Sunday, 13 May 2012

Pomp!

Setelah hiatus yang telah berlangsung terlalu lama, ini adalah pengantar kuratorial yang saya tulis untuk pameran tunggal Sutra Djarot di Vivi Yip Artroom, Jakarta. Versi dalam bahasa Inggris ada dibawah, dalam huruf miring.

After a hiatus that’s gone on for far too long, this is a curatorial essay that I wrote for Sutra Djarot’s solo exhibition at Vivi Yip Artroom, Jakarta. I’ve also put up the English version below, in italics. 


Budaya Selebriti dan Ilusi akan Popularitas yang Kekal

Saat Sutra pertama kali memperlihatkan karya awal untuk pameran ini – saat itu baru ada lukisan Coco Chanel, dalam posisi duduknya yang terkenal itu – pertanyaan yang muncul di kepala saya adalah, apakah yang membuat kita masih terpikat dengan lukisan tentang selebriti dari dunia fashion dan entertainment internasional dari berbagai masa? Secara sederhana, bisa dikatakan bahwa dasar ketertarikan ini adalah popularitas mereka sendiri: sebagian besar dari kita memang sudah akrab dengan tokoh-tokoh yang Sutra hadirkan disini, lewat berbagai pencitraan yang bisa kita dapatkan dimana-dimana. Tapi, melihat lukisan-lukisan ini kasat mata, tidak sulit untuk menyadari keunikan mereka, terutama karena disini Sutra meggunakan air kopi dan benang. Memikirkan karya-karya Sutra lebih lanjut, saya kemudian menarik kesimpulan bahwa yang membedakan mereka memang bukanlah apa yang dilukis melainkan bagimana mereka dilukis. Dalam kata lain, perbedaan terbesar terletak pada media yang Sutra gunakan – baik konkret dan maya – dalam proses pembuatannya.

Lebih dari empat puluh tahun yang lalu, ketika kultur selebriti sedang memuncak di Amerika Serikat seiring dengan meraja lelanya media populer, sebuah kalimat diutarkan: di masa depan, semua orang akan dapat menikmati popularitas berskala dunia selama limabelas menit. Saat ia mengucapkannya, Andy Warhol – seorang seniman yang pribadinya tak kalah terkenal dari karyanya – mungkin tidak sadar bahwa kalimat tersebut akan terus mempunyai gema lama setelah dia meninggal.

Sekarang, kalimat itu telah menjadi sepopuler orang-orang yang ditunjuk didalamnya, dan dianggap dapat dengan ringkas menangkap semangat sebuah zaman. Alasan yang mendasari anggapan ini cukup jelas: dengan cermat kalimat tersebut menunjuk pada sarana teknologi yang mencirikan era itu, yang memungkinkan siapa saja – bukan hanya mereka yang mempunyai sifat-sifat luar biasa – untuk dilontarkan dari posisi tanpa status ke puncak ketenaran dengan sangat cepat. Diatas sana, mereka bisa hanyut dalam pusaran pujaan dan hasrat, meski hanya untuk limabelas menit. Kalimat singkat ini adalah pernyataan atas betapa semunya popularitas langsung-jadi: kecepatan tinggi yang ditempuh seorang ‘selebriti instan’ dalam mencapai ketenaran akan kalah cepat dengan kecepatan yang akan dilaluinya saat dia terhempas kebawah dan menjadi bukan siapa-siapa kembali.

Saat itu, televisi sedang menjadi ujung tombak media komunikasi massa. Berbeda dengan teknologi percetakan dan audio yang sebelumnya menjadi media unggulan, televisi mendatangkan sebuah revolusi yang tak terduga. Yang menjadi penyebab adalah kemampuannya untuk tak hanya menggabungkan indra-indra yang tadinya digunakan secara terpisah, tapi juga menggabungkan orang-orang dari negara yang berbeda-beda dalam suatu ‘desa dunia’.

