Dia.Lo.GueArtspace, Jakarta punya program tahunan baru bernama Exi(s)T. Untuk pameran pertama kali, ada 12 seniman muda yang
terlibat: Stephany Yaya, Ika Putranto, Adnyani Dewi, Dibyokusumo Hadipamenang,
Natasha Tontey, Jonathan Kusuma, Isha Hening, Caves, G.H.O.S.T, dan Angela Judiyanto. Pameran akan dibuka jam 5 sore hari Sabtu ini, tanggal 26 Mei, dan
berlangsung sampai 10 Juni 2012.
Ini adalah pengantar
kuratorial yang saya tulis (brief yang
disebar diawal project ada disini). Karena termasuk panjang, versi bahasa
Inggris akan menyusul di post berikut.
***
Apabila seniman-seniman muda di Jakarta boleh dikategorikan berdasarkan
ciri-ciri tertentu, maka kita akan menemukan kelompok yang mempunyai
karakteristik sebagai berikut: memiliki latar belakang pendidikan non-seni, dan
membagi waktu mereka antara dunia seni dan dunia industri (terutama bidang
kreatif) dimana mereka bekerja sebagai seorang profesional. Di Jakarta, posisi mereka
dikondisikan oleh suatu situasi pendidikan tingkat perguruan tinggi yang unik,
dimana karena sedikitnya program-program pendidikan khusus seni murni yang
memadai (berbeda dari Jogjakarta dan Bandung, misalnya), ribuan calon mahasiswa
pertahun terdorong untuk mendaftar di jurusan-jurusan seperti Desain Komunikasi
Visual, Desain Grafis, dan sebagainya. Bagi mereka, jurusan-jurusan ini menjadi
satu-satunya tempat dimana mereka dapat mengeksplorasi minat terhadap seni
dalam wilayah pendidikan lanjut. Dengan segala peluang yang dibawanya, strategi
pendidikan seperti ini mempunyai suatu keterbatasan penting: berbeda dengan
program seni murni, jurusan-jurusan ini mempersiapkan mahasiswa secara khusus
untuk menjadi agen di industri kreatif, dimana pengolahan kreatifitas selalu
berbenturan dengan faktor-faktor seperti keinginan klien dan pangsa pasar.
Kedua dunia ini – dunia seni dan dunia industri – memang sangat dekat
kedudukannya dan tidak lagi memiliki batasan-batasan yang pasti: para
seniman-seniman yang terlibat pada pameran ini adalah mereka yang merasakan
betul bagaimana hubungan antara dua dunia ini terjalin. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa posisi yang
mereka tempati di dua dunia ini juga menghasilkan ketegangan-ketegangan
tertentu. Apakah dalam dunia seni mereka lebih mempunyai kebebasan kreatif yang
lebih luas? Apa benar bila waktu mereka tidak habis untuk mengerjakan proyek
komersil, mereka akan tetap mempunyai
kedisiplinan berkarya? Apakah cara kerja yang terbentuk dalam industri
mempengaruhi tabiat dan kebiasaan mereka dalam membuat karya seni?
Ketegangan-ketegangan seperti ini membentuk identitas kultural seorang
seniman yang berbeda dari apa yang bisa didapatkan di kota-kota lain yang telah
menjadi pusat kehidupan seni di Indonesia. Di satu pihak, demokratisasi praktek
seni menjadi semakin nyata: ternyata, karya seni tidak lagi harus dibuat oleh
mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan seni murni. Meski ada
kedisiplinan tertentu yang hanya bisa didapatkan melalui pendidikan formal, ini
sudah tidak lagi menjadi suatu kemutlakan. Pendidikan seni bukan satu-satunya
landasan pasti untuk sebuah proses artistik karena ada elemen-elemen lain
seperti, misalnya, kreatifitas dan orisinalitas yang dimiliki seorang seniman
terlepas dari pendidikan formal.
