Dibawah ini adalah curatorial brief yang saya
tulis untuk sebuah group exhibition di Dia.lo.gue Artspace, Kemang, bulan Mei
nanti. Project ini sudah mulai berjalan... tapi karena masih diawal (untungnya)
belum timbul kendala dan hambatan. Semoga sukses untuk semua yang terlibat J
Secara tak sengaja, dan tanpa banyak
mencari-cari, saya teringat akan buku-buku W. G. Sebald dan film-film Patrick
Keiller. Melihat clip dibawah ini, tidak sulit bagi saya untuk mengerti kenapa
memori-memori ini tiba-tiba muncul, karena suasana yang dihasilkan memang melekat benar pada saya.
Curatorial Brief
"Tiga hal yang menjadi latar belakang
ideologi pameran ini adalah: 1/ demokratisasi praktek seni, 2/ bagaimana seniman
menegosiasi posisi mereka sebagai agen dalam dunia industri dan agen dalam
dunia seni, dan 3/ bagaimana negosiasi ini dihidupi di dalam sebuah ruang yang
unik, yaitu ruang kota Jakarta. Tiga hal ini diharapkan menjadi semangat yang mendasari
pembuatan karya dalam pameran ini. Selain semangat dasar ini, pameran juga akan
dibingkai oleh sebuah tema spesifik yang berperan sebagai ‘benang merah’
karya-karya yang ada, yaitu ide tentang ‘pemetaan imajiner’ atau ‘imaginary
mapping’. Tujuan dari curatorial brief ini
adalah menjelaskan konsep-konsep ini dengan lebih rinci.
Latar Belakang
1.
Demokratisasi Praktek Seni
Salah satu hal yang menciri khaskan
praktek seni kontemporer adalah ide tentang demokratisasi praktek kesenian yang
memperbolehkan siapa saja – bukan hanya mereka yang mempunyai pendidikan formal
dalam bidang seni – untuk membuat objek yang mempunyai status ‘karya seni’.
Berarti, ‘seniman’ bukan hanya mereka yang mempunyai pendidikan formal seni,
dan ‘karya seni’ bukan hanya hasil karya mereka yang memiliki pendidikan formal
tersebut. Otoritas pendidikan formal sebagai legitimasi status – baik seniman
maupun karya seniman – tidak lagi dilihat sebagai patokan yang sepenuhnya
relevan. Meskipun pendidikan formal tentu saja memberikan kelebihan-kelebihan
tertentu mengenai disiplin, peraturan dan baku menyangkut aspek teknis
pembuatan karya, faktor-faktor ini tidak lagi dianggap sebagai suatu
kemutlakan. Dalam kata lain, apa yang diberikan oleh pendidikan formal bukan
lagi elemen-elemen mutlak yang dibutuhkan dalam pembuatan karya seni.
Jika kita telusuri lebih jauh lagi,
pernyataan diatas mengundang pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Contoh
pertanyaan yang paling sering diutarakan adalah, apakah karya seni itu, jika
bukan lagi semata hasil karya seorang yang terdidik secara formal menjadi
seniman. Tapi, mengingat bahwa jawaban dari pertanyaan ini beraneka ragam dan
begitu relatif akan bermacam situasi, maka disini kita tidak akan berusaha
menjawabnya. Menjauh dari pertanyaan yang kerap mengurung ini, satu hal yang lebih
menarik untuk dikupas berhubungan dengan proses kreasi itu sendiri. Apakah yang
terlibat dalam proses kreasi? Impuls dan dorongan apa yang memotorinya? Apakah
– seperti yang digagaskan oleh Plato dalam karyanya Ion – kreatifitas artistik datang dari inspirasi ilahi (divine inspiration)? Atau – seperti
yang digagaskan oleh para pemikir zaman Pencerahan (Enlightenment) – apakah sumber kreatifitas adalah ‘benak’ dan
kemampuan berpikir manusia itu sendiri dan bukanlah elemen-elemen transendental
seperti ‘divine inspiration’ tadi?
Selain kreatifitas, salah satu kata
kunci lain yang melekat pada pengertian tentang ‘karya seni’ adalah ‘orisinalitas’,
yang dimengerti sebagai kemampuan untuk mengekspresikan diri atau gagasan
dengan cara yang belum pernah dipakai sebelumnya; cara-cara yang baru, segar,
dan tidak terduga. Pengertian ini telah ditantang oleh konsep ‘appropriasi’:
penggunaan atau ‘peminjaman’ benda-benda temuan (found objects) untuk diberikan konteks baru dan ‘dijelma’ menjadi
benda yang bernama ‘karya seni’.[1]
Disini konsep ‘orisinalitas’ tidak dianggap sebagai kategori relevan untuk
menilai karya seni karena objek karya tersebut tidak lagi dibuat melainkan hanya ditemukan
oleh sang seniman. Apakah orisinalitas tetap menjadi unsur penting dalam proses
kreasi, tetap menjadi pertanyaan penting yang terus dikaji hingga sekarang.