Mengesampingkan ulasan pendek akan sejarah media komunikasi massa dan kembali ke konteks Indonesia di masa kekinian, tak bisa dibantah bahwa sekarang bukan televisi yang menjadikan saya atau anda seorang warga ‘desa dunia’. Bisa dikatakan bahwa pangkal perkaranya adalah pengaturan yang ketat dan sebelah-mata atas isi saluran televisi, yang menyebabkan masih terasanya jarak baik dalam artian letak geografis dan juga periode waktu. Disini, pemirsa tidak mempunyai kuasa yang luas atas bagaimana keinginan dan permintaan mereka dipenuhi: kapan, misalnya, (kalau memang pernah sama sekali) terakhir kali penggemar film-film Woody Allen bisa menonton karya sutradara ini lewat saluran stasiun televisi lokal? Dan kalau hanya mengandalkan televisi lokal saja, rasanya Sutra tidak akan mengenali tokoh-tokoh dunia fashion/ hiburan dari London dan New York tahun 60an seperti Edie Sedgwick dan Twiggy.

Berbagai media informasi yang ada memang menghasilkan paradigma yang juga berbeda-beda: ini kesimpulan yang bisa kita tarik dengan membuat perbandingan tentang pengalaman yang kita dapatkan saat membaca berita di koran, melihat dan mendengarkannya di televisi, dan memilih sendiri berita apa yang ingin kita perhatikan melalui Internet. Saat pameran ini berlangsung, demokratisasi produksi, distribusi dan konsumsi informasi memuncak pada Internet, dan bagaimana ia mempersilahkan interaksi dari pengguna dengan tingkat kebebasan dan kelangsungan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Paradigma baru ini jugalah yang memungkinkan Sutra untuk memilih tokoh-tokoh yang sesuai dengan khayalan artistiknya, lewat penembusan batas ruang dan waktu: seperti yang dapat kita lihat, gambar-gambar asli dari tokoh-tokoh disini meliputi setidaknya tujuh dekade dan dua benua.

Internet memberi kebebasan pada pengguna untuk mengekspos diri mereka terhadap tokoh-tokoh yang mereka kagumi – apapun alasan kekaguman itu – dan membiakkan hasrat untuk ingin tahu lebih banyak dan lebih rinci tentang tokoh yang diidolakan. Disini, Internet bukan hanya sarana untuk memenuhi hasrat itu tapi juga alat yang secara efektif memupuk suatu obsesi unik yang sering disebut sebagai ‘kultus selebriti’. Kebanyakan orang rasanya pernah merasakan bagaimana Internet menggoda sekaligus memberi jawaban atas godaan tersebut: saya rasa Sutra tidak sendirian dalam perjalanannya mendalami ilusi ketakterbatasan dunia online untuk mendapatkan ribuan gambar orang-orang terkenal ini, yang dengan cepat memadati hard-drive laptopnya.

Obsesi yang dipirantikan media berbasis Internet ini menjadi rantai yang menuntun Sutra ke pemilihan tokoh-tokoh tersebut, meskipun dia datang dari konteks lokal yang jauh berbeda dari mereka. Berhadapan dengan karya-karya ini, kita bisa melihat bahwa teknik melukis yang dimiliki Sutra dapat dengan fasih menangkap daya tarik subjek-subjek yang dilukisnya. Tapi terlebih dari itu, yang juga menonjol adalah proses pembuatan karya lukis (yang tergolong tradisional) dimana media Internet mempunyai peran besar. Ini terlihat jelas dari bagaimana untuk Sutra, media tersebut seakan mengkikis habis jarak ruang dan waktu.

Mumifikasi Digital

Saat Sutra mencari gambar-gambar ini dari berbagai situs online untuk kemudian dilukis, dia tidak hanya berada di posisi geografis yang berbeda dari tempat dimana gambar ini pertama kali diambil, tapi juga letak waktu yang jauh rentangnya. Pada saat Sutra mendapatkan gambar-gambar digital tersebut, tokoh-tokoh itu sudah melalui proses mumifikasi lebih lanjut (yang awalnya dimulai dengan fotografi) melalui Internet. Pada sejarahnya, fotografi pernah dikatakan dapat membekukan sebuah momen waktu secara langsung. Namun, berbeda dengan gambar digital, lembaran foto adalah benda fisik yang mempunyai masa hidup yang pasti: seperti wujud-wujud konkret dan nyata lainnya, ia jelas tetap rapuh secara fisik.

Saat wujud fisik itu musnah, lenyap juga segala ingatan dan aspirasi yang tadi terkemas didalamnya. Begitu juga dengan popularitas: apabila ketenaran seseorang hanya terekam dalam kertas foto atau pita kaset video, dari satu segi, popularitas mereka hanya akan mempunyai umur yang sama dengan dokumentasi fisik tersebut. Tapi, saat popularitas tersebut terekam oleh proses digital, sebuah ilusi baru tentang popularitas terbentuk.

