Hari Senin kemarin, Tempo menerbitkan artikel saya
tentang Setouchi Triennale. Dibawah ini adalah versi asli yang saya kirim, yang
belum ter-edit.
Setouchi Triennale 2013:
Pertarungan sebuah Festival Seni
Mengkritik praktek seni kontemporer yang cenderung
‘urban-sentris’.
Sebuah festival seni menjadi
menarik ketika semangat pertarungan tersirat di segala aspeknya, mulai dari
tahap persiapan hingga pelaksanaan. Di dalam dunia seni kontemporer dimana
semuanya seakan serba mungkin, upaya untuk memenuhi ambisi yang nyaris mustahil
akan menonjol. Setouchi Triennale (ST) 2013 , sebuah festival seni yang
diselenggarakan di 12 pulau di daerah Laut Pedalaman Seto di Jepang, adalah satu
festival seni dengan atmosfir yang sarat akan gejolak perjuangan.
Di satu sisi, festival ini ingin
menawarkan sebuah alternatif dari praktek seni kontemporer yang ada, yang
cenderung berpusat pada wilayah urban. Ia mempertanyakan, apakah praktek ini
dapat berlangsung ditengah kekerasan wilayah rural.
Seniman yang berdomisili di kota
kerap mengandalkan kenyamanan fasilitas yang tersedia, misalnya untuk membeli
material untuk berkarya. Ketimbang pelosok pedesaan, ruang galeri yang lazim digunakan
untuk pameran di kota-kota juga lebih mudah diatur. Menurut penyelenggara
festival, resiko dan potensi yang disimpan oleh wilayah rural penting untuk
dijelajah praktek seni kekinian.
Di sisi lain, ST bermisi memberikan
nafas baru ke sebuah daerah terpencil, dengan mayoritas penduduk yang sudah
lanjut usia dan industri lokal yang hampir punah. Pernyataan dari Fram
Kitagawa, Direktur dari Setouchi Triennale – bahwa ST ingin “menaruh senyum di
wajah-wajah penduduk yang sudah tua” – seakan merangkum ambisi festival
tersebut.
Pada kenyataannya, meyakinkan
warga setempat bukan hal yang mudah. Ada kesangsian apakah festival ini tak
hanya akan mengobrak-abrik ketenangan mereka. Tak bisa disangkal, jika ada salah
langkah maka ST dapat menjadi pedang bermata ganda.
ST, yang berlangsung selama
musim semi, panas, dan kemarau, memang memiliki banyak daya tarik yang istimewa.
‘Berlompat’ dari satu pulau ke pulau berikutnya diantara lautan Jepang yang
jernih, ditambah dengan ‘eksotisme’ desa-desa setempat, adalah suatu pesona
tersendiri.
Meski menjadi bagian dari daerah
yang sama, fakta geografis tetap memberikan identitas yang unik untuk tiap
pulau. Ambil contoh industri yang berkembang di masing-masing pulau. Teshima,
yang namanya berarti “kaya”, adalah pulau yang kaya akan air sehingga penduduk
dapat mengolah sawah disana. Lain dengan Shodoshima, yang terkenal dengan
produksi batu granit dan perkebunan buah zaitun. Di Megijima, mayoritas
penduduk adalah peternak. Sementara, penduduk pulau lain menghidupi diri mereka
sebagai nelayan.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 30.000
orang, Shodoshima adalah pulau terbesar kedua di area ini. Ogijima adalah pulau
yang jauh lebih kecil dengan total populasi 160 orang, yang hidup berdesakan
diantara kelokan setapak yang terjal dan curam.
Kendati ukurannya, Ogijima
menjadi rumah untuk lebih dari 20 karya
kontemporer. Diluar Setouchi Triennale Ogijima memang terbilang jarang
dikunjungi turis, yang menjadikannya semakin menarik perhatian semasa festival
berlangsung.
Figure 1 Pemandangan ketika ferry mendekati pelabuhan di Ogijima.
Foto: Dokumentasi penulis.
Figure 2 Dream Cafe, bagian dari karya Takeshi Kawashima. Disini tersedia
beberapa fasilitas untuk pengunjung seperti toko dan toilet. Foto: Dokumentasi
penulis.
