles gagaskan di karya berjudul Politics, manusia adalah mahkluk yang “born with regard to life, but existing essentially with regard to the good life”, dimana “the good life” hanya bisa dicapai melalui praktek politik dan hidup bernegara. Menurut Agamben, ini merupakan ihwal penting karena menunjukkan bahwa sejak awal sejarahnya, filsafat Barat tidak mempunyai pengertian tentang hidup manusia di luar jaringan politik, dimana didalamnya terdapat jalinan temali yang rumit mengenai tata hukum, hak, dan kewajiban seorang warganegara. Filsafat Yunani Kuno tidak membedakan antara ‘hidup’ dan ‘hidup bernegara’ dan Agamben ingin memperjelas titik temu antara dua jenis kehidupan ini, suatu titik dimana hidup menjadi terpolitisasi. 
4.
Melalui temuan ini, Agamben dapat mempermasalahkan argumentasi Michel Foucault tentang asal mula biopolitik. Kontra Foucault – yang mengatakan bahwa hidup menjadi terpolitisasi didalam sebuah bentuk pemerintahan yang ‘mengelola’ masyarakatnya melalui implementasi berbagai teknik pendisiplinan (gereja, penjara, rumah sakit, dan sebagainya) – Agamben berpendapat bahwa politisasi hidup telah terjadi jauh sebelum adanya bentuk pemerintahan seperti ini.[iv] Biopolitik, menurut Agamben, telah ada sejak adanya kuasa kedaulatan masyarakat (sovereign community) yang termanifestasi dalam tata hukum. Seperti yang dapat dilihat dari filsafat politik Aristoteles, kedaulatan hidup bernegara menetapkan bahwa suatu ‘kehidupan’ adalah ‘hidup manusia’ jika hidup tersebut merupakan bagian dari sistem negara yang ada. Ini adalah tradisi pengertian politik yang diteruskan hingga sekarang, dimana arti hidup manusia diabaikan begitu artian-artian politik ditanggalkan darinya. Sebagai contoh kasus dimana bahaya ini terwujudkan secara konkrit, Agamben memberikan contoh kamp kematian Nazi dan negara totalitarian pada abad 20, yang dianggapnya sebagai “the exemplary places of modern biopolitics”.[v] Namun, seperti yang akan dijelaskan dibawah ini, pemikiran ini juga dapat diterapkan untuk memaknai berbagai peristiwa yang lebih dekat dengan kita, misalnya Kerusuhan Mei ’98. Diawal tulisan ini, kita akan membahas bagaimana politisasi kehidupan menjadi intisari filsafat Agamben, dan mendasari kritiknya akan konsep kemanusiaan kontemporer. 

5.
Ide tentang kehidupan manusia diluar politik dijabarkan oleh Agamben dengan mengangkat tema homo sacer atau ‘manusia sakral’, seorang tokoh dari hukum Romawi. Menurut kekaisaran Romawi, seseorang yang berbuat kejahatan tertentu dapat disingkirkan oleh masyarakat dan seluruh haknya sebagai warganegara dicabut. Karena tidak mempunyai hak, ia boleh dibunuh oleh siapa saja tanpa dikenakan sangsi hukum, dan meskipun terbilang ‘sakral’ ia tidak boleh digunakan sebagai kurban dalam upaca ritual. Ini kontradiktif karena sesuatu yang dianggap sakral seharusnya mempunyai nilai pengorbanan. Namun tidak demikian dengan sang homo sacer, karena tanpa hak hidupnya dianggap sudah tak layak lagi dihidupi. Pada tokoh homo sacer, tulis Agamben, “hidup manusia disertakan kedalam tata hukum hanya dalam sebuah bentuk pengecualian (yaitu, dalam kapasitasnya untuk dibunuh).”[vi] Dengan kata lain, hidup seorang manusia terletak didalam jaringan kehidupan politik, hanya dalam bentuk pengecualiannya dari tata hukum: “Hidup yang polos (bare life) tetap disertakan kedalam politik dalam bentuk pengecualian, yaitu, sebagai sesuatu yang disertakan hanya melalui pengecualiannya.[vii]