Ilusi baru ini mempertanyakan pernyataan yang disebut diatas, yang dibuat oleh seorang seniman yang kemudian juga menjadi seorang selebriti: seberapa fananya kultus selebriti yang ia katakan hanya akan bertahan 15 menit? Tokoh-tokoh yang Sutra lukiskan disini memang bukan sembarang orang, melainkan mereka yang dianggap telah mempunyai kontribusi tertentu pada bidangnya. Misalnya, memang pencapaian Coco Chanel sudah dengan sendirinya menjamin kekekalannya dalam dunia fashion. Tapi yang lebih menarik disini adalah bagaimana media yang Sutra gunakan untuk mendapatkan gambar-gambar ini mengingatkan kita bahwa dengan Internet, tidak hanya siapa saja bisa menjadi terkenal untuk limabelas menit, tetapi sekarang mereka bisa terkenal  seakan-akan untuk selamanya.

Tak seperti ‘pembekuan’ oleh media rekam lain, mumifikasi lewat proses digital seolah sepenuhnya menghentikan waktu. Pada gambar digital yang Sutra dapatkan, tokoh-tokoh itu tidak akan menjadi keriput, kulit mereka tidak akan mengendor, cahaya matanya tidak akan memudar: pesona mereka terkesan kekal, sekekal Internet itu sendiri. Karena, saat ini, siapa yang bisa membayangkan bahwa Internet dapat punah, seperti besi dapat berubah menjadi karat atau lembaran foto yang terbakar menjadi debu?

Nostalgia melalui Air kopi

Saat dilucuti oleh konteks waktunya, kita – si permisa – mempunyai kebebasan untuk menyorot dan memboboti gambar tersebut dengan proyeksi khayalan apapun yang kita anggap penting, sesuai, menarik. Disini, tatapan Sutra memboboti tokoh-tokoh tersebut dengan nostalgia. Dia gunakan air kopi: untuk mendapatkan warna yang diinginkan, Sutra mencampur tinta cina dan kopi tubruk yang sudah diseduh. Hasilnya, daya tarik tokoh-tokoh beku tadi seakan telah diberi warna baru oleh waktu yang telah lewat.

Menurut etimologinya, nostalgia dapat didefinisikan sebagai rasa melankolis yang datang dengan kenginan untuk kembali ke rumah. Banyak yang mengatakan bahwa melankoli itu berakar pada pengetahuan bahwa keinginan tersebut tidak akan mungkin dipenuhi: sering kali saat kita pulang, apa yang kita temui bertolak belakang dengan bayangan kita karena meski rumah itu tetap sama, kita tak menyadari bahwa kitalah yang telah banyak berubah. Ini adalah mitos terbesar tentang nostalgia, yang mengasumsikan bahwa melankoli tersebut dapat diobati semata-mata dengan kembali ke suatu tempat dari masa lampau.

Asumsi ini salah, karena melupakan konteks ruang yang memberikan arti pada waktu yang dilewati di tempat tersebut. Apakah kita bisa benar-benar membayangkan tahun enampuluhan yang dilewati Serge Gainsbourg dan Jane Birkin, tanpa membayangkan nightclub di Paris, atau era kejayaan Twiggy, tercerai dari Carnaby Street di London? Yang ingin saya tekankan disini adalah nostalgia bukan hanya persoalan waktu tapi juga tempat, seperti yang ditunjuk oleh ide akan ‘rumah’ pada rumpun katanya (Yunani Kuno - nóstos).

Nostalgia dalam artian inilah yang dihadirkan Sutra pada lukisan-lukisan di pameran ini. Disini, nostalgia tidak hanya merujuk pada waktu yang telah lalu, tapi juga tempat-tempat yang pernah dihuni. Memang benar lukisan-lukisan ini tidak memberikan petunjuk harafiah akan dimana subjek-subjek ini berada. Tapi, petanda yang halus tentang konteks lokasi tetap ada: kamar dimana Audrey Hepburn sedang menelepon, ruang rias dimana Freddie Mercury berdandan, suasana pesta dimana Janis Joplin menegak minumannya dan tertawa.