Terlebih dari itu, Setouchi
Triennale juga menawarkan pengalaman yang bertolak belakang dari biennale dan
triennale dunia yang lain, yang cenderung terkesan seperti sebuah pertunjukan
akbar dengan dana tak terhingga yang akhirnya justru mengasingkan warga setempat.
Di ST, mayoritas karya yang ada, hasil dari 200 seniman yang berasal dari 24
negara, melibatkan warga setempat dalam berbagai cara. Semangat kolaborasi jugaseakan
menjadi roh yang menghidupi festival ini.
Tapi apakah sebuah festival seni
yang diadakan setiap tiga tahun sekali dapat menawarkan solusi yang
berkelanjutan bagi daerah yang terlibat? Bisa dikatakan inilah pertarungan
terbesar Setouchi Triennale, yang pertama kali diadakan di tahun 2010. Saat
itu, mereka harus menghadapi skeptisisme warga yang beranggapan bahwa acara
seperti itu hanya akan menganggu ketentraman hari tua mereka.
Anggapan seperti ini mulai berubah
ketika mereka menimbang pulau Naoshima, yang menjadi populer sebagai situs
karya seni dan beberapa museum. Dukungan signifikan terhadap Naoshima datang
dari Tetsuhiko Fukutake, pendiri Benesse Corporation, salah satu perusahaan
pendidikan terbesar di Jepang. Di tahun 1992, Benesse House dibuka untuk publik
sebagai ruang pamer karya seni kontemporer dan penginapan.
Situs ini kemudian berkembang,
hingga berdirilah Chichu Art Museum di tahun 2009 dan Lee Ufan Museum di tahun
2010. Kedua bangunan ini dirancang oleh arsitek ternama asal Jepang, Tadao
Ando. Hingga, tak heran jika pulau ini menjadi situs ‘peziarah’ karya Ando,
yang juga membangun The Tadao Ando Museum disana.
Tak hanya dirancang oleh Ando,
ChiChu Art Museum juga menyimpan koleksi karya-karya tokoh Impresionisme Perancis
Claude Monet dan seniman Amerika James Turrell, yang terkenal karena ‘bermain-main’
dengan ruang dan cahaya. Selain itu, Naoshima juga menjadi lokasi dua ‘labu
raksasa’ karya seniman perempuan Jepang yang kontroversial, Yayoi Kusama.
Ini adalah sebagian dari alasan
naiknya popularitas Naoshima. Tergiur akan hal ini, jumlah pulau di daerah ini
yang ikut serta dalam Setouchi Triennale 2013 meningkat dari hanya 7 pulau di
tahun 2010. Ternyata, perjuangan untuk mendapatkan kepercayaan dan kerja sama
dari penduduk membuahkan hasil.
Visi Tetsuhiko Fukutake untuk
mengembangkan Naoshima juga diteruskan oleh putra tertuanya, Soichiro. Tahun
ini, diresmikanlah Fukutake House, sebuah ruang pamer untuk karya-karya hasil
kolaborasi seniman dan institusi dari Asia. Terletak di desa Fukuda di pulau Shodoshima,
bangunan Fukutake House menggunakan gedung sekolah yang sudah terbengkalai.
Figure 3 Suasana konferensi pers
di peresmian Fukutake House. Foto: Dokumentasi penulis.
Untuk tahun pertama mereka,
Fukutake House mengundang 7 institusi seni dan budaya dari beberapa negara,
yaitu Rumah Seni Cemeti (Indonesia), Asialink (Australia), Hong Kong Arts
Centre (Cina), Institute for Historical Resources Management (Taiwan), Jim
Thompson Art Centre (Thailand), Seoul Art Space GEUMCHEON (Korea), dan The
Substation (Singapura). Tiap institusi kemudian diminta untuk mengundang seniman
dan kurator untuk menyelesaikan sebuah projek sesuai dengan tema yang
ditentukan. Kali ini, Fukutake House memberi tema besar, “Bagaimana Kita telah
Menanggapi Globalisasi?”
Untuk mewakili Indonesia, Rumah Seni
Cemeti mengundang Irwan Ahmett. Karyanya yang berjudul A Vulnerable Bubble adalah hasil berkolaborasi dengan Ismal
Muntaha, Tita Salina, Muhammad Fatchurofi, dan Tedi En. Diawali dengan mengobservasi
desa Jatisura, Irwan mulai mendapatkan gagasan-gagasan mengenai persoalan yang
dialami wilayah pedesaan ditengah pusaran globalisasi.