6.
Status politik dan fungsi dari keadaan pengecualian ini untuk sebuah masyarakat – apa yang Agamben sebut dengan states of exception­ – ada di pusat pemikirannya tentang biopolitik. Memutuskan suatu keadaan sebagai keadaan darurat, bagi Agamben, adalah bentuk kuasa politik yang paling mendasar yang dimiliki oleh kedaulatan. Untuk melihat relevansi gagasan ini, kita hanya harus mengingat kredo ‘war on terror’ yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat setelah tragedi 9/11, yang digunakan untuk mengambil dukungan rakyat atas Kebijakan Asing mereka. Ini mencontohkan bahwa bentuk pemerintah kedaulatan dapat menentukan suatu keadaan darurat dan dalam prosesnya, menurut filsafat politik Agamben,  menyingkapkan suatu ambiguitas yang ada secara implisit dalam hubungan antara hidup dan hukum.

‘States of exception’ atau ‘keadaan pengecualian’ adalah konsep yang Agamben ambil dari definisi Carl Schmitt (1888-1985) tentang kedaulatan, yang dimengerti sebagai bentuk kekuasaan yang dapat memutuskan apakah suatu keadaan memang merupakan pengecualian dari tata hukum yang telah ada.[viii] Seperti yang ditulis Schmitt, “(The) sovereign is he who decides on the state of exception”.[ix] Contohnya, pada hukum Romawi Kuno, kedaulatan dapat memutuskan bahwa ada bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang bisa dituduhkan kepada seorang warganya, yang tidak bisa dikategorikan menurut tata hukum yang berlaku. Schmitt menjelaskan bahwa karena ‘keadaan pengecualian’ seperti ini tidak bisa dikodifikasi menurut tata hukum yang telah diterapkan, maka keputusan yang akan dibuat tentang keadaan ini tidak lagi bisa bertumpu pada norma atau peraturan tersebut. Kedaulatan mempunyai kuasa untuk mengambil keputusan ini, karena kuasa untuk menentukan apakah tatanan sosial sebuah masyrakat sudah dikacaukan – dan terkait dengan ini, apakah ada hukum yang bisa diterapkan padanya – hanya bisa dibuat oleh kuasa yang pada awalnya telah menentukan bagaimana masyarakat tersebut tertata.  

7.
Dalam keadaan pengecualian ini, si tertuduh menjadi berada di luar jangkauan hukum, dan maka dari itu, hak-hak yang dimiliki seorang warga negara juga tidak lagi dimilikinya. Mengikuti Jean-Luc Nancy, Agamben menjelaskan hubungan antara hidup dan hukum disini dengan konsep abandonment, yang bisa kita mengerti sebagai ‘ditinggalkan’.[x] ‘Terkecualikannya’ keadaan si tertuduh menunjukkan bahwa dia tidak hanya berada di luar hukum tapi ‘ditinggalkan’ – abandoned ­– dari tata hukum yang memosisikan dirinya disana. Karena hukum tersebut tidak lagi bisa diterapkan padanya begitu dia berada dalam keadaan pengecualian, maka hukum tidak lagi memiliki bobot apapun. Ini berbeda dengan situasi dimana tidak ada hukum sama sekali (lawless), karena disini hukum bukannya tidak ada tapi dikosongkan oleh makna karena ‘tertahan’ (suspended) dari penerapannya. Ini adalah paradoks fundamental keadaan politik: hukum mempunyai kuasa untuk membuat tudingan, hanya untuk kemudian meninggalkan si tertuduh. Menurut Agamben ini memperlihatkan adanya ‘zona anomi’ ditengah tata hukum, yang tersingkap pada situasi dimana hukum mempunyai kekuasaan untuk mengambil keputusan akan hidup seseorang – melalui tuduhan – dan kemudian meninggalkannya.