Benang dan Penjelajahan Artistik

Lukisan-lukisan ini jelas menunjukkan kemampuan Sutra untuk melukis, dan tidak heran jika ada yang mengira bahwa Sutra mempunyai latar belakang di seni lukis. Padahal, Sutra adalah lulusan jurusan Kriya Tekstil dari ITB. Ini menjelaskan penggunaan benang pada karya-karya ini. Di koleksi ini sendiri, dengan tema tokoh-tokoh populer dari bidang fashion dan entertainment, benang nilon yang digunakan Sutra adalah material yang tepat. Dibanding dengan jenis benang yang lebih bersifat organik, nilon, yang diciptakan oleh mesin pabrik, itu artifisial, cepat dibuat, dan dapat diproduksi massal; tak jauh dari sifat-sifat yang mencirikan budaya populer dan para selebriti instan yang diproduksinya.

Detail benang yang ada di lukisan-lukisan ini menunjukkan suatu langkah awal penjelajahan sifat benang dan bagaimana seorang seniman bekerja dengannya. Dari diskusi yang kami lakukan semasa proses pembuatan karya, saya mendapatkan kesan kuat bahwa minat Sutra terhadap tekstil akan membawanya ke karya-karya yang lebih berbasis serat dan terutama benang di kemudian hari. Memang bukan pernyataan baru, bahwa batas antara seni rupa dan kriya tidak lagi berbasis pada bahan yang digunakan melainkan, antara lain, cara pengolahan. Saya pribadi sangat menunggu eksperimentasi Sutra dengan bahan yang pernah digelutinya secara intensif selama jenjang pendidikannya, dan karya yang akan dia hasilkan lewat suatu proses berpikir melalui benang.

***

Di awal pengantar ini, saya mengurai bagaimana karya-karya Sutra disini mengingatkan kita akan munculnya pemahaman baru tentang keberlanjutan budaya selebriti lewat media Internet: ilusi akan popularitas yang tak akan terkikis waktu, yang tidak mungkin dihasilkan lewat media lainnya. Namun di sisi lain, saya melihat bahwa yang juga menarik bagi Sutra adalah bagaimana gambar-gambar yang dia temukan ini adalah rekaman akan waktu yang nyaris terlupakan. Dengan ini, mereka menjadi manifestasi nyata kepingan waktu yang tadinya hanya akan lewat tanpa jejak: di beberapa gambar waktu itu terisi oleh tindakan-tindakan spontan dan sepele, di lainnya, sikap seorang subjek yang sadar penuh akan pembawaan dirinya.

Tapi jika, gambar-gambar digital tadi memumifikasi tokoh-tokoh itu, di lukisan-lukisan ini Sutra memberikan kehidupan baru pada mereka melalui dua cara. Pertama, melalui pandangan nostalgis yang dia wujudkan lewat air kopi, dan kedua, keterpikatan pada tekstil yang membawanya ke penggunaan benang. Dengan cara-cara ini, sebagai seorang seniman Sutra berhasil menyajikan sebuah sudut pandang yang berbeda tentang gambar-gambar yang sudah menjadi begitu familiar karena sebelumnya telah sering kita temui: sebuah pencapaian artistik yang diingini oleh banyak orang, namun tak sering diraih.

________________________________________________________________________
Celebrity Culture and The Illusion of Eternal Fame

When Sutra first showed me one of the first works for this exhibition – then only the Coco Chanel painting, in her well-known seating position, was close to finish – the question that sprung into mind was, what is it that still fascinates us about portraits of celebrities from the international fashion and entertainment world throughout the ages? Casually speaking, we may say that the reason for this interest lies in the very popularity of these figures: most of us are already familiar with the figures that Sutra gives us here, as we could easily find their images everywhere. It is not difficult to recognize what makes these paintings unique at first glance, especially since here Sutra had used coffee brew and thread. Thinking about Sutra’s works further, I came to the conclusion that what makes them distinct is not what she painted, but how she painted them. In other words, the biggest distinction lies in the material that Sutra decided to work with – real and virtual – during the creation process.

Over forty years ago, when celebrity culture was at its peak in the United States due to the fast spreading of popular media, a sentence was uttered: in the future, everybody will be world-famous for fifteen minutes. As he uttered it, Andy Warhol – an artist whose personality was no less famous than his works – was most probably unaware that this short sentence will continue to resonate long after his death.