Bekerja dengan mereka, saya merasa hal yang menonjol adalah bagaimana
ketercimpungan para seniman-seniman ini didalam dunia industri juga membentuk
sifat ‘kesenimanan’ yang spesifik: mitos-mitos tua tentang seniman sebagai seorang
penyendiri, hanya bekerja berdasarkan suasana hati, yang tak mengenal batas
waktu, telah diganti oleh kesadaran-kesadaran baru seperti pentingnya jaringan
dan kerja sama, perhatian akan resepsi dari pemirsa terhadap karya, dan, untuk
memastikan bahwa sebuah karya dapat dilihat oleh publik, ada pandangan bahwa seorang
seniman sebaiknya menganggap bahwa proses pembuatan karya seharusnya mempunyai
keterbatasan waktu daripada terus berjalan tanpa limitasi.
Ini semua kemudian menjadi latar belakang penyelenggaraan pameran ini. Saat
ide untuk pameran ini pertama kali dicetuskan, sebagian besar dari seniman yang
terlibat – dan juga kurator – tidak begitu
mengenal satu sama lain. Berbeda dari pameran yang dibuat oleh sekelompok teman
dalam suatu komunitas, kami mengalami tantangan awal untuk melewati kecanggungan
yang pasti dialami ketika tigabelas orang yang tidak terlalu kenal memutuskan
untuk bekerja bersama. Memang, pameran ini tidak bertujuan untuk menciptakan ‘kelompok’,
‘komunitas’, atau lebih jelek lagi, ‘kubu’. Berbeda dari itu, yang ingin diadakan
adalah sebuah mimbar awal untuk mereka yang memiliki latar belakang atau
keresahan serupa untuk kembali dan terus membuat karya seni, baik secara
perorangan atau dalam bentuk kolaborasi, di kemudian hari. Penting bagi pameran
ini bahwa seluruh seluk beluk proses yang membentuknya menjadi rangsangan untuk
berkarya bukan hanya dalam artian ekspresi atau representasi, tapi juga
eksperimentasi dan provokasi.
Maka, pameran ini tidak bisa dianggap sebagai hasil akhir dari rangkaian
bincang-bincang dan diskusi secara langsung dengan berbagai pihak yang
terlibat, mulai dari para senimannya sendiri, pemilik galeri, kurator, mentor,
dan representatif dari media. Melainkan, lebih tepat bila dianggap sebagai
salah satu buah dari suatu proses intensif; bagaimana tidak, mengingat begitu
banyak bibit-bibit lain yang ditanam di saat bersamaan, yang buahnya hanya akan
terlihat setelah jangka waktu yang panjang.
Semasa pembuatan pameran ini, saya mendapat saran – yang rasanya cukup
bijaksana – untuk merumuskan apa yang kira-kira ingin dicapai dengan pameran
ini. Ini kemudian membawa saya pada sederet pertanyaan lain, misalnya, seperti
apa pameran yang ‘bagus’ itu? Apa cukup hanya memuat karya-karya yang ‘bagus’
saja, apapun artinya itu? Jika karya yang dipamerkan memang ada yang menanggap
bagus, tapi tidak membangun pewacanaan melalui berbagai bentuk diskusi dan
kerja sama yang lebih luas, apa kita masih menilainya dengan tinggi? Hal ini penting
untuk dipertanyakan, karena menyangkut definisi tentang ‘guna’ sebuah pameran.
Terkait dengan ini, apa yang kita maksud saat kita menyebut ‘harga’ sebuah
karya yang dipamerkan: bobot finansial atau intelektual? Apabila seluruh karya
yang dipamerkan terjual, apa ini sudah bisa dianggap indikasi yang tepat untuk
‘harga’ karyanya? Sebaliknya, jika kita hanya mementingkan aspek cerdas
tidaknya pameran tersebut, apa gunanya jika tidak bisa memastikan bahwa seniman
yang terlibat akan punya dana untuk menutup biaya produksi karya di kemudian
hari? Mengingat begitu banyaknya faktor
yang dapat menjadi tolak ukur pencapaian sebuah pameran, maka disini saya
mencoba mendefinisikan beberapa hal yang bisa menjadi patokan untuk pameran
ini.
Selain latar belakang pendidikan formal non-seni dan profesi mereka dalam
bidang kreatif, sebagian besar dari para seniman ini masih terbilang jarang pameran;
bahkan, ada juga yang belum pernah sama sekali membuat karya seni. Mempertimbangkan
kesamaan-kesamaan ini, maka mungkin keberlanjutan dan perkembangan dapat
dikatakan sebagai patokan paling utama. Dalam artian, apabila seniman-seniman tersebut
terus berkarya secara konsisten, dan mengembangkan potensi artistik mereka
lewat berdialog secara kritis dengan dengan diri sendiri dan ruang sekitarnya.
