Setelah hiatus yang telah berlangsung terlalu
lama, ini adalah pengantar kuratorial yang saya tulis untuk pameran tunggal
Sutra Djarot di Vivi Yip Artroom, Jakarta. Versi dalam bahasa Inggris ada
dibawah, dalam huruf miring.
After
a hiatus that’s gone on for far too long, this is a curatorial essay that I
wrote for Sutra Djarot’s solo exhibition at Vivi Yip Artroom, Jakarta. I’ve
also put up the English version below, in italics.
Budaya Selebriti dan Ilusi akan
Popularitas yang Kekal
Saat Sutra pertama kali memperlihatkan karya awal untuk pameran ini – saat
itu baru ada lukisan Coco Chanel, dalam posisi duduknya yang terkenal itu –
pertanyaan yang muncul di kepala saya adalah, apakah yang membuat kita masih terpikat
dengan lukisan tentang selebriti dari dunia fashion dan entertainment
internasional dari berbagai masa? Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa dasar
ketertarikan ini adalah popularitas mereka sendiri: sebagian besar dari kita
memang sudah akrab dengan tokoh-tokoh yang Sutra hadirkan disini, lewat
berbagai pencitraan yang bisa kita dapatkan dimana-dimana. Tapi, melihat
lukisan-lukisan ini kasat mata, tidak sulit untuk menyadari keunikan mereka,
terutama karena disini Sutra meggunakan air kopi dan benang. Memikirkan
karya-karya Sutra lebih lanjut, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa yang
membedakan mereka memang bukanlah apa
yang dilukis melainkan bagimana
mereka dilukis. Dalam kata lain, perbedaan terbesar terletak pada media yang Sutra
gunakan – baik konkret dan maya – dalam proses pembuatannya.
Lebih dari empat puluh tahun yang lalu, ketika kultur selebriti sedang memuncak
di Amerika Serikat seiring dengan meraja lelanya media populer, sebuah kalimat
diutarkan: di masa depan, semua orang akan dapat menikmati popularitas berskala
dunia selama limabelas menit. Saat ia mengucapkannya, Andy Warhol – seorang
seniman yang pribadinya tak kalah terkenal dari karyanya – mungkin tidak sadar
bahwa kalimat tersebut akan terus mempunyai gema lama setelah dia meninggal.
Sekarang, kalimat itu telah menjadi sepopuler orang-orang yang ditunjuk
didalamnya, dan dianggap dapat dengan ringkas menangkap semangat sebuah zaman.
Alasan yang mendasari anggapan ini cukup jelas: dengan cermat kalimat tersebut menunjuk
pada sarana teknologi yang mencirikan era itu, yang memungkinkan siapa saja –
bukan hanya mereka yang mempunyai sifat-sifat luar biasa – untuk dilontarkan
dari posisi tanpa status ke puncak ketenaran dengan sangat cepat. Diatas sana,
mereka bisa hanyut dalam pusaran pujaan dan hasrat, meski hanya untuk limabelas
menit. Kalimat singkat ini adalah pernyataan atas betapa semunya popularitas
langsung-jadi: kecepatan tinggi yang ditempuh seorang ‘selebriti instan’ dalam
mencapai ketenaran akan kalah cepat dengan kecepatan yang akan dilaluinya saat
dia terhempas kebawah dan menjadi bukan siapa-siapa kembali.
Saat itu, televisi sedang menjadi ujung tombak media komunikasi massa. Berbeda
dengan teknologi percetakan dan audio yang sebelumnya menjadi media unggulan,
televisi mendatangkan sebuah revolusi yang tak terduga. Yang menjadi penyebab
adalah kemampuannya untuk tak hanya menggabungkan indra-indra yang tadinya
digunakan secara terpisah, tapi juga menggabungkan orang-orang dari negara yang
berbeda-beda dalam suatu ‘desa dunia’.
Mengesampingkan ulasan pendek akan sejarah media komunikasi massa dan
kembali ke konteks Indonesia di masa kekinian, tak bisa dibantah bahwa sekarang
bukan televisi yang menjadikan saya atau anda seorang warga ‘desa dunia’. Bisa
dikatakan bahwa pangkal perkaranya adalah pengaturan yang ketat dan
sebelah-mata atas isi saluran televisi, yang menyebabkan masih terasanya jarak baik
dalam artian letak geografis dan juga periode waktu. Disini, pemirsa tidak
mempunyai kuasa yang luas atas bagaimana keinginan dan permintaan mereka
dipenuhi: kapan, misalnya, (kalau memang pernah sama sekali) terakhir kali penggemar
film-film Woody Allen bisa menonton karya sutradara ini lewat saluran stasiun
televisi lokal? Dan kalau hanya mengandalkan televisi lokal saja, rasanya Sutra
tidak akan mengenali tokoh-tokoh dunia fashion/ hiburan dari London dan New York
tahun 60an seperti Edie Sedgwick dan Twiggy.