Now, it has come to be as famous as the people implied in it, renowned for its ability to speak for a particular zeitgeist so succinctly. The reason for this is quite clear: subtly, it points to the technological means that are specific to that particular era, which allow just about everybody – not only those with extraordinary qualities – to be propelled from their status as a nobody to the heights of fame with spectacular speed. At the top, adoration and desire abound and they will be right in the middle of it all, if only for fifteen minutes. This brief sentence is a statement for the transience of ready-made fame: the speed by which an ‘instant celebrity’ travels to the peak of their popularity will likely be defeated by the speed they undergo on their way down, back to being the average person again.

Then, television was at the cutting edge of mass media communications. Different to the print and audio technologies that precede it, television brought about an unprecedented revolution. This is so not only because its capacity to unite the different bodily senses that were separately engaged with by previous media, but also to bring together people from different parts of the world to a ‘global village’.

Setting aside this brief account of the history of mass media communications to return to the context of contemporary Indonesia, one would be hard pushed to deny that it is not television that has made you and I a citizen of this ‘global village’. One could claim that at the heart of the problem lies the strict and one-sided regulations over the content of television programs, whose impacts are apparent in the gap still felt between geographical locations and time periods. Here, viewers do not have firm authority over how their demands and wants are to be fulfilled: when was the last time – if there was ever any – that Woody Allen enthusiasts are able to watch his films from local television channels? And if she were to rely on local television alone, it is doubtful that Sutra will come to know about these iconic figures from the 1960s’ New York and London fashion and entertainment world such as Edie Sedgwick dan Twiggy.

The different information media that are available also bring with them different paradigms: this is a conclusion that we may safely draw from comparing the distinct experiences obtained from reading the news in the newspaper, listening and watching it on the television, and choosing over what news we are particularly interested in on the Internet. At the time of this exhibition, the democratization of the production, distribution and consumption of information reaches its peak with the Internet, and how it allows user interaction with a level of freedom and immediacy that was unthought of before. It is this new technological paradigm that made it possible for Sutra to freely choose over which images are deemed suitable by her artistic imagination, by cutting through the boundaries of space and time: as we can see, the original images that these paintings are based on span at least seven decades and two continents.

The freedom that the Internet gives its users allow them to expose themselves to the “icons” they admire – whatever the reason for that admiration may be – and breed the desire to know more and in greater details about them. Here, the Internet acts not only as the media by which users may fulfill that desire, but also an as an effective means to cultivate a unique obsession often referred to as ‘the cult of the celebrity’. Most of us are aware of how the Internet seduces as it satisfies: surely Sutra was not alone in her journey into the seemingly infinite online world in her quest for the thousands of images of these famous figures, which soon filled up the hard-drive of her laptop.

This obsession, mediated by the Internet, became the chain that guided Sutra as she filtered through the images, regardless of the fact that she came from a local context that is wholly other to the people that are represented in them. Observing these paintings, it is clearly apparent how Sutra’s skills as a painter are able to fluently speak for the allure of these figures. But beyond that, what is striking is also how important the role that the Internet has in the process of creating a painting (which is considered to be a traditional art form). This is evident in how for Sutra, it is as if this media has completely eroded spatial as well as temporal distance.

Digital Mummification

When Sutra was searching for these images from various online sites in order to paint from them, she not only occupied a geographical position that are different to the places in which they are originally taken, but also a wide gap in temporal location. By the time she acquired these digital images, the people in the photographs have undergone a further process of mummification (which began by photography) through the Internet. In its history, photography is said to be able to ‘embalm’ a moment in time immediately. However, as opposed to a digital image, a photograph is a finite object with a definite life-time: it is no less physically fragile than any other material thing.

As its materiality is destroyed, whatever memory and aspiration packed into it also disappears. As is the case with fame: if a person’s popularity is only recorded on a piece of photograph or on the tape of a video casette, in a way, their fame will have the same shelf-life as that physical documentation. But, when that fame is recorded through digital processes, a new illusion about fame comes to be formed.

This illusion puts into question the statement made above, uttered by an artist who then became a world-celebrity himself: how transient is the cult of the celebrity that he claimed to last only for fifteen minutes? The figures that Sutra paint here are by no means the average person, but rather those who have gained well-deserved recognition in their fields. For instance, Coco Chanel’s achievements alone have no doubt secured her timeless position in the fashion world. However, what is more interesting here is how the media that Sutra used to obtain these images reminds us that with the Internet, the point is no longer that everybody can now be world-famous for fifteen minutes, but that now they can be famous as if for eternity.

