Tuesday, 28 February 2012

Pemetaan Melalui Imajinasi


Dibawah ini adalah curatorial brief yang saya tulis untuk sebuah group exhibition di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, bulan Mei nanti. Project ini sudah mulai berjalan... tapi karena masih diawal (untungnya) belum timbul kendala dan hambatan. Semoga sukses untuk semua yang terlibat J

Secara tak sengaja, dan tanpa banyak mencari-cari, saya teringat akan buku-buku W. G. Sebald dan film-film Patrick Keiller. Melihat clip dibawah ini, tidak sulit bagi saya untuk mengerti kenapa memori-memori ini tiba-tiba muncul, karena suasana yang dihasilkan memang melekat benar pada saya.



Curatorial Brief
"Tiga hal yang menjadi latar belakang ideologi pameran ini adalah: 1/ demokratisasi praktek seni, 2/ bagaimana seniman menegosiasi posisi mereka sebagai agen dalam dunia industri dan agen dalam dunia seni, dan 3/ bagaimana negosiasi ini dihidupi di dalam sebuah ruang yang unik, yaitu ruang kota Jakarta. Tiga hal ini diharapkan menjadi semangat yang mendasari pembuatan karya dalam pameran ini. Selain semangat dasar ini, pameran juga akan dibingkai oleh sebuah tema spesifik yang berperan sebagai ‘benang merah’ karya-karya yang ada, yaitu ide tentang ‘pemetaan imajiner’ atau ‘imaginary mapping’. Tujuan dari curatorial brief ini adalah menjelaskan konsep-konsep ini dengan lebih rinci.

Latar Belakang

1.      Demokratisasi Praktek Seni
Salah satu hal yang menciri khaskan praktek seni kontemporer adalah ide tentang demokratisasi praktek kesenian yang memperbolehkan siapa saja – bukan hanya mereka yang mempunyai pendidikan formal dalam bidang seni – untuk membuat objek yang mempunyai status ‘karya seni’. Berarti, ‘seniman’ bukan hanya mereka yang mempunyai pendidikan formal seni, dan ‘karya seni’ bukan hanya hasil karya mereka yang memiliki pendidikan formal tersebut. Otoritas pendidikan formal sebagai legitimasi status – baik seniman maupun karya seniman – tidak lagi dilihat sebagai patokan yang sepenuhnya relevan. Meskipun pendidikan formal tentu saja memberikan kelebihan-kelebihan tertentu mengenai disiplin, peraturan dan baku menyangkut aspek teknis pembuatan karya, faktor-faktor ini tidak lagi dianggap sebagai suatu kemutlakan. Dalam kata lain, apa yang diberikan oleh pendidikan formal bukan lagi elemen-elemen mutlak yang dibutuhkan dalam pembuatan karya seni.

Jika kita telusuri lebih jauh lagi, pernyataan diatas mengundang pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Contoh pertanyaan yang paling sering diutarakan adalah, apakah karya seni itu, jika bukan lagi semata hasil karya seorang yang terdidik secara formal menjadi seniman. Tapi, mengingat bahwa jawaban dari pertanyaan ini beraneka ragam dan begitu relatif akan bermacam situasi, maka disini kita tidak akan berusaha menjawabnya. Menjauh dari pertanyaan yang kerap mengurung ini, satu hal yang lebih menarik untuk dikupas berhubungan dengan proses kreasi itu sendiri. Apakah yang terlibat dalam proses kreasi? Impuls dan dorongan apa yang memotorinya? Apakah – seperti yang digagaskan oleh Plato dalam karyanya Ion – kreatifitas artistik datang dari inspirasi ilahi (divine inspiration)? Atau – seperti yang digagaskan oleh para pemikir zaman Pencerahan (Enlightenment) – apakah sumber kreatifitas adalah ‘benak’ dan kemampuan berpikir manusia itu sendiri dan bukanlah elemen-elemen transendental seperti ‘divine inspiration’ tadi?