Berbagai media informasi yang ada memang menghasilkan paradigma yang juga
berbeda-beda: ini kesimpulan yang bisa kita tarik dengan membuat perbandingan
tentang pengalaman yang kita dapatkan saat membaca
berita di koran, melihat dan
mendengarkannya di televisi, dan memilih
sendiri berita apa yang ingin kita perhatikan melalui Internet. Saat pameran
ini berlangsung, demokratisasi produksi, distribusi dan konsumsi informasi
memuncak pada Internet, dan bagaimana ia mempersilahkan interaksi dari pengguna
dengan tingkat kebebasan dan kelangsungan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Paradigma
baru ini jugalah yang memungkinkan Sutra untuk memilih tokoh-tokoh yang sesuai
dengan khayalan artistiknya, lewat penembusan batas ruang dan waktu: seperti
yang dapat kita lihat, gambar-gambar asli dari tokoh-tokoh disini meliputi setidaknya
tujuh dekade dan dua benua.
Internet memberi kebebasan pada pengguna untuk mengekspos diri mereka terhadap
tokoh-tokoh yang mereka kagumi – apapun alasan kekaguman itu – dan membiakkan
hasrat untuk ingin tahu lebih banyak dan lebih rinci tentang tokoh yang
diidolakan. Disini, Internet bukan hanya sarana untuk memenuhi hasrat itu tapi
juga alat yang secara efektif memupuk suatu obsesi unik yang sering disebut
sebagai ‘kultus selebriti’. Kebanyakan orang rasanya pernah merasakan bagaimana
Internet menggoda sekaligus memberi jawaban atas godaan tersebut: saya rasa Sutra
tidak sendirian dalam perjalanannya mendalami ilusi ketakterbatasan dunia
online untuk mendapatkan ribuan gambar orang-orang terkenal ini, yang dengan
cepat memadati hard-drive laptopnya.
Obsesi yang dipirantikan media berbasis Internet ini menjadi rantai yang
menuntun Sutra ke pemilihan tokoh-tokoh tersebut, meskipun dia datang dari
konteks lokal yang jauh berbeda dari mereka. Berhadapan dengan karya-karya ini,
kita bisa melihat bahwa teknik melukis yang dimiliki Sutra dapat dengan fasih
menangkap daya tarik subjek-subjek yang dilukisnya. Tapi terlebih dari itu,
yang juga menonjol adalah proses pembuatan karya lukis (yang tergolong
tradisional) dimana media Internet mempunyai peran besar. Ini terlihat jelas
dari bagaimana untuk Sutra, media tersebut seakan mengkikis habis jarak ruang
dan waktu.
Mumifikasi Digital
Saat Sutra mencari gambar-gambar ini dari berbagai situs online untuk
kemudian dilukis, dia tidak hanya berada di posisi geografis yang berbeda dari
tempat dimana gambar ini pertama kali diambil, tapi juga letak waktu yang jauh
rentangnya. Pada saat Sutra mendapatkan gambar-gambar digital tersebut,
tokoh-tokoh itu sudah melalui proses mumifikasi lebih lanjut (yang awalnya
dimulai dengan fotografi) melalui Internet. Pada sejarahnya, fotografi pernah dikatakan
dapat membekukan sebuah momen waktu secara langsung. Namun, berbeda dengan
gambar digital, lembaran foto adalah benda fisik yang mempunyai masa hidup yang
pasti: seperti wujud-wujud konkret dan nyata lainnya, ia jelas tetap rapuh
secara fisik.
Saat wujud fisik itu musnah, lenyap juga segala ingatan dan aspirasi yang
tadi terkemas didalamnya. Begitu juga dengan popularitas: apabila ketenaran
seseorang hanya terekam dalam kertas foto atau pita kaset video, dari satu segi,
popularitas mereka hanya akan mempunyai umur yang sama dengan dokumentasi fisik
tersebut. Tapi, saat popularitas tersebut terekam oleh proses digital, sebuah
ilusi baru tentang popularitas terbentuk.