8.
Pada situasi ini, hidup seseorang tereduksi menjadi bare life, hidup yang polos, yang telah dilucuti oleh hak dan wewenang. Dalam essay yang berjudul “Critique of Violence”, Walter Benjamin mengingatkan bahwa artian kekerasan yang hanya mengikuti bingkaian hukum – dimana suatu tindakan hanya dianggap sebagai kekerasan apabila melanggar hukum – adalah sebuah ‘mitos’ yang harus segera dibongkar. Hal ini terdengar benar apabila kita mengingat gagasan Agamben tentang adanya keadaan pengecualian dalam kehidupan politik dimana hukum itu tidak lagi berlaku. Menurut Benjamin, mitos ini hanya bisa dibongkar dengan mengusut asal mula dogma tentang kesakralan hidup: singkatnya, kapankah hidup itu menjadi sakral? Menjawab Benjamin, Agamben menjelaskan bahwa seperti dalam figur homo sacer, hidup menjadi sakral dalam keadaan pengecualian karena disini dia terekspos pada ancaman kekerasan dan kematian, tanpa memilik nilai atau arti ‘korban’: “Hidup yang tidak bisa dikorbankan namun bisa dibunuh adalah hidup yang sakral.”[xi] Eksposur terhadap kekerasan (tanpa makna pengorbanan) mendefinisikan posisi ‘hidup yang polos’ sebagai berada di dalam dan di luar tata hukum sekaligus. Analisa Agamben memperlihatkan betapa bahayanya konsep tentang hak yang telah ada, dimana hak asasi serta-merta ditempelkan kepada konsep warganegara. Karena menurut konsep ini, hanya warganegara sajalah yang memiliki hak. Begitu orang tersebut dianggap tidak lagi menjadi warganegara, maka bukan saja haknya sebagai warga negera yang tercabut, namun juga hak asasinya.

9.
Ini dijelaskan melalui paradoks yang Hannah Arendt temukan pada konsep negara kebangsaan dan hak manusia.[xii] Arendt menyimpulan bahwa konsep ini runtuh saat berhadapan dengan figur pengungsi, yang bukan warga negara manapun:
“Konsep tentang hak manusia yang berlandaskan asumsi tentang keberadaan seorang manusia an sich, runtuh pada saat mereka yang berlagak percaya padanya untuk pertama kalinya dihadapkan oleh orang-orang yang telah benar-benar kehilangan segala sifat dan hubungan khusus lainnya – kecuali bahwa mereka tetap manusia.”[xiii]
Maksud Arendt disini adalah si pengungsi menggambarkan contoh konkrit dimana hak ‘sakral’nya sebagai seorang manusia lenyap begitu dia kehilangan statusnya sebagai warga negara (yang tadinya merupakan satu ‘sifat atau hubungan khusus’ yang dia miliki). Apa yang disebut hak-hak sakral atau hak-hak asasi manusia lenyap saat mereka tidak lagi berbentuk hak warga negara. Berarti, kepemilikan hak disini bukan berbasis ‘hidup manusia’ tapi ‘tanah kelahiran’, atau apa yang bisa disebut sebagai prinsip kepribumian. Dengan demikian, si pengungsi menyingkap suatu ‘krisis radikal’ pada ideologi yang menyamakan hak manusia dengan hak warga negara. Dia menampakkan suatu keterbatasan pada konsep ini, yang menunjukkan bahwa etika yang dijunjung tidak mencakup makna etika yang sebenarnya. Karena, seperti yang Agamben simpulkan,  “tidak ada etika yang dapat menyatakan bahwa ia mengecualikan sebagian dari kemanusiaan, sekalipun kemanusiaan itu tidak enak atau sukar untuk dilihat.”[xiv]

10.
Ambil contoh, misalnya, Kerusuhan Mei ’98, dimana terjadi kekerasan masal yang berpusat di beberapa kota besar di Indonesia dan mencapai puncak dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Kerusuhan yang disulut permasalahan ekonomi mempertajam diskriminasi pada etnis Tionghoa yang mempunyai konotasi kultural-ekonomis sebagai golongan yang lebih berada secara finansial. Para provokator mengarahkan huru-hara ke tempat-tempat usaha milik etnis ini untuk diporak-poranda dan dijarah. Hanya segelintir kasus penganiayaan dilaporkan dan mereka justru menunjuk pada ditutup-tutupinya kasus lain, termasuk terbakarnya Glodok Plaza. Peristiwa yang tidak diragukan akan menghantui para korban ini memberikan contoh pedih tentang bagaimana hidup seseorang yang dianggap bukan warga negara, tidak dianggap layak untuk dihidupi. Kekejaman hebat dapat dilakukan padanya tanpa sangsi hukum karena dia telah ‘ditinggalkan’ oleh tata hukum yang ada. 