Selain kreatifitas, salah satu kata kunci lain yang melekat pada pengertian tentang ‘karya seni’ adalah ‘orisinalitas’, yang dimengerti sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri atau gagasan dengan cara yang belum pernah dipakai sebelumnya; cara-cara yang baru, segar, dan tidak terduga. Pengertian ini telah ditantang oleh konsep ‘appropriasi’: penggunaan atau ‘peminjaman’ benda-benda temuan (found objects) untuk diberikan konteks baru dan ‘dijelma’ menjadi benda yang bernama ‘karya seni’.[1] Disini konsep ‘orisinalitas’ tidak dianggap sebagai kategori relevan untuk menilai karya seni karena objek karya tersebut tidak lagi dibuat melainkan hanya ditemukan oleh sang seniman. Apakah orisinalitas tetap menjadi unsur penting dalam proses kreasi, tetap menjadi pertanyaan penting yang terus dikaji hingga sekarang.

Pendek kata, praktek seni yang sekarang dicirikan oleh pembebasan dari kemutlakan pendidikan formal mengundang pertanyaan dan pernyataan baru tentang status seni dan status karya seni. Seperti yang kita lihat, pendidikan seni bukan satu-satunya landasan pasti untuk sebuah proses kreasi. Ada hal-hal lain (seperti kreatifitas dan orisinalitas) yang dimiliki seorang seniman terlepas dari pendidikan formal. Apa sajakah elemen-elemen yang terlibat dalam sebuah proses kreasi mungkin tidak akan dapat dirumuskan dengan pasti, tapi terus menjadi inspirasi yang menggerakan proses tersebut.

2.      Seniman sebagai Agen Industri dan Agen Dunia Seni
Seperti yang kita lihat dari keadaan disekitar kita, kemampuan seniman untuk membagi waktu antara menjadi agen industri dan agen di dunia seni (yang dimengerti dalam artian nonindustri) sudah menjadi hal yang lazim. Seniman-seniman dalam pameran ini adalah tokoh-tokoh yang merasakan langsung bagaimana terjalinnya hubungan antara dua dunia ini. Karena dua dunia ini tidak selalu mempunyai batasan yang pasti, sering terjadi tidak hanya sinyalir tapi juga ketegangan-ketegangan tertentu. Apakah dalam dunia seni mereka mempunyai kebebasan kreatif yang lebih luas? Apakah disiplin dan cara kerja yang terbentuk dalam industri mempengaruhi tabiat dan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam membuat karya seni?

Keterpaduan antara praktek dalam dunia industri dan dunia seni dapat dijabarkan sebagai berikut. Karena dunia seni - yang tidak mempunyai batasan-batasan sekuat industri – memberi seseorang keleluasan dalam berkarya, dunia ini umumnya dianggap sebagai sarana dan ruang untuk bereksperimentasi dan mengeksplorasi imajinasi. Hasil dari experimentasi dan eksplorasi ini kemudian diwujudkan sesuai dengan batasan-batasan tertentu yang diberikan oleh industri, misalnya keinginan klien, target market, deadline, dan sebagainya. Dua dunia ini saling membantu kegiatan-kegiatan kreatif. Pertama, industri dapat memberikan struktur dan disiplin dalam, misalnya, pembentukan sikap tepat waktu dan kemampuan bekerja dengan orang lain, mencari tahu tentang apa yang disukai orang banyak (dari segi komposisi, elemen-elemen desain, mood) dan juga mengevaluasi bagaimana orang lain menerima hasil karyanya. Terlebih dari itu, ketiga hal ini kemudian dapat membantu seseorang dalam eksplorasi selanjutnya karena membuka lahan eksplorasi atau memberi arahan baru saat kita merasa ‘terjebak’ karena kekurangan inspirasi.

Sedangkan, ketegangan antara praktek dalam dunia industri dan dunia seni dapat diartikulasikan kedalam dua pengertian juga. Pertama, bagaimana seseorang berupaya menggiring industri untuk menerima karyanya, dan tidak sekadar memaksakan apa yang dianggap bagus atau benar secara pribadi. Kedua, bagaimana seseorang, meskipun tetap terbuka terhadap pendapat pasar, dapat terus menjaga integritas artistiknya sehingga tidak melakukan kompromi berlebih dalam berkarya. Memenuhi kedua hal ini merupakan hal yang sulit diwujudkan, karena, seperti yang kita sadari, memerlukan kepekaan dan ethos kerja yang kuat.