Ilusi baru ini mempertanyakan pernyataan yang disebut diatas, yang dibuat
oleh seorang seniman yang kemudian juga menjadi seorang selebriti: seberapa fananya
kultus selebriti yang ia katakan hanya akan bertahan 15 menit? Tokoh-tokoh yang
Sutra lukiskan disini memang bukan sembarang orang, melainkan mereka yang
dianggap telah mempunyai kontribusi tertentu pada bidangnya. Misalnya, memang
pencapaian Coco Chanel sudah dengan sendirinya menjamin kekekalannya dalam
dunia fashion. Tapi yang lebih menarik disini adalah bagaimana media yang Sutra
gunakan untuk mendapatkan gambar-gambar ini mengingatkan kita bahwa dengan
Internet, tidak hanya siapa saja bisa menjadi terkenal untuk limabelas menit, tetapi
sekarang mereka bisa terkenal seakan-akan
untuk selamanya.
Tak seperti ‘pembekuan’ oleh media rekam lain, mumifikasi lewat proses
digital seolah sepenuhnya menghentikan waktu. Pada gambar digital yang Sutra
dapatkan, tokoh-tokoh itu tidak akan menjadi keriput, kulit mereka tidak akan
mengendor, cahaya matanya tidak akan memudar: pesona mereka terkesan kekal, sekekal
Internet itu sendiri. Karena, saat ini, siapa yang bisa membayangkan bahwa
Internet dapat punah, seperti besi dapat berubah menjadi karat atau lembaran
foto yang terbakar menjadi debu?
Nostalgia melalui Air kopi
Saat dilucuti oleh konteks waktunya, kita – si permisa – mempunyai
kebebasan untuk menyorot dan memboboti gambar tersebut dengan proyeksi khayalan
apapun yang kita anggap penting, sesuai, menarik. Disini, tatapan Sutra
memboboti tokoh-tokoh tersebut dengan nostalgia. Dia gunakan air kopi: untuk
mendapatkan warna yang diinginkan, Sutra mencampur tinta cina dan kopi tubruk
yang sudah diseduh. Hasilnya, daya tarik tokoh-tokoh beku tadi seakan telah diberi
warna baru oleh waktu yang telah lewat.
Menurut etimologinya, nostalgia dapat didefinisikan sebagai rasa melankolis
yang datang dengan kenginan untuk kembali ke rumah. Banyak yang mengatakan
bahwa melankoli itu berakar pada pengetahuan bahwa keinginan tersebut tidak akan
mungkin dipenuhi: sering kali saat kita pulang, apa yang kita temui bertolak
belakang dengan bayangan kita karena meski rumah itu tetap sama, kita tak
menyadari bahwa kitalah yang telah banyak berubah. Ini adalah mitos terbesar
tentang nostalgia, yang mengasumsikan bahwa melankoli tersebut dapat diobati
semata-mata dengan kembali ke suatu tempat dari masa lampau.
Asumsi ini salah, karena melupakan konteks ruang yang memberikan arti pada
waktu yang dilewati di tempat tersebut. Apakah kita bisa benar-benar
membayangkan tahun enampuluhan yang dilewati Serge Gainsbourg dan Jane Birkin,
tanpa membayangkan nightclub di Paris, atau era kejayaan Twiggy, tercerai dari
Carnaby Street di London? Yang ingin saya tekankan disini adalah nostalgia
bukan hanya persoalan waktu tapi juga tempat, seperti yang ditunjuk oleh ide
akan ‘rumah’ pada rumpun katanya (Yunani Kuno - nóstos).
Nostalgia dalam artian inilah yang dihadirkan Sutra pada lukisan-lukisan di
pameran ini. Disini, nostalgia tidak hanya merujuk pada waktu yang telah lalu,
tapi juga tempat-tempat yang pernah dihuni. Memang benar lukisan-lukisan ini
tidak memberikan petunjuk harafiah akan dimana subjek-subjek ini berada. Tapi,
petanda yang halus tentang konteks lokasi tetap ada: kamar dimana Audrey
Hepburn sedang menelepon, ruang rias dimana Freddie Mercury berdandan, suasana
pesta dimana Janis Joplin menegak minumannya dan tertawa.