Seperti yang dirumuskan Arendt, di sistem negara kebangsaan seperti Indonesia, apa yang disebut dengan hak ‘sakral’ atau asasi hilang saat mereka tidak lagi berbentuk hak warganegara. Jadi jika seseorang tidak dianggap sebagai ‘warganegara’ maka dia tidak mempunyai hak asasi, dimana, seperti pada kasus ini, konsep warga negara berbasis pada mitos ‘asli pribumi’. Dalam kasus ini, terlihat bahwa seseorang yang mempunyai latar belakang Cina, meskipun terlahir dan mempunyai temurun di Indonesia, tetap dianggap pengungsi atau pendatang. Interpretasi Agamben yang mengatakan bagaimana, dalam teori Arendt, pengungsi menampakan keterbatasan konsep negara/hak dapat dengan jelas diterapkan untuk memahami tragedi ini. Etnis Tionghoa menyingkap keterbatasan pada konsep politik yang secara otomatis menyertakan ‘hidup yang polos’ kedalam suatu bentuk kehidupan politik tertentu, yaitu hidup di negara kebangsaan. Karena dalam kehidupan politik negara kebangsaan, ‘hidup’ hanya dihargai selama ‘hidup’ itu adalah hidup seorang ‘warganegara’ yang secara keliru dimaknai sebagai ‘pribumi’.  Kehidupan seseorang di negara itu sebagai bukan warganegara direduksi menjadi bare life, dan tanpa hak asasinya maka dia terekspos pada kekerasan yang dapat dilakukan padanya tanpa terkena sangsi hukum.

11.
Arti ‘kemanusiaan’ secara universal runtuh di hadapan mereka yang dikecualikan oleh kehidupan politik kedaulatan, atau yang berada diluar hukum: seperti kaum Yahudi di masa PD II, etnis Tionghoa pada Tragedi ’98, atau para pengungsi dan imigran ilegal di abad 21. Kehidupan mereka ‘polos’, tanpa hak-hak yang tadinya dimaknai sebagai milik manusia secara universal. Keadaan dimana seseorang ‘hanya hidup’ inilah yang disebut oleh Agamben dengan bare life. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksud Agamben dengan bare life tidak sama dengan hidup natural atau alamiah seperti zoē pada filsafat Yunani Kuno. Melainkan, bare life adalah sebuah bentuk hidup yang senantiasa terekspos pada kekerasan tanpa memiliki bobot pengorbanan. Reduksi hidup manusia menjadi ‘bare life’ dikondisikan oleh ‘keadaaan pengecualian’, dimana kedaulatan negara memutuskan adanya situasi darurat yang menuntut ‘politisasi instan’ atas nama keamanaan bangsa. Ketatnya prosedur cek keamanan di AS setelah 9/11, misalnya, adalah satu contoh dimana paradigma keamanan telah mencapai titik ekstrim.  Keadaan ini mengilustrasikan bahwa atas nama ‘situasi darurat’ sebuah negara dapat menggalakkan metode-metode yang bersifat invasif, yang melanggar batasan-batasan privasi, identitas, dan kebebasan yang seharusnya menjadi hak semua orang, terutama di sebuah dunia yang telah berani mencetuskan Deklarasi Universal tentang Hak Azazi (Universal Declaration of Human Rights, UN, 1948).  Dalam paradigma seperti ini, ‘keamanan dari terorisme’ menjadi kriteria untuk legitimasi politik, yang membentuk suatu sistem mematikan dimana resistensi dan kekuasaan saling memperkuat.