Disini, hubungan yang terjalin antara dua dunia yang mirip tapi tetap jauh berbeda, yang dirasakan di satu sisi sebagai keterpaduan namun di sisi lain juga sebagai perselisihan, dianggap menjadi salah satu hal yang secara implisit mendorong seniman untuk berkarya.

3.      Ruang Kota dan Identitas
Identitas seseorang terbentuk dari interaksinya dengan ruang sekitar, yang dirasakannya melalui sebuah suasana. Suasana terbentuk dari hubungan antara seseorang dengan ruang, dan tentunya ada hubungan-hubungan tertentu yang terjalin dari pengalaman akan ruang-ruang tertentu. Salah satu stereotip yang melekat pada ruang kota adalah bagaimana seseorang dapat merasa terasingkan dan mempunyai sikap acuh-tak-acuh ditengah hiruk pikuk, kebisingan, dan keterdesak-desakan. Tapi, seperti kota-kota metropolis lainnya, Jakarta mempunyai faktor-faktor yang membedakannya dan membuatnya unik. Untuk beberapa contoh, kita dapat menyebut masih adanya delman sebagai sarana transportasi di Jakarta Pusat, tersebarnya warteg, tukang rokok dan pengamen, manifestasi kemiskinan yang memutus asakan disamping kemewahan shopping mall dan hotel bintang lima.

Sensasi-sensasi yang dialami secara langsung dan tidak langsung ini mempengaruhi proses kreasi, mulai dari pemilihan materi dan bahan, teknik yang digunakan untuk mengolah, sampai komposisi dan tahap penyelesaian. Suasana atau mood yang dihasilkan oleh interaksi kita dengan ruang kota ini menjadi stimulus dalam penciptaan bentuk-bentuk karya tertentu.

Tema Pameran: Imaginary Mapping
Ide tentang pemetaan berhubungan erat dengan bagaimana seseorang menegosiasi posisi mereka dalam dua dunia yang berbeda. Dalam artian umum, pemetaan dapat dimengerti sebagai pembagian suatu lahan besar menjadi area-area yang lebih sempit, berdasarkan kategori-kategori tertentu. Kesatuan lahan besar tadi dipecah-pecah hingga menjadi teritori-teritori dengan ciri khas masing-masing, dan ada perbatasan yang memisahkan satu teritori ke teritori berikutnya. Secara visual, kehidupan sehari-hari kita bisa dibayangkan sebagai sebuah peta yang terdiri dari berbagai hubungan antara elemen-elemen spasial (area, perbatasan, dan teritori) dan juga elemen-elemen nonspasial (lapisan psikologis dan kemampuan menalar seseorang). Pameran ini mengajak partisipan untuk memaknai pemetaan tidak dalam artian empiris, nyata, dan objektif, tapi sebaliknya: pribadi, imajiner, dikhayalkan.

Untuk membongkar konsep ‘pemetaan imajiner’ ini, selain berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘pemetaan’, kita juga harus menelusuri apa yang dimaksud dengan ‘imajinasi’. Apabila dikontraskan dengan ‘persepsi’ dimana images atau citra terbentuk dari pengalaman panca-indrawi, maka ‘imajinasi’, yang tidak terbatas oleh pengalaman panca-indrawi tersebut, berarti mempunyai otonomi yang unik: dengan menggunakan mata untuk melihat saya mempunyai persepsi akan merahnya apel, sedangkan saya tidak perlu merasakan panasnya api dengan kulit untuk mempunyai imajinasi akan sensasi itu. Kita dapat lanjutkan pemikiran ini dengan mengatakan bahwa karena otonomi ini, imajinasi bisa disebut sebagai kemampuan yang dimiliki benak kita untuk terus menjadi, tanpa kekangan atau batasan yang dapat meramalkan hasil akhir dari proses berimajinasi ini. 