Benang dan Penjelajahan Artistik
Lukisan-lukisan ini jelas menunjukkan kemampuan Sutra untuk melukis, dan
tidak heran jika ada yang mengira bahwa Sutra mempunyai latar belakang di seni
lukis. Padahal, Sutra adalah lulusan jurusan Kriya Tekstil dari ITB. Ini
menjelaskan penggunaan benang pada karya-karya ini. Di koleksi ini sendiri, dengan
tema tokoh-tokoh populer dari bidang fashion dan entertainment, benang nilon
yang digunakan Sutra adalah material yang tepat. Dibanding dengan jenis benang
yang lebih bersifat organik, nilon, yang diciptakan oleh mesin pabrik, itu artifisial,
cepat dibuat, dan dapat diproduksi massal; tak jauh dari sifat-sifat yang mencirikan
budaya populer dan para selebriti instan yang diproduksinya.
Detail benang yang ada di lukisan-lukisan ini menunjukkan suatu langkah
awal penjelajahan sifat benang dan bagaimana seorang seniman bekerja dengannya.
Dari diskusi yang kami lakukan semasa proses pembuatan karya, saya mendapatkan
kesan kuat bahwa minat Sutra terhadap tekstil akan membawanya ke karya-karya
yang lebih berbasis serat dan terutama benang di kemudian hari. Memang bukan pernyataan
baru, bahwa batas antara seni rupa dan kriya tidak lagi berbasis pada bahan
yang digunakan melainkan, antara lain, cara pengolahan. Saya pribadi sangat
menunggu eksperimentasi Sutra dengan bahan yang pernah digelutinya secara
intensif selama jenjang pendidikannya, dan karya yang akan dia hasilkan lewat
suatu proses berpikir melalui benang.
***
Di awal pengantar ini, saya mengurai bagaimana karya-karya Sutra disini
mengingatkan kita akan munculnya pemahaman baru tentang keberlanjutan budaya
selebriti lewat media Internet: ilusi akan popularitas yang tak akan terkikis
waktu, yang tidak mungkin dihasilkan lewat media lainnya. Namun di sisi lain,
saya melihat bahwa yang juga menarik bagi Sutra adalah bagaimana gambar-gambar
yang dia temukan ini adalah rekaman akan waktu yang nyaris terlupakan. Dengan
ini, mereka menjadi manifestasi nyata kepingan waktu yang tadinya hanya akan lewat
tanpa jejak: di beberapa gambar waktu itu terisi oleh tindakan-tindakan spontan
dan sepele, di lainnya, sikap seorang subjek yang sadar penuh akan pembawaan
dirinya.
Tapi jika, gambar-gambar digital tadi memumifikasi tokoh-tokoh itu, di lukisan-lukisan
ini Sutra memberikan kehidupan baru pada mereka melalui dua cara. Pertama,
melalui pandangan nostalgis yang dia wujudkan lewat air kopi, dan kedua,
keterpikatan pada tekstil yang membawanya ke penggunaan benang. Dengan
cara-cara ini, sebagai seorang seniman Sutra berhasil menyajikan sebuah sudut
pandang yang berbeda tentang gambar-gambar yang sudah menjadi begitu familiar
karena sebelumnya telah sering kita temui: sebuah pencapaian artistik yang diingini
oleh banyak orang, namun tak sering diraih.
Celebrity
Culture and The Illusion of Eternal Fame
When Sutra first showed me one
of the first works for this exhibition – then only the Coco Chanel painting, in
her well-known seating position, was close to finish – the question that sprung
into mind was, what is it that still fascinates us about portraits of
celebrities from the international fashion and entertainment world throughout
the ages? Casually speaking, we may say that the reason for this interest lies
in the very popularity of these figures: most of us are already familiar with
the figures that Sutra gives us here, as we could easily find their images
everywhere. It is not difficult to recognize what makes these paintings unique
at first glance, especially since here Sutra had used coffee brew and thread.
Thinking about Sutra’s works further, I came to the conclusion that what makes them
distinct is not what she painted, but how she painted them. In other words, the
biggest distinction lies in the material that Sutra decided to work with – real
and virtual – during the creation process.
Over forty years ago, when
celebrity culture was at its peak in the United States due to the fast
spreading of popular media, a sentence was uttered: in the future, everybody
will be world-famous for fifteen minutes. As he uttered it, Andy Warhol – an artist
whose personality was no less famous than his works – was most probably unaware
that this short sentence will continue to resonate long after his death.