Kemudian, berkarya juga harus dimengerti dalam artian karya seni, yang tetap
tidak bisa disamaratakan dengan karya industri. Karena, meskipun industri
tersebut bertumpu pada paradigma kreatifitas, bukankah keresahan-keresahan yang
dirasakan oleh para seniman di pameran ini – tentang waktu, uang, dan
sebagainya – adalah bukti bahwa masih ada batasan (meskipun begitu tipis
sehingga nyaris tak terlihat) antara dunia seni dan industri? Pendek kata, dua
hal yang dapat diharapkan dari proses yang dilewati pameran ini adalah
keberlanjutan dan perkembangan. Tentunya tidak ada jaminan bahwa semua hal-hal
ini akan tercapai, dan ‘buah-buah’ tersebut hanya akan dapat dipetik dalam
jangka waktu yang tidak dekat.
Pemetaan, Dibayangkan Kembali.
Untuk pameran kali ini, dipilih tema yang bertujuan menggali bagaimana tiap
seniman menegosiasi posisi mereka dalam berbagai peta keseharian yang mereka
hidupi; misalnya, sehubungan dengan apa yang telah diurai diatas, peta dunia
seni dan dunia industri. Dalam artian harafiah, pemetaan adalah upaya untuk
menggambarkan sebuah area dan hubungan antara elemen-elemen spasial yang
termasuk didalamnya seperti wilayah, arah, jalan, kontur lanskap, dan
sebagainya. Dalam pameran ini, pemetaan dimengerti dalam artian imajiner dimana
para seniman diajak untuk membayangkan letak kedudukan mereka dalam peta-peta yang
berbeda, dan berbagai aspek yang mengkondisikannya.
Secara umum, para seniman disini memulai proses berkarya dengan memikirkan
bermacam negosiasi yang mereka lalui untuk berada dalam posisi mereka dalam peta-peta
tersebut, yang meski berkaitan erat tapi juga tetap bersitegang. Tanpa diduga,
ini kemudian membawa mereka ke pembongkaran persoalan-persoalan seperti latar
belakang etnis, kepadatan ruang kota, perkawinan dan keluarga, peran suara
dalam kehidupan sehari-sehari, dan politik industri kreatif.
Dalam foto seri berjudul Unfamiliar
Roots – Walking Banana, Stephany Yaya
Sungkharisma membungkus dirinya dengan kulit pisang. Kulit pisang menggambarkan
sebuah istilah yang dia temukan di sebuah koran berbahasa Inggris saat berlibur
ke Shanghai: ‘banana men’, yang mengacu pada orang-orang keturunan Cina yang
telah lahir dan menetap di negara Barat (terutama Amerika). Karena budaya Barat
– yang mempunyai stereotip kulit putih – telah mendarah daging kepadanya,
mereka dianggap seperti pisang: berdaging putih, berkulit kuning. Ini
menjelaskan bahwa persoalan utama yang ingin Yaya pahami menyangkut identitas
kultural. Sebagai keturunan Cina yang lahir dan besar di Jakarta, bagaimana dia
harus memposisikan dirinya di sebuah peta identitas yang terdiri dari dua
kebudayaan yang berbeda? Bagi Yaya, pertanyaan “siapa saya” selalu menimbulkan
kejanggalan, dimana dua kebudayaan yang seharusnya menjadi ‘rumah’ justru
terasa asing.
Ini dirasakan betul saat dia berlibur ke Shanghai seperti yang disebut
diatas: secara fisik dia memang dapat dengan mudah melebur disana, tapi pada
saat bersamaan dia adalah turis yang tidak mengenal bahasa dan kebudayaan lokal
tempat itu. Rasa bahwa dia tak sepenuhnya memiliki tempat yang pasti di dua
dunia kebudayaan ini digambarkan oleh tubuh yang terpenggal-penggal. Meski tak
pada tempatnya, bagian-bagian tubuh ini masih merupakan kesatuan anatomi tubuh
yang semestinya: tidak ada bagian yang hilang atau diulang. Ini mengingatkan
bahwa identitas seseorang tidak selalu harus terdiri dari bagian-bagian yang ‘pas’,
tapi juga pecahan-pecahan ambigu yang membuat mereka unik. Karya Yaya disini
menunjukkan pengertian yang matang akan ‘konsep’ sebagai lebih dari sekedar
penjelasan atas karya, tapi sebuah situs pergulatan buah pikiran dan
permasalahan yang seorang seniman coba pecahkan lewat karyanya.