Melalui imajinasi, pengertian kita akan posisi diri sendiri dan orang lain dapat melampaui batas persepsi belaka. Posisi, serta bermacam status, wewenang dan tanggung jawab yang terkait dengannya, tidak lagi terbatas pada kenyataan yang ada, namun bisa mempunyai artian-artian dan hubungan-hubungan baru yang tak terduga. Stereotip tentang diri sendiri dan orang lain yang terbentuk dari posisi seseorang menurut kategori ras, gender, status sosial, kuasa politik, kemampuan ekonomi, dan seterusnya dapat disanggah untuk kemudian disusun ulang. Mungkin pendapat Gaston Bachelard akan fungsi imajinasi sebagai panduan hidup manusia tidak terlalu dibuat-buat, mengingat bahwa sepertinya melalui imajinasilah kita diperbolehkan untuk membayangkan situasi-situasi diluar kenyataan, untuk kemudian merubah apa yang disebut sebagai ‘kenyataan’.[2]

Singkatnya, pameran ini bertujuan menjelajah bagaimana imajinasi memperkaya pengertian seseorang akan bagaimana mereka memosisikan dirinya di dalam koordinat peta-peta kehidupan sehari-hari: baik itu kehidupan dunia industri atau seni, maya atau konkrit, privat atau publik."


[1] Contoh paling terkenal adalah readymades Marcel Duchamp, terutama karya berjudul Fountain (1917), yang terdiri dari sebuah urinal porselen yang Duchamp temukan dan kemudian ditandatangani dengan pseudonym “R. Mutt”.

[2] Gaston Bachelard, Air and Dreams: An Essay on the Imagination of Movement (Dallas: Dallas Institute Publications, 2011), p. 209.

Wednesday, 8 February 2012

Ingatan akan 'Everyplace'

Bagaimana kita mengenang suatu tempat? Atau, bagaimana suatu tempat ‘tersimpan’ dalam ingatan? Pertanyaan ini penting, karena penilaian kita akan ‘makna’ suatu tempat sering bertitik berat pada memori atau kenangan. Misalnya dalam ucapan, “Saya suka sekali pencahayaan di galeri X; benar-benar tidak terlupakan!” Ini menunjukkan bahwa tempat menjadi ‘berarti’, kalau ada faktor-faktor disitu yang bisa kita simpan di memori.

Menjelaskan kenapa kita bisa mengingat tempat-tempat yang unik memang jauh lebih gampang. Misalnya, Gaston Bachelard, dalam The Poetics of Space, menjabarkan dengan begitu rinci rumah masa kecilnya. Ada petikan terkenal dari buku ini, dimana dia menceritakan tentang bau kismis yang sedang dikeringkan di baki anyaman, didalam sebuah lemari di rumah tersebut: ““I alone, in my memories of another century, can open the deep cupboard that still retains for me alone that unique odor, the odor of raisins drying on a wicker tray. The odor of raisins! It is an odor that is beyond description, one that it takes a lot of imagination to smell.” (13). Melalui ingatan akan sesuatu yang sangat sederhana seperti bau kismis inilah maka rumah masa kecil ini, bagi Bachelard, menjadi sebuah ‘first universe’ yang begitu dihargainya.

Terrence Mallick. Days of Heaven. 1978.

Rumusan Bachelard memang berguna karena menggarisbawahi peran memori dalam pemaknaan kita akan tempat-tempat yang kita hidupi. Tapi yang bermasalah tentang rumusan ini, seperti yang saya pernah sebut di sebuah posting lama, adalah argumentasi bahwa suatu tempat harus mempunyai ciri-ciri khas tersendiri agar bisa dimaknai, seperti bau kismis di baki anyaman tadi. Dimaknai, menurut gagasan Bachelard, melalui memori. Ini bermasalah, karena ruang keseharian kita sekarang dibanjiri oleh tempat-tempat yang tidak mempunyai ciri khas tersendiri, tidak unik, tidak spesifik, malah sebaliknya. Seperti toko franchise dibawah ini, misalnya:

Showroom toko mebel Ikea dapat ditemukan di berbagai kota di dunia, dan selalu mengikuti rumus rancangan yang sama, sehingga sulit untuk membedakan ini adalah cabang toko Ikea yang mana.