Now, it has come to be as famous
as the people implied in it, renowned for its ability to speak for a particular
zeitgeist so succinctly. The reason for this is quite clear: subtly, it points
to the technological means that are specific to that particular era, which
allow just about everybody – not only those with extraordinary qualities – to
be propelled from their status as a nobody to the heights of fame with
spectacular speed. At the top, adoration and desire abound and they will be
right in the middle of it all, if only for fifteen minutes. This brief sentence
is a statement for the transience of ready-made fame: the speed by which an
‘instant celebrity’ travels to the peak of their popularity will likely be
defeated by the speed they undergo on their way down, back to being the average
person again.
Then, television was at the
cutting edge of mass media communications. Different to the print and audio
technologies that precede it, television brought about an unprecedented
revolution. This is so not only because its capacity to unite the different
bodily senses that were separately engaged with by previous media, but also to
bring together people from different parts of the world to a ‘global village’.
Setting aside this brief account
of the history of mass media communications to return to the context of
contemporary Indonesia, one would be hard pushed to deny that it is not
television that has made you and I a citizen of this ‘global village’. One could
claim that at the heart of the problem lies the strict and one-sided
regulations over the content of television programs, whose impacts are apparent
in the gap still felt between geographical locations and time periods. Here, viewers
do not have firm authority over how their demands and wants are to be fulfilled:
when was the last time – if there was ever any – that Woody Allen enthusiasts
are able to watch his films from local television channels? And if she were to
rely on local television alone, it is doubtful that Sutra will come to know
about these iconic figures from the 1960s’ New York and London fashion and
entertainment world such as Edie Sedgwick dan Twiggy.
The different information media
that are available also bring with them different paradigms: this is a
conclusion that we may safely draw from comparing the distinct experiences
obtained from reading the news in the newspaper, listening and watching it on
the television, and choosing over what news we are particularly interested in
on the Internet. At the time of this exhibition, the democratization of the
production, distribution and consumption of information reaches its peak with
the Internet, and how it allows user interaction with a level of freedom and
immediacy that was unthought of before. It is this new technological paradigm
that made it possible for Sutra to freely choose over which images are deemed
suitable by her artistic imagination, by cutting through the boundaries of
space and time: as we can see, the original images that these paintings are
based on span at least seven decades and two continents.
The freedom that the Internet
gives its users allow them to expose themselves to the “icons” they admire –
whatever the reason for that admiration may be – and breed the desire to know
more and in greater details about them. Here, the Internet acts not only as the
media by which users may fulfill that desire, but also an as an effective means
to cultivate a unique obsession often referred to as ‘the cult of the celebrity’.
Most of us are aware of how the Internet seduces as it satisfies: surely Sutra was
not alone in her journey into the seemingly infinite online world in her quest
for the thousands of images of these famous figures, which soon filled up the
hard-drive of her laptop.
This obsession, mediated by the
Internet, became the chain that guided Sutra as she filtered through the
images, regardless of the fact that she came from a local context that is
wholly other to the people that are represented in them. Observing these
paintings, it is clearly apparent how Sutra’s skills as a painter are able to
fluently speak for the allure of these figures. But beyond that, what is
striking is also how important the role that the Internet has in the process of
creating a painting (which is considered to be a traditional art form). This is
evident in how for Sutra, it is as if this media has completely eroded spatial as
well as temporal distance.
Digital
Mummification
When Sutra was searching for
these images from various online sites in order to paint from them, she not
only occupied a geographical position that are different to the places in which
they are originally taken, but also a wide gap in temporal location. By the
time she acquired these digital images, the people in the photographs have
undergone a further process of mummification (which began by photography)
through the Internet. In its history, photography is said to be able to
‘embalm’ a moment in time immediately. However, as opposed to a digital image, a
photograph is a finite object with a definite life-time: it is no less
physically fragile than any other material thing.
As its materiality is destroyed,
whatever memory and aspiration packed into it also disappears. As is the case
with fame: if a person’s popularity is only recorded on a piece of photograph
or on the tape of a video casette, in a way, their fame will have the same shelf-life
as that physical documentation. But, when that fame is recorded through digital
processes, a new illusion about fame comes to be formed.
This illusion puts into question
the statement made above, uttered by an artist who then became a
world-celebrity himself: how transient is the cult of the celebrity that he
claimed to last only for fifteen minutes? The figures that Sutra paint here are
by no means the average person, but rather those who have gained well-deserved recognition
in their fields. For instance, Coco Chanel’s achievements alone have no doubt
secured her timeless position in the fashion world. However, what is more
interesting here is how the media that Sutra used to obtain these images
reminds us that with the Internet, the point is no longer that everybody can
now be world-famous for fifteen minutes, but that now they can be famous as
if for eternity.