Angela Judiyanto memetakan dirinya berdasarkan teritori yang diklasifikasi
menurut perubahan kadar suka dan tidak suka terhadap bermacam-macam hal. Kemudian,
kondisi yang mempengaruhi perubahan tersebut juga diuraikan menjadi sebuah
‘catatan lapangan’ tentang dirinya sendiri: dari segi ini, karya Angela dapat dilihat sebagai semacam
praktek etnografis. Berbagai sampel yang didapatkan dari ‘penelitian lapangan’
ditaruh didalam toples, untuk didata dan dianalisa lebih lanjut.
Disini Angela terus mengasah gaya ilustrasi yang dimilikinya, kali ini
dengan media cat akrilik diatas kertas mika. Ilustrasi-ilustrasi tersebut
diletakkan didalam toples yang berbeda-beda ukuran, dan tersedia label yang
menjelaskan mengapa dia memilih objek yang digambarkan. Misalnya di gambar
tentang lukisan Mark Rothko, Angela menjelaskan bagaimana dia pertama kali
menjumpai karya-karya Rothko semasa kuliah, dan mulai terpikat karena baginya lapisan
demi lapisan warna yang dihasilkan Rothko banyak berbicara tentang perasaan dan
emosi. Di toples terbesar, Angela membuat ilustrasi tentang pameran ini: dengan
menggunakan toples berukuran ini, dia menjelaskan bahwa tidak hanya dia
menyukai bagaimana orang-orang yang terlibat mempunyai semangat yang sama, dia
juga merasa puas dengan karyanya untuk pameran ini karena berbeda dari apa yang
pernah dibuat sebelumnya. Karena ilustrasi-ilustrasi dalam toples ini berukuran
kecil, maka pemirsa harus melihat mereka dari jarak dekat; maka, terbentuk
hubungan yang intim antara karya dengan pemirsa, yang sedang meneliti dan
mencermati gambar-gambar itu.
Apabila Yaya dan Angela menjelajah peta pribadi mereka, G.H.O.S.T. – dalam
karya Infantial Substance – membicarakan
bagaimana sebuah peta baru dibentuk ketika kedua orang – dengan keistimewaan
pribadi masing-masing – memasuki dunia pernikahan. Salah satu hal yang menonjol
bagi Agra dan Yesy adalah bagaimana sebuah pernikahan dapat menjalin temali
kebudayaan dari dua orang yang berbeda: instalasi tekstil ini adalah wujud
akulturasi yang kompleks antara mereka berdua, dimana segala perbedaan latar
belakang mereka melebur menjadi sebuah identitas baru. Ini terpampang jelas baik
dari pemilihan materi, komposisi bentuk, dan berbagai analogi visual yang ada pada karya ini.
Agra bekerja sebagai seorang desainer grafis dan Yesy adalah lulusan dari
program Kriya Tekstil.
Pada karya ini mereka menggunakan kain ulos (Yesy adalah keturunan Batak) yang
sudah jadi, yang digantung menyerupai tirai kanopi untuk menggambarkan suasana
prosesi upacara pernikahan yang baru mereka lewati. Kain tersebut telah
dibordir dengan bentuk-bentuk yang bersifat simbolik – salah satunya adalah wahyu
temurun dibagian depan kain. Disini, wahyu temurun bukan hanya representasi
kultur Jawa milik Agra. Karena warnanya diubah dari tradisional coklat ke pink
tua dan dibordir di atas ulos, maka pentabrakan ini menjadi representasi atas
identitas mereka berdua sebagai pasangan. Di ujung kain digantung sebuah beskap
yang terlihat masih dalam proses penyelesaian, sebagaimana perjalanan mereka
sebagai pasangan juga masih jauh dari selesai. Bentuk-bentuk grafis terlihat
dari lingkaran cahaya dengan biasan sinar dan Hati Kudus yang ada di
atas-belakang dan pada dada beskap, yang dapat dilihat sebagai simbol
penghimpunan dan kesakralan sebuah pernikahan. Atmosfir keagungan juga terbangun
dari pemasangan karya ini, dimana karya ini disangga dari langit-langit ruang
galeri sehingga terlihat mengambang di udara.