Ikea melambangkan jenis tempat yang bisa ada dimana saja, sebuah everyplace. Meskipun toko-toko Ikea di berbagai kota di dunia mungkin menggunakan bermacam penanda untuk menunjukkan budaya lokalnya, tetap saja semua Ikea diseluruh dunia, karena kepentingan franchise, harus mempunyai kesamaan-kesamaan dari segi produk, layout, warna dlsb. Toko Ikea jelas berbeda jauh secara tipologis dari rumah masa kecil Bachelard, dan menurut teori Bachelard, tidak akan ada pengalaman toko Ikea yang bisa ‘disimpan’ dalam ingatan karena masing-masing cabang  Ikea tidak mempunyai kekhasan yang unik. Tidak bisa diingat, maka dari itu, tidak mungkin ‘bermakna’.

Sejauh apa kita bisa setuju dengan Bachelard? Mengingat penuhnya ruang keseharian kita dengan tempat-tempat homogen dan generik yang distandarisasi dari satu bagian dunia ke bagian lainnya, maka kita harus merevisi bingkai-bingkai penilaian seperti yang diajukan oleh Bachelard. Memang Bachelard benar dalam mengatakan bahwa memori berperan penting dalam pemaknaan ruang dan tempat. Tapi Bachelard salah dalam menekankan ‘keunikan’ sebagai elemen yang esensial.

Contoh: waktu saya tinggal di London, saya dan teman-teman mahasiswa disana mengandalkan Ikea untuk perabot rumah, dengan alasan utama harga yang terjangkau. Karena faktor harga ini, alhasil rumah-rumah kami sering mirip, dihias dengan barang-barang yang itu-itu juga. Bahkan mungkin hanya beda tipis dengan tata ruang yang ditawarkan di katalog buku Ikea itu sendiri. Saya pernah mengunjungi rumah teman, dan melihat bahwa dia baru membeli lampu meja yang pernah saya lihat di toko Ikea sebelumnya. Saya bisa mengingat jelas bentuk lampu ini dan ruang di toko Ikea dimana saya melihatnya, tapi saya benar-benar lupa di cabang Ikea mana.


Semakin saya coba mengingat-mengingat, semakin rinci bentuk ruang itu terbayang oleh saya: saya bisa membayangkan persis ruang yang berbentuk ‘L’ dan bukan persegi. Tapi tetap saja, saya tidak bisa ingat, cabang yang mana? Saat itu ada 2 cabang Ikea di London yang, selayaknya toko franchise, sama persis dari satu cabang ke cabang lainnya. Ingatan ini tidak bisa dijelaskan dengan rumusan Bachelard, karena toko-toko ini homogen dan tidak punya ciri khas yang unik. Tapi saya juga tidak bisa menyangkal bahwa, meskipun designnya yang ‘harus sesuai standard’ (tidak unik), saya punya ingatan-ingatan yang spesifik, yang ‘muncul’ begitu saja tanpa saya sadari.

Disini formulasi Bachelard tidak relevan: ingatan saya ini tidak terbentuk karena adanya fitur-fitur unik dari tempat tersebut yang ‘nempel’ di kepala saya. Dalam diskusi tentang memori, selain ada elemen tempat, elemen yang harus dipertimbangkan adalah waktu. Berarti, kita harus membongkar pengalaman akan waktu itu sendiri. Bagaimana waktu di toko Ikea ini dirasakan, sehingga tanpa fitur- fitur unik yang hanya ada cabang itu, saya tetap bisa mengingat lampu dan layout ruang disana, ingatan yang tiba-tiba muncul di rumah teman saya? Perhatikan bagaimana ingatan ini ‘muncul’ di rumah teman saya: secara tiba-tiba, spontan. Tanpa usaha dari saya untuk mengingat, karena saya memang tidak sadar bahwa saya memperhatikan lampu itu saat saya berkunjung ke cabang Ikea tadi. 

Edmund Husserl memberi petunjuk berharga melalui teorinya tentang ‘internal time-consciousness’. Menurut Husserl, kesadaran seseorang akan waktu bukan cuma terbentuk dari waktu objektif yang tertera di kalender dan jam, tapi juga kewaktuan subjektif yang dirasakannya sebagai seorang individu. Untuk Husserl, suatu momen yang kita alami langsung (apa yang disebut Husserl dengan ‘primal impression’ atau ‘impresi primer’) dan suatu momen yang disimpan (‘retained moments’/ 'retention') mempunyai kontinuitas terpadu. Di cerita saya ini, isi ‘impresi primer’ adalah pengalaman akan lampu dan ruang di cabang Ikea tadi saat saya ada disana. Sedangkan isi ‘momen yang disimpan’ adalah lampu dan ruang tadi saat saya mengingatnya di rumah teman saya. Menurut Husserl, isi ‘impresi primer’ dan ‘impresi yang disimpan’ sama: saya bisa mengingat lampu dan tata ruang toko Ikea tadi dengan spesifik karena saya memang dengan penuh kesadaran pernah mengalami mereka.