Pendek kata, praktek seni yang sekarang
dicirikan oleh pembebasan dari kemutlakan pendidikan formal mengundang
pertanyaan dan pernyataan baru tentang status seni dan status karya seni.
Seperti yang kita lihat, pendidikan seni bukan satu-satunya landasan pasti
untuk sebuah proses kreasi. Ada hal-hal lain (seperti kreatifitas dan
orisinalitas) yang dimiliki seorang seniman terlepas dari pendidikan formal.
Apa sajakah elemen-elemen yang terlibat dalam sebuah proses kreasi mungkin
tidak akan dapat dirumuskan dengan pasti, tapi terus menjadi inspirasi yang
menggerakan proses tersebut.
2.
Seniman sebagai Agen Industri dan Agen Dunia Seni
Seperti yang kita lihat dari keadaan
disekitar kita, kemampuan seniman untuk membagi waktu antara menjadi agen
industri dan agen di dunia seni (yang dimengerti dalam artian nonindustri)
sudah menjadi hal yang lazim. Seniman-seniman dalam pameran ini adalah
tokoh-tokoh yang merasakan langsung bagaimana terjalinnya hubungan antara dua
dunia ini. Karena dua dunia ini tidak selalu mempunyai batasan yang pasti,
sering terjadi tidak hanya sinyalir tapi juga ketegangan-ketegangan tertentu.
Apakah dalam dunia seni mereka mempunyai kebebasan kreatif yang lebih luas?
Apakah disiplin dan cara kerja yang terbentuk dalam industri mempengaruhi
tabiat dan kebiasaan-kebiasaan mereka dalam membuat karya seni?
Keterpaduan antara praktek dalam dunia
industri dan dunia seni dapat dijabarkan sebagai berikut. Karena dunia seni -
yang tidak mempunyai batasan-batasan sekuat industri – memberi seseorang
keleluasan dalam berkarya, dunia ini umumnya dianggap sebagai sarana dan ruang
untuk bereksperimentasi dan mengeksplorasi imajinasi. Hasil dari experimentasi
dan eksplorasi ini kemudian diwujudkan sesuai dengan batasan-batasan tertentu
yang diberikan oleh industri, misalnya keinginan klien, target market, deadline,
dan sebagainya. Dua dunia ini saling membantu kegiatan-kegiatan kreatif.
Pertama, industri dapat memberikan struktur dan disiplin dalam, misalnya,
pembentukan sikap tepat waktu dan kemampuan bekerja dengan orang lain, mencari
tahu tentang apa yang disukai orang banyak (dari segi komposisi, elemen-elemen
desain, mood) dan juga mengevaluasi
bagaimana orang lain menerima hasil karyanya. Terlebih dari itu, ketiga hal ini
kemudian dapat membantu seseorang dalam eksplorasi selanjutnya karena membuka
lahan eksplorasi atau memberi arahan baru saat kita merasa ‘terjebak’ karena
kekurangan inspirasi.
Sedangkan, ketegangan antara praktek
dalam dunia industri dan dunia seni dapat diartikulasikan kedalam dua
pengertian juga. Pertama, bagaimana seseorang berupaya menggiring industri untuk menerima karyanya, dan tidak sekadar
memaksakan apa yang dianggap bagus atau benar secara pribadi. Kedua, bagaimana
seseorang, meskipun tetap terbuka terhadap pendapat pasar, dapat terus menjaga
integritas artistiknya sehingga tidak melakukan kompromi berlebih dalam
berkarya. Memenuhi kedua hal ini merupakan hal yang sulit diwujudkan, karena,
seperti yang kita sadari, memerlukan kepekaan dan ethos kerja yang kuat.
Disini, hubungan yang terjalin antara
dua dunia yang mirip tapi tetap jauh berbeda, yang dirasakan di satu sisi
sebagai keterpaduan namun di sisi lain juga sebagai perselisihan, dianggap
menjadi salah satu hal yang secara implisit mendorong seniman untuk berkarya.
3.
Ruang Kota dan Identitas
Identitas seseorang terbentuk dari
interaksinya dengan ruang sekitar, yang dirasakannya melalui sebuah suasana.