Pada karya-karya mereka, Natasha Tontey dan Dibyokusumo Hadipamenang mengangkat
tema pemetaan dalam bingkai aspek politik dari industri kreatif dimana mereka bekerja:
Tontey sebagai tim kreatif sebuah rumah desain, sedangkan Dibyo adalah produser
freelance yang banyak mengerjakan video untuk tujuan komersil. Di karya berjudul
Rhyme Stew, Tontey bercerita tentang
ketidakseimbangan antara keinginan untuk membuat karya seni dan tanggung jawab
yang dipikul dalam dunia industri. Tontey merasa bahwa hubungan antara dua
dunia ini sangat mudah menjadi berat sebelah, dan ketimpangan itu sering kali
diiringi dengan perasaan hilangnya harapan dan mimpi. Angan-angan yang tadinya
menyemangati luluh lebur. Secara keseluruhan, karya ini dapat dilihat sebagai ekspresi
akan rasa tenggelam dalam segala beban tanggung jawab di tempat kerja, yang
membatasi ruang gerak.
Tontey melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap media yang telah
digunakan pada karya sebelumnya, yaitu bahan-bahan temuan yang diproduksi secara
masal dan terbuat dari plastik. Tontey menemukan bahwa boneka-boneka yang
tersedia, yang gosong saat dibakar, tidak dapat memberikan bentuk dan warna
lelehan yang diinginkannya. Maka, dia harus mencetak boneka-boneka baru dari
silikon dan lilin berdasarkan boneka-boneka yang dimilikinya. Boneka-boneka ini
kemudian ditempelkan diatas meja yang dibuat dari besi, sebelum diguyur oleh
resin dan dicat dengan warna kulit artifisial yang sering digunakan pada boneka-boneka
buatan pabrik ini. Hampir semua tubuh boneka dimutilasi, dipecah untuk lalu
disambungkan kembali tidak pada tempatnya: di permukaan lelehan berbagai
potongan wajah, kepala, tangan, mata,
semua disebar secara acak. Karya yang dihasilkan dapat didudukkan dalam tradisi
Surealisme, dimana jukstaposisi antara aspek kekanak-kanakan dan absurditas
menghasilkan sifat kepuitisan yang aneh mencekam.
Dengan karya video berjudul Bias, Dibyo
menghadirkan sebuah satir akan dunia seni yang kian menjadi industri, dimana
semua kepentingan mengacu pada komodifikasi dan pencarian kapital. Tema utama
dari video ini adalah percaturan berbagai sistem – termasuk praktek industri kreatif dan
kesenian – yang dianggap telah meraja lela secara global. Video ini seakan
menekankan bagaimana seseorang yang menghidupi keduanya dituntut untuk
merancang strategi bertindak secara lihai. Bagi Dibyo, peta kehidupan seni dan
peta kehidupan industri ini sebenarnya berada dalam dunia yang sama, dimana
langkah yang diambil di satu sisi akan mempunyai timbal balik dari sisi yang
lain.
Menurut Dibyo, runtuhnya batas antara dunia seni dan dunia industri
terlihat jelas pada bagaimana karya seni sudah menjadi komoditas belaka.
Komodifikasi dunia seni dalam beberapa adegan dianalogikan dengan dot merah.
Dot merah itu seakan selalu hadir dan terus mengikuti, sebagaimana keinginan
untuk mengakumulasi kapital terus menghantui gerak gerik dan perilaku warga di
kota-kota besar. Namun kenyataan industrialisasi seni ini tidak harus
membangkitkan pesimisme. Ketika dua dunia ini tidak lagi dianggap begitu
bertolak-belakang, maka seseorang akan mampu menghadapi segala perbedaan yang
ada (cara kerja, idealisme, dan sebagainya) secara positif. Karena menurut
Dibyo, di peta ini tidak lagi ada kawan dan lawan; semua terikat pada jaringan
yang sama, dan semua yang terlibat mempunyai kesempatan yang sama untuk menanggapi
berbagai kenyataannya secara optimis.