12.
Setelah kita mempertimbangkan gagasan Agamben tentang politisasi kehidupan, permasalahan terpenting yang dihadapi politik kontemporer menjadi jelas: bagaimana kita memperbaiki kegagalan politik yang paling utama, yaitu ‘kebisuan’ tata hukum dihadapan ‘hidup yang polos’? Agamben menggagas bahwa jalan keluar dari politisasi kehidupan hanya bisa dibuka dengan membongkar kategori-kategori pembedaan antara ‘hidup yang polos’ (bare life) dan ‘hidup politik’ (political life), agar tata hukum tidak lagi dikonstruksi berdasarkan pengecualian suatu bentuk hidup. Konsep bare life tidak hanya menunjukkan bahwa pembedaan ini akan selalu ditandai oleh pertumpahan darah, tapi juga memberikan tugas khusus pada kita untuk mulai membayangkan dan kemudian merealisasikan sebuah bentuk politik yang baru. Seperti yang Agamben ingatkan di awal bukunya, “Bagaimanapun, sebelum sebuah bentuk politik yang sama sekali baru – yaitu, bentuk politik yang tidak lagi didirikan diatas pengecualian bare life – di tangan kita, semua teori dan praxis akan tetap terpenjara dan terbelenggu...”[xv]

MENGHENTIKAN ‘MESIN ANTROPOLOGI'

13.
Filsafat politik Agamben mengemukakan bahwa di dalam keadaan terkecuali, kuasa kedaulatan dapat mereduksi hidup seseorang menjadi ‘hidup yang polos’, dimana batasan antara yang manusiawi dan tidak manusiawi menjadi kabur. Kategori ‘pemilikan hak’ yang membedakan antara yang manusia dan yang bukan manusia ternyata semu, begitu mudah lebur ketika situasi-situasi yang memungkinkan peleburannya hadir. Seperti yang kita lihat dari pengetatan keamanan negara di AS pasca-9/11, situasi-situasi yang dianggap darurat dan sementara, yang berubah menjadi keadaan permanen melalui legitimasi politik, pada akhirnya menyebabkan paranoia kecurigaan dan penggunaan kekerasan untuk memulihkan ketertiban publik. Situasi seperti ini mengizinkan kuasa tata hukum AS, misalnya, untuk ‘menelanjangi’ anggota Taliban yang tertangkap dari hak-haknya. Menurut Agamben, keputusan USA Patriotic Act yang dikeluarkan Senat AS pada tanggal 26 Oktober 2001 dengan sah menghasilkan “keberadaan yang tidak bisa dinamakan atau diklasifikasi secara legal.”[xvi] Sebagai bare life, anggota Taliban ini hidup di perbatasan antara manusia dan bukan manusia.  Di buku The Open: Man and Animal, Agamben menjelaskan bagaimana logika pembedaan ini beroperasi bukan saja pada kehidupan politik, tapi lebih luas lagi, juga pada pengertian ontologis akan keberadaan manusia itu sendiri.

14.
Di awal tulisan ini, ada kutipan dari Agamben tentang “kesaksian atas ketidak manusiaan.” Agamben berargumentasi bahwa memberi kesaksian atas ketidakmanusiaan dapat dilakukan lewat mencekal logika pemisahan atau pembedaan yang menggerakkan humanisme Renaisans.  Strategi yang Agamben gunakan dalam merevisi kategori kemanusiaan terangkum dengan jelas dalam pertanyaan, “Apakah manusia, jika ia selalu menjadi tempat – dan, pada saat bersamaan, hasil – dari pembelahan dan pembagian yang tak henti?”, pembelahan, yaitu, antara manusia dan ‘yang bukan manusia’ seperti, misalnya, binatang.[xvii] Di buku ini, lewat sebuah diskusi yang begitu kaya akan acuan sejarah, filsafat, dan sains, Agamben memberikan contoh-contoh tentang bagaimana manusia terus menerus melakukan ‘pembelahan’ dan membentuk identitas mereka berdasarkannya. Misalnya asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang berbahasa. Di bagian yang berjudul “Anthropological Machine”, Agamben memberikan contoh dari teori evolusi Darwin yang diterapkan oleh Ernst Haeckel di tahun 1899, yang mempunyai hipotesa bahwa manusia berkembang dari apa yang disebut Pithecanthropus alalus, atau ‘manusia tanpa bahasa’: “... pada periode Pliosen, bangkitlah si manusia-kera tanpa bahasa (Pithecanthropus alalus), dan melalui dia, akhirnya, manusia yang berbahasa.”[xviii]