Suasana terbentuk dari hubungan antara seseorang dengan ruang, dan tentunya ada
hubungan-hubungan tertentu yang terjalin dari pengalaman akan ruang-ruang
tertentu. Salah satu stereotip yang melekat pada ruang kota adalah bagaimana
seseorang dapat merasa terasingkan dan mempunyai sikap acuh-tak-acuh ditengah
hiruk pikuk, kebisingan, dan keterdesak-desakan. Tapi, seperti kota-kota
metropolis lainnya, Jakarta mempunyai faktor-faktor yang membedakannya dan
membuatnya unik. Untuk beberapa contoh, kita dapat menyebut masih adanya delman
sebagai sarana transportasi di Jakarta Pusat, tersebarnya warteg, tukang rokok dan pengamen, manifestasi kemiskinan yang
memutus asakan disamping kemewahan shopping
mall dan hotel bintang lima.
Sensasi-sensasi yang dialami secara
langsung dan tidak langsung ini mempengaruhi proses kreasi, mulai dari
pemilihan materi dan bahan, teknik yang digunakan untuk mengolah, sampai
komposisi dan tahap penyelesaian. Suasana atau mood yang dihasilkan oleh interaksi kita dengan ruang kota ini
menjadi stimulus dalam penciptaan bentuk-bentuk karya tertentu.
Tema Pameran: Imaginary Mapping
Ide tentang pemetaan berhubungan erat
dengan bagaimana seseorang menegosiasi posisi mereka dalam dua dunia yang
berbeda. Dalam artian umum, pemetaan dapat dimengerti sebagai pembagian suatu
lahan besar menjadi area-area yang lebih sempit, berdasarkan kategori-kategori
tertentu. Kesatuan lahan besar tadi dipecah-pecah hingga menjadi
teritori-teritori dengan ciri khas masing-masing, dan ada perbatasan yang
memisahkan satu teritori ke teritori berikutnya. Secara visual, kehidupan
sehari-hari kita bisa dibayangkan sebagai sebuah peta yang terdiri dari
berbagai hubungan antara elemen-elemen spasial (area, perbatasan, dan teritori)
dan juga elemen-elemen nonspasial (lapisan psikologis dan kemampuan menalar
seseorang). Pameran ini mengajak partisipan untuk memaknai pemetaan tidak dalam
artian empiris, nyata, dan objektif, tapi sebaliknya: pribadi, imajiner,
dikhayalkan.
Untuk membongkar konsep ‘pemetaan
imajiner’ ini, selain berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘pemetaan’,
kita juga harus menelusuri apa yang dimaksud dengan ‘imajinasi’. Apabila
dikontraskan dengan ‘persepsi’ dimana images
atau citra terbentuk dari pengalaman panca-indrawi, maka ‘imajinasi’, yang
tidak terbatas oleh pengalaman panca-indrawi tersebut, berarti mempunyai
otonomi yang unik: dengan menggunakan mata untuk melihat saya mempunyai persepsi akan merahnya apel, sedangkan
saya tidak perlu merasakan panasnya api dengan kulit untuk mempunyai imajinasi akan sensasi itu. Kita dapat
lanjutkan pemikiran ini dengan mengatakan bahwa karena otonomi ini, imajinasi
bisa disebut sebagai kemampuan yang dimiliki benak kita untuk terus menjadi, tanpa kekangan atau
batasan yang dapat meramalkan hasil akhir dari proses berimajinasi ini.
Melalui imajinasi, pengertian kita akan
posisi diri sendiri dan orang lain dapat melampaui batas persepsi belaka.
Posisi, serta bermacam status, wewenang dan tanggung jawab yang terkait
dengannya, tidak lagi terbatas pada kenyataan yang ada, namun bisa mempunyai
artian-artian dan hubungan-hubungan baru yang tak terduga. Stereotip tentang
diri sendiri dan orang lain yang terbentuk dari posisi seseorang menurut
kategori ras, gender, status sosial, kuasa politik, kemampuan ekonomi, dan
seterusnya dapat disanggah untuk kemudian disusun ulang. Mungkin pendapat
Gaston Bachelard akan fungsi imajinasi sebagai panduan hidup manusia tidak
terlalu dibuat-buat, mengingat bahwa sepertinya melalui imajinasilah kita
diperbolehkan untuk membayangkan situasi-situasi diluar kenyataan, untuk
kemudian merubah apa yang disebut sebagai ‘kenyataan’.[2]
Singkatnya, pameran ini bertujuan
menjelajah bagaimana imajinasi memperkaya pengertian seseorang akan bagaimana
mereka memosisikan dirinya di dalam koordinat peta-peta kehidupan sehari-hari:
baik itu kehidupan dunia industri atau seni, maya atau konkrit, privat atau
publik."
[1] Contoh
paling terkenal adalah readymades
Marcel Duchamp, terutama karya berjudul Fountain
(1917), yang terdiri dari sebuah urinal porselen yang Duchamp temukan dan
kemudian ditandatangani dengan pseudonym “R. Mutt”.
[2] Gaston Bachelard, Air and Dreams: An Essay on the Imagination
of Movement (Dallas: Dallas Institute Publications, 2011), p. 209.