Upaya pemetaan adalah upaya untuk menggambarkan pengalaman spasial yang
spesifik. Pada beberapa karya di pameran ini, pengalaman spasial yang secara
khusus ditonjolkan adalah pengalaman ruang urban. Karya Caves – kolaborasi
antara Mahesa dan Niken – yang berjudul Sara
Bara Club, merekonstruksi pengalaman dari kota-kota yang pernah mereka
tinggali, yang sekarang telah mengendap dalam berbagai ingatan dan terus
mempengaruhi kebiasaan dan tingkah laku mereka sehari-hari. Ruang kota mempunyai
asosiasi khusus yaitu tumpang tindihnya berbagai elemen fisik (warna, tekstur,
pencahayaan, ukuran, dlsb) dan non-fisik (teknologi digital, keragaman etnis,
permasalahan gender, kesenjangan sosial-ekonomi, dst) di dalam suatu ruang yang
kian padat. Instalasi ini merangkum suasana desak-desakan ini kedalam sebuah
bangunan sebesar 2,7 x 2,3 x 1,7 meter.
Didalamnya, kontras tinggi yang mendefinisikan kota (terutama, menurut
mereka, Jakarta) disimulasikan oleh lapis demi lapis sobekan dan potongan
kertas berbagai jenis dan warna. Di sebagian besar, kertas-kertas tadi terisi
karya-karya mereka sebelumnya, yaitu kumpulan bermacam ilustrasi yang pernah
mereka buat; kertas-kertas berisi ilustrasi ini adalah semacam arsip yang
merekam perkembangan artistik Mahesa dan Niken. Tekstur ruang yang dihasilkan
oleh warna-warna plastik dan neon, ditambah dengan pengalaman audio-visual dari
video, membawa pengalaman ruang kota – dimana
kita seakan selalu dibombardir oleh berbagai stimulus – kedalam ruang buatan ini. Saat kita berada
didalamnya, apakah kita bisa mengatakan dengan jujur bahwa kita sama sekali tidak
teringatkan atas hingar-bingar kota-kota besar?
Ketergantungan kita akan apa yang kita lihat sering membuat kita lupa bahwa
berbagai stimulus ini juga dicerna oleh indra lain. Instalasi suara yang dibuat
oleh Jonathan Kusuma – seorang musisi dan desainer grafis – mengingatkan kita
bahwa pemetaan adalah suatu pengalaman yang menggunakan seluruh tubuh. Saat
kita mengatakan ‘pengalaman tubuh’, indra yang menjadi dominan adalah ‘mata’:
ini adalah ‘okularsentrisme’ yang kerap menjajah pengalaman kita akan ruang
sekitar. Dengan memanipulasi ruang meeting galeri lewat suara, Jonathan
mengajak kita untuk lebih memperhatikan suara-suara dari ruang keseharian yang
kita huni. Disini, dia menggunakan bel-bel yang sering kita dengar saat
memasuki toko-toko kelontong atau mini mart. Dengan menggunakan kumpulan bel
yang sama, karya ini berbicara tentang sebuah fenomena yang relatif baru di
Jakarta, yaitu menjamurnya mini mart. Secara sengaja dipilih suara bel yang
sama, untuk menekankan betapa seragamnya semua mini mart tersebut. Penempatan
bel-bel tersebut diatur menurut skema komposisi yang telah dirancang
sebelumnya: sebagai hasil, penonton mendapatkan tidak hanya suatu pengalaman khusus
tentang suara dari ruang keseharian, tapi juga pengalaman musikal dari interaksi mereka.
Ada kesamaan ide baik di karya cetak dan karya suara Jonathan, yaitu
bagaimana seseorang, dalam posisi apapun, tak henti menjalin hubungan dengan
benda, hal atau orang lain. Pada karya ilustrasi digital, ini terlihat jelas
dari garis-garis yang menghubungkan bulatan. Pada karya-karya ini, ide tentang
hubungan dielaborasi dengan tiga cara. Pertama, bagaimana hubungan terdiri dari
apa yang bisa dan tidak bisa kita lihat; kedua, hubungan sebagai cabang yang
berakar dari satu titik posisi, dengan arah yang berbeda; ketiga, bagaimana
satu titik posisi menghasilkan cabang-cabang yang mempunyai hubungan antara
satu sama lain. Saya sendiri merasa bahwa ketiga hal ini adalah representasi
visual yang akurat akan berbagai hubungan yang saya miliki dengan lingkungan
sekitar saya.