Unlike the ‘freezing’ of time by any other recording media, the mummification through digital processes gives the illusory impression of the actual stopping of time. In the digital images that Sutra used, these figures will never have to suffer a wrinkle, their skin willl never sag, the brightness in their eyes will never fade: their allure appears infinite, as infinite as the Internet itself. For, at this moment in time, can we really imagine the Internet turning extinct, in the way that metal turns to rust or a burned photograph turns to ash?

Nostalgia through Brewed Coffee

When stripped off their temporal context, we – the viewers – have the freedom to project our imagination onto them in any way we see fit. In her paintings, Sutra’s gaze projected a sense of nostalgia. Brewed coffee was used: in order to obtain the desired tone, she mixed Chinese ink with coarse coffee grounds that has been steeped in water. As a result, the appeal of these supposedly mummified famous figures appear to be given a new colour by a time that has past.

According to its etymology, nostalgia may roughly be defined as the melancholy associated with the desire to return home. It is said that this melancholy is rooted in the knowledge that this desire may never be fulfilled: often upon our return, what we find stands in contrast to what we imagined as although the home itself remains the same, we rarely realize it is us who have changed. This is one of the greatest myths about nostalgia, which assumes that the melancholy felt may be remedied by a simple return to a place that was once left.

This assumption is flawed, since it ignores the spatial context that gives meaning to the time spent in that past place. Are we able to sincerely imagine the sixties lived by Serge Gainsbourg and Jane Birkin, without imagining the Parisian nightclubs, or an era in which Twiggy reigned, as separate from Carnaby Street in London? What I wish to underline here is that nostalgia is not only a matter of time but also of place, as implied by the idea of the ‘home’ in the term’s etymological history (Ancient Greek – nóstos).

It is this sense of nostalgia that Sutra makes manifest in her paintings. Here, nostalgia not only refers to a time that has lapsed, but also to the places that was once inhabited. It is true that none of the paintings provide literal clues as to the exact places these figures are in. But, subtle signifiers that point to a locatory context remain: the bedroom where Audrey Hepburn makes a phone call, the dressing room where Freddie Mercury is putting his makeup on, the party where Janis Joplin laughs while holding her drink.

Thread and an Artistic Exploration

These paintings no doubt display Sutra’s painting skills, and it will be hardly a surprise if she was ever mistaken for someone with a background in painting. But in fact, Sutra graduated with a degree in Textiles Craft from Institut Teknologi Bandung. This explains the use of thread in these works. In this particular collection, with the theme of celebrities from the fashion and entertainment world, the nylon thread that Sutra used is an apt material.  Unlike natural thread, nylon is artificial, quick to make and easily mass-produced; not a far cry from the qualities that are often attached to popular culture and its production of instant celebrities.

The thread details in these paintings demonstrate an initial step in the exploration of thread’s characteristics and how an artist may work with them. From the discussions that we had during the creation of these works, I was left with a strong impression that Sutra’s interest in textiles will lead her towards future works that are fiber-based, in especially thread. It is nothing new to say that the boundary between art and craft can no longer be founded upon the material used, but, among others, how they are worked with. Personally, I eagerly await Sutra’s coming experimentation with the material that she has intensively studied during her formal education, and the works she will create from a process of thinking through thread.

***

This essay was opened with a commentary on the role of the Internet in the development of a particular obsession with celebrities, and the kinds of new thought that arise from it, such as the illusion of eternal fame. Beyond this, however, I sense that what also interests Sutra is how the images that she had used are recordings of time that had stood too close to being forgotten. In this aspect, they are concrete manifestations of temporal fragments that almost went without a trace: in some images that time was filled with spontaneous and trivial acts, in others, with the poise of a subject who is fully conscious of the way they carry themselves.

However, if those digital images mummify these figures, in her paintings Sutra gave them a new life by using two methods. First, through her nostalgic point-of-view that she realizes with brewed coffee, and second, through a fascination with textile that led her to using thread. It is because of these that, as an artist, Sutra is able to present a unique perspective to images that we have grown to be so familiar with through countless previous encounters: an artistic achievement desired by many, but rarely reached.





No comments:

Post a Comment