15.
Padahal - dan disini Agamben dibantu oleh teori Linguistik milik Heymann Steinhal tentang asal muasal manusia - pembedaan antara manusia dan yang bukan manusia berdasarkan pemilikan bahasa sebenarnya tidak terlalu jelas. Dari mana asalnya pembedaan ini? Dari asumsi manusianya sendiri. Jadi batasan ini hanya ada karena sebelumnya sudah dibentuk oleh manusia. Maka, gagasan bahwa manusia, menurut teori evolusi, berasal dari perkembangan bahasa adalah sebuah kontradiksi. Sudah jelas aneh, kalau dikatakan manusia berasal dari bahasa, sedangkan bahasa sendiri berasal dari manusia. Lebih aneh lagi, karena sekarang kita mengatakan bahwa bahasa merupakan batasan antara manusia dan yang bukan manusia. Batasan-batasan ini terbentuk, menurut Agamben, oleh apa yang disebutnya sebagai the anthropological machine, sebuah ‘mesin’ buatan manusia untuk memaknai kemanusiaannya yang beroperasi dengan menerapkan pembedaan-pembedaan. Pertanyaan yang harus dijawab, menurut Agamben, adalah bagaimana ‘mesin antropologi’ dapat terus menerus beroperasi dengan motor pembedaan yang mengkonstruk dan mempertahankan kategori ‘manusia’ dengan membedakanya dari kategori-kategori yang dianggap berlawanan: binatang, pengungsi, orang dari etnis lain, agama lain, gender lain, dan seterusnya. Agamben mencetuskan bahwa mesin ini hanya bisa terus berjalan karena dimotori oleh zona-zona ambigu - seperti gagasan tentang bahasa tadi, tapi terlebih dari itu juga kemampuan bernalar, akhlak, kepercayaan religius tentang 'penyelamatan', dan sebagainya. Kategori-kategori ini bukanlah sifat psiko-fisiologis manusia yang ada secara alami, tapi hanya asumsi manusia belaka tentang apa yang membedakannya. 

16.
Dari sisi ini, telihat bahwa pengertian kita akan kemanusiaan hanya terbentuk dari kategori-kategori 'kosong'. Konsep ‘the anthropological machine’ atau ‘mesin antropologi’ yang Agamben ajukan di buku ini bisa dimengerti sebagai berbagai pertimbangan ilmiah, politik, dan religius yang membentuk perbedaan secara fundamental antara manusia/ binatang, manusia/nonmanusia, manusia/ warganegara, kehidupan semata/ kehidupan politik dan seterusnya. Implikasi negatif dari adanya ‘mesin antropologi’ yang terus membedakan manusia dengan apa yang bukan manusia berdasarkan kategori-kategori kosong adalah memungkinkan terjadinya berbagai states of exception. Bahaya dari implikasi ini semakin mendesak saat yang ‘dikecualikan’ adalah kondisi ‘ketidakmanusiaan’ ditengah-tengah ‘kemanusiaan’, seperti kasusnya, Agamben menjelaskan, dengan kaum Yahudi di Auschwitz atau Taliban yang disandera di AS.

KE ARAH HUMANISME YANG BARU

17.
Salah satu hal terpenting dari konsep ‘hidup yang polos’ yang Agamben tawarkan adalah gagasannya atas bare life sebagai elemen kemanusiaan yang paling mendasar. Tergantung pada situasi dan kondisi tertentu, dengan sistem politik yang ada saat ini, semua manusia bisa dilucuti hak asasinya dan maka dari itu dikonstruk sebagai non-manusia. Filsafat Agamben membantu kita melihat bahwa berbagai tragedi sejarah berporos pada adanya kejadian yang diputuskan secara berdaulat sebagai darurat dan terkecuali, dimana kuasa kedaulatan yang menata masyarakat tersebut dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggapnya terbaik untuk kepentingan bersama. Dalam sebuah keadaan pengecualian, hidup seseorang tereduksi menjadi bare life, dimana batasan-batasan yang sebelumnya dengan kokoh membedakan antara yang manusia dan yang bukan, yang manusiawi dan yang bukan, tidak lagi bisa ditegakkan.

