Wednesday, 21 December 2011

Mari Meneliti!


Ada beberapa hal menarik yang keluar dari Research-in-Progress Day di UPJ hari ini.

Eka Permanasari (Arsitektur) berbagi penelitian tentang rumah lapak di daerah Jurang Mangu, Tangerang, yang dianalisa sebagai jenis gated community baru. Menurutnya, perumahan lapak ini mempunya beberapa ciri yang sama dengan gated houses: mempunyai gerbang, pagar, ada entry dan exit points. Cara pendapatan tanahnya juga unik. Mereka mempunyai semacam ‘kepala suku’ atau landlord yang menyewa tanah itu dari tuan tanah, dan kemudian membayar uang sewa kepada si landlord ini. Jadi, ketidak jelasan antara batas legal/illegal terlihat secara nyata dari bagaimana penduduk perumahan ini menggunakan ruang kota. Satu cara - diantara banyak cara - memandang fenomena seperti ini adalah sebagai bukti bahwa spasialitas kota terbentuk melalui proses negosiasi antar kalangan marjinal dan otoritas dominan.


(Terima kasih banyak foto-fotonya Mbak Eka!)

Mbak Eka juga mengingatkan saya bahwa perumahan ‘kitsch’ – misalnya Taman Wisata di Cibubur – adalah reaksi terhadap imbasan tragedi ’98. Hasrat untuk ‘melupakan’ luka secara masal – collective trauma – termanifestasi dalam bentuk dorongan untuk ‘menghapus’ keindonesiaan dari wajah kota.

Satu pertanyaan yang masih ‘nggantung’ di kepala saya menyangkut sejarah perkotaan di Indonesia (urban history). Apakah lapak houses meniru gated community, atau sebaliknya? Cara menetap dan menghuni yang mana yang hadir duluan? Insting saya mengarah kepada lapak houses, yang terlihat begitu ‘mentah’, berasal dari keputus asaan (desperation), dan terbangun tanpa perencanaan terperinci. Tapi ini tentu saja baru spekulasi dari saya. Saya jadi ingin tahu, secara kesejearahan, perkotaan di Asia Tenggara itu terbentuk dari upaya grassroots seperti ini, atau pembangunan yang terencana? Harus dicek ke ahlinya atau setidaknya buka buku-buku sejarah urbanisme Asia Tenggara.

Hal menarik berikutnya datang dari Gita Soerjoatmodjo dan Yuka Narendra, yang sedang melakukan collaborative research berjudul Heavy Metal Moms, Heavy Metal Dads. Temanya memang sudah punya ‘wow factor’ karena tidak sering disentuh secara ilmiah (tentang anak-anak metal 80an di Indonesia yang sekarang sudah menjadi orang tua dan punya anak). Tapi yang juga ‘seru’ buat saya adalah bagaimana mereka berusaha menguji keterbatasan-keterbatasan bidang ilmu masing-masing untuk merevisi dan memperkaya keilmuan tersebut – Yuka dari Cultural Studies, Gita dari Psikologi. Aspirasi intradisipliner ini penting karena punya semangat mencari bentuk keilmuan baru.

Saya sendiri mempresentasikan paper yang akan saya berikan di ISLIVAS nanti, berjudul “’Livable Space’ and Postcolonial Heritage: Rethinking Aesthetics and Ethics”. Di paper ini saya mengkritik (apa yang saya sebut) kitsch spaces di Jakarta, melalui bingkaian issues Estetika dan Etika.

1 comment:

  1. Ini menarik Bu Dosen, terutama penggunaan tidak lazim atas istilah "gated community" untuk subyek kota seperti yang disebutkan. Juga penggunaan trope "krisis 98" untuk menjelaskan perumahan sub-urban pop --apa genesis dari penjelasan semacam ini? Trims sudah berbagi. Salam. Aryo

    ReplyDelete