Ide tentang ‘peta’ dan ‘pengalaman kota’ juga dibahas oleh Andyani Dewi. Pada
karya foto serinya, Dewi memotret maket yang sebelumnya disusun dari bermacam
benda-benda temuan. Pencitraan kekanak-kanakan yang digunakannya disini
terinspirasi oleh pengalamannya sebagai seorang ibu muda: mulai dari
meninggalkan kebiasaan hidupnya yang lama, membentuk rutinitas baru yang
dilatari rasa tanggung jawab terhadap anak, menegosiasi berbagai tantangan
untuk mendapatkan posisi yang nyaman dalam mengasuh, bekerja dan berkarya.
Menurutnya, suatu hasil yang unik dan tak terduga dari proses ini adalah bagaimana
proses ini membantunya mengolah sudut pandangnya sebagai seorang seniman:
kemampuan untuk lebih menghargai hal-hal yang terlihat sederhana dan
remeh-temeh, dengan memahami bahwa mereka sudah memiliki kompleksitas yang siap
dijelajah dan digali.
Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana foto-foto ini adalah representasi
akan berbagai permasalahan kota: kemacetan yang ganas, timbunan sampah tak
terurus, banjir musiman. Tapi, persoalan kota yang dibicarakan di tiap foto
diberi ‘puntiran’ yang jenaka. Andaikan kita dapat semudah itu pindah ke awan,
seperti yang dilakukan oleh si koala saat dia muak dengan kotanya. Dan
bayangkan betapa absurdnya kota kita, apabila macet yang menjebak ternyata
disebabkan oleh panda dan beruang yang sedang kasmaran. Ide awal tentang
membayangkan pemetaan membawa Dewi untuk membayangkan ruang sekitarnya;
meskipun foto-foto ini terlihat kekanak-kanakkan, mereka tetap menjadi
representasi visual yang kuat akan kenyataan kota yang dihidupinya.
Berbeda dengan karya-karya yang telah saya sebut diatas, Ika Putranto dan
Isha Henning secara spesifik membahas tentang bagian dari konsep peta itu
sendiri: Ika tentang ide ‘perbatasan’, dan Isha tentang ide ‘navigasi’. Ika mengawali proses berpikirnya dengan membuat
analogi bahwa sebuah karya adalah peta yang terdiri dari daerah-daerah khusus:
khayalan, ingatan, keinginan, kecemasan, dan seterusnya. Kemudian Ika mempertanyakan
sifat batas yang memisahkan tiap daerah, dan mendapatkan bahwa satu ide yang
menonjol adalah bagaimana perbatasan tidak selalu bersifat kekal dan permanen.
Melainkan, ada batas-batas yang mudah diterobos dan ditembus. Batas tidak
selamanya mengkukung, tapi bisa jadi sesuatu yang harus dilewati untuk
mengalami perubahan.
Objek-objek binatang yang dipilihnya disini (yang terbuat dari kayu) adalah
representasi visual dari tradisi fabel dimana binatang diumpamakan untuk
menggambarkan sifat manusia. Untuk menggambarkan gagasan tentang ‘batas’ tadi,
Ika menggunakan sebuah kerangka yang dibangun dari kaca. Pada komposisi ini,
tiap binatang seakan menembus helai demi helai kaca, dan perubahan yang terjadi
pada mereka terlihat pada ilustrasinya. Dari satu sudut pandang
binatang-binatang terlihat relatif normal karena semua telah dilukis dalam gaya
yang sama, tapi lain halnya ketika kita berubah posisi dan melihat pencampuran
teknik melukis pada potongan bagian tubuh mereka. Ini juga menggambarkan
ketertarikan Ika akan kompleksitas persepsi, dimana pengertian seseorang
ternyata dapat berubah menurut perubahan posisi dan sudut pandang mereka. Skala
karya ini juga membantu membangun suasana yang humoris dan ganjil secara
simultan: berukuran 2,7 x 1,5 x 2 m, barisan flamingo, burung dodo, burung unta,
kijang dan kelinci yang ada disini nyaris mengkerdilkan pemirsanya.