18.
Kritik akan kebudayaan melalui membongkar bagaimana hidup menjadi terpolitisasi yang ditawarkan Agamben tidak berdiri sendiri namun terikat pada pusaran sejarah filsafat Barat yang lebih luas. Contoh, gagasan-gagasan Agamben mempunyai akar sejarah yaitu tradisi yang ditanamkan oleh Arendt tentang banalitas kekejaman: kekejaman tidak harus dimulai oleh kebencian tapi juga budaya kesembronoan dalam mematuhi aturan tanpa kemampuan untuk menafsirkan situasi dan menempatkan diri kita di posisi orang lain. Kontribusi terbesar Agamben pada wacana filsafat kontemporer adalah upayanya untuk membangun humanisme yang baru dari puing-puing humanisme Renaisans. Ada dua hal yang menonjol apabila kita teruskan pemikiran Agamben terutama mengenai bagaimana hubungan etika dapat dijalin kembali setelah runtuhnya humanisme yang lama. Pertama, bahwa imajinasi – daya khayal – mempunyai peran kuat dalam membangun hubungan beretika. Melalui sejarah filsafat yang dilanjutkan Agamben, kita dapat menyimpulkan bahwa revisi kebudayaan harus mengakomodir kenyataan bahwa hubungan antar-manusia, yang mencakup bagaimana kita membayangkan diri kita jika berada di posisi orang lain, tidak dapat dirumuskan melalui undang-undang dan kebijakan-kebijakan belaka tapi juga kemampuan untuk menilai tiap keadaan sesuai dengan apa yang dialaminya. Sebelum adanya hukum, imajinasi adalah tataran dimana manusia dapat menjadi lebih ‘manusiawi’, sebuah tataran yang ada di ambang antara politik dan hidup. Agamben mengingatkan bahwa kita harus segera membongkar keterikatan antara politik dan kehidupan – yang telah terjalin begitu erat sehingga susah  untuk diuraikan – untuk memperbaiki kegagalan konsep biopolitik kita saat ini. Untuk memenuhi tugas ini, kita tidak lagi bisa mengesampingkan peran imajinasi.  

19.
Hal kedua terkait dengan pernyataan Agamben tentang “The ‘Shabbat’ of Man and Animal”:
“Untuk mengubah agar sebuah mesin yang mengatur pengartian kita akan manusia tidak lagi berlaku, berarti (kita) tidak lagi (dapat) sekadar mencari artikulasi yang baru – atau lebih efektif atau lebih otentik -, melainkan menunjukkan sebuah kekosongan mendasar, sebuah hiatus yang – didalam manusia – membedakan antara manusia dan binatang, dan membuka diri kita terhadap risiko yang ada dalam kekosongan ini: sebuah penundaan akan penundaan, Sabat untuk binatang dan manusia keduanya.”[xix]
Rujukan religius membuat pernyataan sulit ini menjadi semakin misterius, dan meskipun rujukan ini tidak bisa dengan begitu saja kita sepelekan, kita juga tetap tidak perlu terpaku padanya. Dalam tradisi Yudaisme, hari Sabat adalah hari ‘istirahat’ dimana semua umat Yahudi berhenti bekerja, sebuah analogi yang tepat untuk gagasan Agamben bahwa mesin antropologi ini harus dihentikan. Implikasi gagasan ini pada upaya penghentian logika pembedaan melalui kategori-kategori kosong dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Pada saat mesin ini ‘beristirahat’, maka sifat-sifat dasar semua makhluk di dunia akan tersingkap. Salah satu sifat dasar ini adalah semua makhluk mempunyai tubuh yang berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan juga tubuh-tubuh lain – dalam filsafat fenomenologi, ini yang disebut dengan embodiment atau pentubuhan. Saya dapat melihat ruang kelas ini karena ada lampu yang sedikit menyilaukan, berusaha mengatur kecepatan berbicara dengan membaca raut muka hadirin yang ada di depan saya, dan dapat mendengar sayup-sayup suara burung dari gedung di sebelah. Semua makhluk memiliki kapasitas yang sama untuk berinteraksi melalui tubuh masing-masing, dan semua berbagi sebuah dunia meskipun gaya mereka  menghidupi dunia ini berbeda-beda – bagaimana saya ada di ruang ini tentunya berbeda dengan orang didepan saya, dan seterusnya. Gagasan Agamben tentang adanya ‘mesin antropologi’ yang harus dihentikan untuk mencegah terjadinya pengulangan berbagai tragedi kemanusiaan di masa depan mengundang pertanyaan tentang apakah kebudayaan itu, jika tidak lagi bisa dijawab menggunakan konstruk lama yang memberi penekanan pada variabel-variabel seperti moralitas, akal budi, akhlak, dan seterusnya. Mengingat bahwa semua yang ada di dunia, ada dengan kekhususannya masing-masing yang terjalin dalam sebuah bidang kompleks, maka kebudayaan, setelah runtuhnya humanisme, hanya bisa dimaknai sebagai suatu ruang hidup dimana hubungan antara semua subjektifitas yang berbeda-beda  terikat dalam suatu proses menjadi: suatu ruang hidup yang meskipun sarat akan segala perbedaan yang tak dapat direduksi, namun tetap teranyam erat pada ‘tubuh’ ruang hidup