Unlike the ‘freezing’ of time by
any other recording media, the mummification through digital processes gives
the illusory impression of the actual stopping of time. In the digital images
that Sutra used, these figures will never have to suffer a wrinkle, their skin
willl never sag, the brightness in their eyes will never fade: their allure
appears infinite, as infinite as the Internet itself. For, at this moment in
time, can we really imagine the Internet turning extinct, in the way that metal
turns to rust or a burned photograph turns to ash?
Nostalgia
through Brewed Coffee
When stripped off their temporal
context, we – the viewers – have the freedom to project our imagination onto
them in any way we see fit. In her paintings, Sutra’s gaze projected a sense of
nostalgia. Brewed coffee was used: in order to obtain the desired tone, she
mixed Chinese ink with coarse coffee grounds that has been steeped in water. As
a result, the appeal of these supposedly mummified famous figures appear to be
given a new colour by a time that has past.
According to its etymology,
nostalgia may roughly be defined as the melancholy associated with the desire
to return home. It is said that this melancholy is rooted in the knowledge that
this desire may never be fulfilled: often upon our return, what we find stands
in contrast to what we imagined as although the home itself remains the same,
we rarely realize it is us who have changed. This is one of the greatest myths
about nostalgia, which assumes that the melancholy felt may be remedied by a
simple return to a place that was once left.
This assumption is flawed, since
it ignores the spatial context that gives meaning to the time spent in that
past place. Are we able to sincerely imagine the sixties lived by Serge
Gainsbourg and Jane Birkin, without imagining the Parisian nightclubs, or an
era in which Twiggy reigned, as separate from Carnaby Street in London? What I
wish to underline here is that nostalgia is not only a matter of time but also
of place, as implied by the idea of the ‘home’ in the term’s etymological
history (Ancient Greek – nóstos).
It is this sense of nostalgia
that Sutra makes manifest in her paintings. Here, nostalgia not only refers to
a time that has lapsed, but also to the places that was once inhabited. It is
true that none of the paintings provide literal clues as to the exact places
these figures are in. But, subtle signifiers that point to a locatory context
remain: the bedroom where Audrey Hepburn makes a phone call, the dressing room
where Freddie Mercury is putting his makeup on, the party where Janis Joplin
laughs while holding her drink.
Thread and
an Artistic Exploration
These paintings no doubt display
Sutra’s painting skills, and it will be hardly a surprise if she was ever
mistaken for someone with a background in painting. But in fact, Sutra
graduated with a degree in Textiles Craft from Institut Teknologi Bandung. This
explains the use of thread in these works. In this particular collection, with
the theme of celebrities from the fashion and entertainment world, the nylon
thread that Sutra used is an apt material.
Unlike natural thread, nylon is artificial, quick to make and easily
mass-produced; not a far cry from the qualities that are often attached to popular
culture and its production of instant celebrities.
The thread details in these
paintings demonstrate an initial step in the exploration of thread’s characteristics
and how an artist may work with them. From the discussions that we had during
the creation of these works, I was left with a strong impression that Sutra’s
interest in textiles will lead her towards future works that are fiber-based,
in especially thread. It is nothing new to say that the boundary between art
and craft can no longer be founded upon the material used, but, among others,
how they are worked with. Personally, I eagerly await Sutra’s coming
experimentation with the material that she has intensively studied during her
formal education, and the works she will create from a process of thinking
through thread.
***
This essay was opened with a
commentary on the role of the Internet in the development of a particular
obsession with celebrities, and the kinds of new thought that arise from it,
such as the illusion of eternal fame. Beyond this, however, I sense that what
also interests Sutra is how the images that she had used are recordings of time
that had stood too close to being forgotten. In this aspect, they are concrete
manifestations of temporal fragments that almost went without a trace: in some images
that time was filled with spontaneous and trivial acts, in others, with the
poise of a subject who is fully conscious of the way they carry themselves.
However, if those digital images
mummify these figures, in her paintings Sutra gave them a new life by using two
methods. First, through her nostalgic point-of-view that she realizes with brewed
coffee, and second, through a fascination with textile that led her to using thread.
It is because of these that, as an artist, Sutra is able to present a unique
perspective to images that we have grown to be so familiar with through countless
previous encounters: an artistic achievement desired by many, but rarely
reached.
No comments:
Post a Comment