Tapi – dan ini penting – fenomenologi Husserl tidak bisa menjelaskan ambiguitas kehadiran memori itu untuk saya. Kalau memang iya ‘impresi primer’ dan ‘impresi yang disimpan’ sama isinya, kenapa saya di rumah teman saya bingung…  “Di cabang Ikea mana ya, saya lihat lampu itu dan ruang seperti itu?” Kan seharusnya (kalau menurut teori Husserl) saya tidak mungkin bingung karena tidak bisa ada yang luput dari ingatan, karena ingatan adalah semacam ‘hasil transfer’ dari ‘impresi primer’ tadi: isi 'momen sekarang' (the now) yang 'bergeser' menjadi 'momen yang sudah lampau' (the past).
 
Bertolak belakang dari penjelasan Husserl, pengalaman saya akan ruang Ikea ini malah menunjukkan bahwa tidak seperti yang Husserl katakan, sepertinya ada perselisihan  dan bukan keterpaduan antara dua momen yang 'dialami' dan yang 'diingat'. Saya bisa mengingat lampu dan bentuk ruang tadi, meskipun tidak bisa menelusuri persis dimana saya melihat hal-hal itu. Ada momen ‘tak terdeteksi’ di pengalaman awal, dan mungkin momen-momen inilah yang disebut oleh Merleau-Ponty sebagai ‘the invisible gaps of perception’ yang ‘menopang apa yang bisa kita ‘lihat’ atau ‘alami’. Pengalaman saya akan ruang Ikea ini ‘ditopang oleh ‘celah-celah yang tak terlihat’, yang hanya terlihat saat momen itu lewat, melalui ingatan.

Berarti memori bukan hanya sekadar 'hasil transfer' dari sebuah impresi awal. Tapi - dan ini lebih menarik - memori mempunyai kemampuan untuk ‘menampakkan’ lapisan-lapisan pengalaman yang awalnya tak terdeteksi. Maka dari itulah saya bisa mengingat lampu dan tata ruang yang tadinya saya abaikan. Lewat memori, lampu dan variasi tata ruang Ikea, yang tadinya terlihat begitu generik dan sama sekali tidak mencolok, dapat saya rasakan dengan lebih tajam. Berarti, melalui memorilah kita bisa menggali kepekaaan terhadap benda dan ruang (di kasus ini toko Ikea) yang sering kita lewatkan begitu saja, yang mungkin malah bisa mengubah persepsi awal kita akan benda dan ruang itu. Disini, jelas bahwa pengertian awam saya akan ruang Ikea sebagai ruang yang homogen dan ‘hambar’ berubah karena memori saya. Bukan karena penanda-penanda kultural seperti penggunaan aksara daerah atau produk-produk yang dijual untuk memenuhi keinginan penduduk setempat, yang sering diharapkan dapat mengubah pendapat kita akan suatu tempat lewat ‘alam bawah sadar’.

Apabila ruang Ikea diasumsikan tak ‘bermakna’ hanya karena tidak unik dan tidak secara mendalam menunjukkan identitas budaya lokal, maka ini mencerminkan pemahaman yang keliru bukan saja tentang ruang tersebut tapi juga tentang apa yang dimaksud dengan ‘makna’. Seperti yang saya alami disini, memori saya akan ruang dan lampu Ikea ini menunjukkan bahwa ada ‘makna’ disini. Makna, bukan dalam artian universal dan permanen, tapi konteksual, relatif bukan berdasarkan budaya tapi berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang individual. Pengalaman yang secara spesifik dimotori oleh kewaktuan yang hanya milik saya, sebuah kewaktuan yang 'unik'.