Untuk eksekusi videonya yang berjudul The
Vessel, Isha berangkat dari Tetris,
sebuah jenis video-game yang besar di tahun 80an dimana pemain harus memetakan
‘ubin-ubin’ yang diberikan untuk menang. Isha memilih Tetris dengan alasan nostalgia. Baginya, nostalgia mempunyai peran
yang kuat dalam membentuk pola pikir dan identitas seseorang: berbeda dari
artian harafiah nostalgia yaitu ‘kerinduan akan rumah’ nostalgia disini dapat
dimengerti sebagai sebuah kerinduan pada suatu hal yang tidak semudah itu
didefinisikan.
Semua peta memuat arahan tentang jalan dan tujuan: upaya untuk merencanakan
arahan ini dapat kita anggap sebagai definisi kasar akan navigasi. Ini adalah
ide yang mendasari karya Isha disini, dan disini digunakan analogi dua jenis
transportasi yang berbeda: pesawat ruang angkasa dan kapal layar. Pada awal
video, kita melihat sebuah pesawat ruang angkasa dalam bentuk permainan Tetris tadi membongkar bagian tubuhnya;
setelah copot satu persatu, ‘ubin-ubin’ tadi merakit kembali dirinya menjadi
sebuah kapal layar. Ini terjadi beriringan dengan meruaknya setting pemandangan
dari bagian samping layar, sehingga akhirnya kapal tersebut seakan sedang
menjelajahi berbagai lanskap yang berbeda. Disini, arah yang ditempuh oleh
perahu layar adalah representasi dari berbagai ‘navigasi’ pribadi Isha saat
ini. Dimana sebuah pesawat ruang angkasa terlihat begitu canggih namun berjarak
dari kenyataan, melalui kapal layar yang
sederhana, yang bergerak lebih pelan, Isha merasa lebih dekat dengan keadaan
sekitarnya dan dengan demikian lebih menghargai petualangan yang dialaminya.
***
Kesebelas karya disini, melalui cara mereka sendiri-sendiri, bersama-sama menggali
suatu tema besar untuk mendapatkan perspektif baru akan hal-hal yang mungkin
sudah begitu sering ditemui sehingga nyaris terlupakan begitu saja. Saya mendapatkan bahwa karya-karya yang ada
disini adalah wujud konkrit dari bagaimana segala tahap yang membentuk suatu proses
berkarya – mulai dari eksperimentasi awal yang melahirkan bibit ide, interaksi
dengan orang lain dan ruang sekitar, eksplorasi lebih lanjut terhadap gagasan
dan media, eksekusi, dan bermacam hambatan yang ditemui didalamnya – tidak
kalah penting dari hasil akhir yang didapatkan; bahkan, bukan tidak mungkin
bahwa proses inilah yang memupuk kekuatan sebuah karya.
Saya harap saya berbicara untuk setidaknya sebagian besar orang yang
terlibat disini dalam menyatakan bahwa dengan memastikan adanya proses panjang
– dan terkadang sulit – yang meliputi diskusi, dialog, debat dan tukar pikir secara
kritis dari berbagai pihak, maka kita bergerak menuju pewacanaan secara nyata. Saya
rasa keberlanjutan – bagi masing-masing seniman dan juga kegiatan pameran ini secara
keseluruhan – adalah salah satu tes terbesar yang harus dihadapi. Setelah
keberlanjutan, ujian lain yang harus dilewati adalah kegigihan: bagaimana
seseorang dapat terus mendorong dirinya sendiri dalam berkarya dengan tujuan melampaui
patokan-patokan lama, adalah tantangan yang tidak bisa dianggap enteng. Kiranya
saya tidak sendirian dalam berpendapat bahwa tujuan-tujuan ini tidak bisa
diraih secara instan; ibaratnya, pameran ini adalah sebuah bibit yang harus dipelihara
dan terus diolah untuk benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan.
Mitha Budhyarto
15 Mei 2012.
No comments:
Post a Comment