[i] Renaisans adalah periode budaya Barat yang mempunyai kurun waktu kurang lebih dari abad 14 – 17. Terminologi Renaisans sendiri berasal dari rumpun kata rinascere (‘to be reborn’ atau ‘terlahir-kembali): di periode ini, terjadi ‘kelahiran kembali’ paham-paham periode Klasik. Renaisans banyak menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang terus dipakai hingga masa kontemporer seperti ilmu perspektif, dan juga ideologi-ideologi tentang pendidikan. Pendidikan Humanisme Renaisans mempunyai ciri khas penekanan pada pembentukan warganegara yang baik lewat retorika, tata bahasa, moralitas, dan lainnya. Ini kemudian menjadi sangat berpengaruh pada periode Pencerahan. 
[ii]... human beings are human insofar as they bear witness to the inhuman.”Giorgio Agamben, Remnants of Auschwitz: The Witness and the Archive (New York: Zone, 2002) Setelah ini, RA.
[iii] Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life (Stanford: Stanford University Press, 1998), 1. Setelah ini, HS.
[iv] Lihat Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction (London: Penguin, 1981).
[v] HS, 4.
[vi] “… human life is included in the juridical order (ordinamento) solely in the form of its exclusion (that is, of its capacity to be killed)…” Ibid, 8. Terjemahan dari saya.
[vii] “Bare life remains included in politics in the form of exception, that is, as something that is included solely through an exclusion.” Ibid, 11. Terjemahan dan garisbawah dari saya.
[viii] Ibid, 11.
[ix] Ibid.
[x] Ibid, 28.
[xi] Ibid, 82.
[xii] Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1979)/
[xiii] “The conception of human rights, based upon the assumed existence of a human being as such, broke down at the very moment when those who professed to believe in it were for the very first time confronted with people of had indeed lost all other qualities and specific relationships – except that they were still human.” Arendt dikutip di HS, 126. Terjemahan dari saya.
[xiv] “… no ethics can claim to exlude a part of humanity, no matter how unpleasant or difficult that humanity to see.” RA, 64. Terjemahan dari saya.
[xv] “Nevertheless, until a completely new politics – that is, a politics no longer founded on the exceptio of bare life – is at hand, every theory and every praxis will remain imprisoned and immobile…”  HS, 11.
[xvi] “… a legally unnamable and unclassified being.” The State of Exception (Chicago and London: University of Chicago Press, 2005), 3.  Setelah ini SE.
[xvii] “What is man, if he is always the place – and at the same time, the result – of ceaseless divisions and caesurae?” Giorgio Agamben, The Open: Man and Animal, Stanford: Stanford University Press, 2004, p. 16. Setelah ini, TO.
[xviii] “… during the Pliocene period, arises the ape-man without speech (the Pithecanthropus alalus), and from him, finally, speaking man.” Haeckel dikutip di, TO, 34. Terjemahan dari saya.
[xix] TO, 92.