Monday, 19 December 2011

The 'Face' of the Environment (2)


Andreas Gursky, The Rhine II, 1999

Artikel “Taking a Glance at the Environment” (Edward Casey) terus membantu saya memahami persoalan etika lingkungan sekitar (environmental ethics). Penting bagi saya - pada awal pemahaman saya - untuk ‘membendung’ asumsi-asumsi politik-sosio-kultural tentang permasalahan ini. Karena... saya ngga sepenuhnya yakin bahwa sudut pandang yang kritis harus diawali dan dibuktikan dengan penjelasan-penjelasan tentang keadaan politik, ekonomi, budaya, dst. Sebelum ini semua, sepertinya ada level kemanusiaan lebih mendasar yang bisa membentuk penjelasan valid tentang tindakan etika. Untuk niatan seperti ini, fenomenologi adalah metodologi yang tepat. Soalnya, deskripsi fenomenologis bertujuan mengupas pengalaman subjektif seseorang di level ‘lived-experiences’, atau – maaf atas terjemahan saya – ‘pengalaman yang dihidupi’ (lihat Edmund Husserl, Ideas...) Pengertian saya akan konsep-konsep fenomenologi seperti ‘lived-experiences’ dan ‘embodiment’ akan menyusul.

Di awal artikel ini Casey mencari, apakah lingkungan sekitar memiliki elemen-elemen ‘Wajah’ yang diteorisasikan oleh Levinas? Langkah ini dianggap penting, karena Casey setuju dengan argumen Levinas bahwa hubungan etika berawal saat kita berhadapan dengan ‘Wajah’ orang lain. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan ‘Wajah’ disini tidak hanya paras luar – kulit, hidung, mata, dlsb – yang dapat dilihat, suatu kehadiran, presence. Yang dimaksud Levinas dengan ‘Wajah’ lebih kompleks, mengimplikasikan sesuatu yang juga tidak dapat dilihat, suatu absence: saya bisa melihat raut muka seseorang, tapi akan selalu ada lapisan yang akan luput dari pengamatan saya. Bagi Levinas, inilah Otherness, faktor terpenting dari etika. Paradox antara ‘kehadiran’ dan ‘ketidak hadiran’, antara absence dan presence, yang tertera di ‘Wajah’ seseorang membentuk hubungan etika antara saya dan dia.

Berarti ada beberapa esensi yang bisa kita tarik dari konsep ‘Wajah’ ini. Pertama, ‘Wajah’ adalah sumber hubungan etika. Kedua, ‘Wajah’ terdiri dari apa yang dapat dan tidak dapat dilihat, yang bisa saya mengerti dan tidak (Otherness atau keliyanan). Ketiga – dan pada awalnya ini sulit dimengerti – ‘Wajah’ menuntut kita untuk bertanggung jawab atas Otherness ini. Bagaimana Casey menginterpretasikan esensi-esensi ini, untuk menjelaskan hubungan etika antara manusia dan ruang hidupnya?

(Sebelumnya, Casey mengingatkan bahwa kita tidak bisa sebatas mencari analogi tentang wajah dan lingkungan sekitar. Misalnya, jendela sebagai mata, dst. Karena ini hanya meneruskan tradisi filosofis yang berkesimpulan bahwa manusia adalah tolak ukur segalanya, termasuk alam dan lingkungan sekitar.)

Andreas Gursky, Ruhr Valley, 1989

Memasuki badan artikel ini, Casey menjelaskan bahwa seperti hubungan etika bagi Levinas berawal dari ‘Wajah’, lingkungan sekitar – yang Casey sebut ‘place-world’ – dapat dimengerti sebagai sumber hubungan etika juga. Kok bisa? Argumen ini terkait dengan ontologi Aristotle yang menyatakan bahwa alam semesta, the universe, ada sebelum yang lainnya ada. Secara ringkas, lebih dari ini Aristotle juga menjelaskan the universe sebagai 'wadah' keberadaan (Lihat Aristotle, Physics). Maka, for anything to ‘be’, it necessarily has 'to be somewhere': sesuatu yang ‘ada’, pasti ‘ada di suatu tempat'. Menurut pengertian saya, Casey berpendapat bahwa sebagai naungan keberadaan, dimana keberadaan itu muncul, ‘tempat’ – lingkungan sekitar – adalah sumber semua hubungan yang ada di dalamnya, termasuk hubungan etika. Levinas mengatakan ‘Wajah’ adalah sumber dorongan etika; Casey mengatakan ‘tempat’.

Tapi gagasan Casey tentang ‘tempat’ ini masih sangat abstrak, dan sungguh belum menjelaskan bagaimana suatu tempat – secara riil – bisa mendorong manusia untuk bertindak etis. Jika kita perhatikan lebih lanjut, tulis Casey, ‘tempat’ termanifestasi secara konkrit sebagai sebuah lahan, landscape. Misalnya, ‘lahan kota’ (cityscape), ‘lahan pegunungan’ (mountainscape), dll. ‘Lahan’ mempunyai karakteristik-karakteristik utama, yaitu layout - ‘susunan’ atau 'tata ruang' - dan surface - ‘permukaan’. ‘Tata ruang’ adalah pengaturan secara koheren berbagai fitur suatu lahan: contoh, di sebuah lahan desa kita bisa membayangkan adanya rumah-rumah yang disatukan menjadi pemukiman dan kumpulan warung menjadi pasar. Dan Casey dengan tepat juga mengatakan bahwa di ‘lahan’ apapun, kita tidak bisa menghindar dari permukaan-permukaan: “Everywhere we look, everywhere we feel and sense, we are confronted by surfaces: by their phenomenal properties (e.g. shape, colour, size, etc)..." Klaim yang sederhana, tapi benar. Ini bukti bahwa Casey memang fenomenolog yang handal, mampu mengupas pengalaman keseharian sebelum – tapi bukan tanpa – memasuki asumsi-asumsi ilmiah, politik, ekonomi, ataupun sosio-kultural.

Jadi... ‘tata ruang’ dan ‘permukaan’ adalah bagian dari lahan lingkungan hidup kita, dan elemen-elemen ini mempunyai karakteristik yang dapat 'menggerakkan' perilaku beretika. Meskipun Casey sudah menjelaskan elemen-elemen konkrit dari ‘tempat’, pertanyaan besarnya masih belum terjawab: bagaimana ‘tata ruang’ dan ‘permukaan’ dari tempat yang kita hidupi, melalui kilasan mata, memanggil kita untuk bertindak secara etis? Di analisa lebih lanjutnya, Casey menunjuk pada ciri-ciri ‘expressivity’ dan ‘simplicity’ dari permukan, yang akan saya coba mengerti di posting berikut.

No comments:

Post a Comment