Ini kemudian dibandingkan dengan
situasi di Fukuda. Melalui dialog dengan warga, staf pengurus Fukutake House
dan juga para partisipan Setouchi Triennale, ia mulai memahami masalah-masalah
genting yang juga dihadapi oleh penduduk desa itu. “Isu usia tua hingga isu radioaktif senantiasa
menjadi percakapan menarik selama saya disana...” Irwan menjelaskan.
Figure 4 Karya Irwan Ahmett, A Vulnerable Bubble, ditengah
pengunjung. Foto: Dokumentasi Rumah Seni Cemeti.
Tentang pengalamannya disana,
Irwan berkata, “Event khusus wilayah Asia di Fukutake House semakin membuka mata saya tentang
potensi seni Indonesia dalam peta Asia, juga memperkuat network dan visi praktek berkesenian saya."
Pada saat pembukaan Fukutake
House, terlihat banyak warga setempat memberi bantuan dalam penyelenggaraan.
Namun partisipasi mereka melampaui sekadar bantuan pendukung. Mereka juga
memiliki peran penting dalam riset dan produksi karya para seniman.
Misalnya pada karya seniman Hong
Kong, Jaffa Lam Laam, yang membuat instalasi ruang tentang memori penduduk akan
sekolah tersebut. “Kebanyakan warga disini adalah alumni sekolah ini, mulai
dari yang muda hingga yang tua. Saya mengundang mereka untuk menyanyikan himne
sekolah ini untuk saya rekam...” ujar Laam, yang diundang oleh Hong Kong Arts
Centre.
Menilai dari ST pertama dan
kedua, memang terlihat perkembangan penting dalam segi revitalisasi
kawasan-kawasan yang nyaris dihancurkan polusi seperti Teshima, atau daerah
terlupakan seperti Fukuda di Shodoshima. Festival ini juga terlihat mampu
mengkikis resistensi warga akan kegiatan budaya tersebut.
Namun apakah perkembangan ini
terjadi secara organis tanpa imposisi terhadap warga setempat dan gaya hidup
mereka? ST pertama mampu meraih 1 juta pengunjung, jumlah kaki yang banyak
untuk menginjak wilayah pedesaan yang relatif tak tersentuh itu. Jelas, dampak
jangka panjang akan ‘turisme-kesenian’ seperti ini tetap harus dipertimbangkan
secara matang.
Jika tidak, realita Setouchi
Triennale akan menusuk misi utamanya sendiri. Setouchi Triennale memang harus bergumul dengan dua
wajah pembangunan, yang membawa janji permajuan seiring dengan resiko
kontaminasi alam dan gaya hidup penduduk yang sudah ada.
Pertarungan Setouchi Triennale
yang lain adalah upaya meyakinkan masyarakat seni dunia untuk menyadari
pentingnya praktek seni kontemporer untuk mengarahkan mata ke daerah pedesaan. Terlebih
lagi dengan maraknya ideologi ‘kota kreatif’ di seluruh pelosok dunia saat ini.
Paradigma urbanisasi telah mendominasi praktek seni kontemporer, dan masih
belum pasti apakah ST memiliki kapasitas untuk memutarbalik arah ini.
Memperhatikan praktek seni yang
kian menjadi ‘urban-sentris’, pesan yang disuarakan oleh Setouchi Triennale terdengar
semakin penting. Bisa jadi bahwa kembali memperhatikan kawasan rural adalah
langkah ke depan untuk praktek seni kontemporer.
Tak salah jika Setouchi
Triennale seakan menganggap bahwa sudah bukan waktunya lagi untuk terus
merayakan pencapaian perkotaan, dan menciptakan karya dan festival seni sebagai
tugu perayaan tersebut. Menghiraukan wilayah yang tertinggal dan memperhatikan hubungan
antara manusia dan alam bagian dari pertarungan Setouchi Triennale. Terlepas
dari kesan idealisme fantastis belaka, ini adalah misi yang patut
diperjuangkan.
Jakarta, 14 Agustus 2013.