Wednesday, 8 February 2012

Ingatan akan 'Everyplace'

Bagaimana kita mengenang suatu tempat? Atau, bagaimana suatu tempat ‘tersimpan’ dalam ingatan? Pertanyaan ini penting, karena penilaian kita akan ‘makna’ suatu tempat sering bertitik berat pada memori atau kenangan. Misalnya dalam ucapan, “Saya suka sekali pencahayaan di galeri X; benar-benar tidak terlupakan!” Ini menunjukkan bahwa tempat menjadi ‘berarti’, kalau ada faktor-faktor disitu yang bisa kita simpan di memori.

Menjelaskan kenapa kita bisa mengingat tempat-tempat yang unik memang jauh lebih gampang. Misalnya, Gaston Bachelard, dalam The Poetics of Space, menjabarkan dengan begitu rinci rumah masa kecilnya. Ada petikan terkenal dari buku ini, dimana dia menceritakan tentang bau kismis yang sedang dikeringkan di baki anyaman, didalam sebuah lemari di rumah tersebut: ““I alone, in my memories of another century, can open the deep cupboard that still retains for me alone that unique odor, the odor of raisins drying on a wicker tray. The odor of raisins! It is an odor that is beyond description, one that it takes a lot of imagination to smell.” (13). Melalui ingatan akan sesuatu yang sangat sederhana seperti bau kismis inilah maka rumah masa kecil ini, bagi Bachelard, menjadi sebuah ‘first universe’ yang begitu dihargainya.

Terrence Mallick. Days of Heaven. 1978.

Rumusan Bachelard memang berguna karena menggarisbawahi peran memori dalam pemaknaan kita akan tempat-tempat yang kita hidupi. Tapi yang bermasalah tentang rumusan ini, seperti yang saya pernah sebut di sebuah posting lama, adalah argumentasi bahwa suatu tempat harus mempunyai ciri-ciri khas tersendiri agar bisa dimaknai, seperti bau kismis di baki anyaman tadi. Dimaknai, menurut gagasan Bachelard, melalui memori. Ini bermasalah, karena ruang keseharian kita sekarang dibanjiri oleh tempat-tempat yang tidak mempunyai ciri khas tersendiri, tidak unik, tidak spesifik, malah sebaliknya. Seperti toko franchise dibawah ini, misalnya:

Showroom toko mebel Ikea dapat ditemukan di berbagai kota di dunia, dan selalu mengikuti rumus rancangan yang sama, sehingga sulit untuk membedakan ini adalah cabang toko Ikea yang mana.

Ikea melambangkan jenis tempat yang bisa ada dimana saja, sebuah everyplace. Meskipun toko-toko Ikea di berbagai kota di dunia mungkin menggunakan bermacam penanda untuk menunjukkan budaya lokalnya, tetap saja semua Ikea diseluruh dunia, karena kepentingan franchise, harus mempunyai kesamaan-kesamaan dari segi produk, layout, warna dlsb. Toko Ikea jelas berbeda jauh secara tipologis dari rumah masa kecil Bachelard, dan menurut teori Bachelard, tidak akan ada pengalaman toko Ikea yang bisa ‘disimpan’ dalam ingatan karena masing-masing cabang  Ikea tidak mempunyai kekhasan yang unik. Tidak bisa diingat, maka dari itu, tidak mungkin ‘bermakna’.

Sejauh apa kita bisa setuju dengan Bachelard? Mengingat penuhnya ruang keseharian kita dengan tempat-tempat homogen dan generik yang distandarisasi dari satu bagian dunia ke bagian lainnya, maka kita harus merevisi bingkai-bingkai penilaian seperti yang diajukan oleh Bachelard. Memang Bachelard benar dalam mengatakan bahwa memori berperan penting dalam pemaknaan ruang dan tempat. Tapi Bachelard salah dalam menekankan ‘keunikan’ sebagai elemen yang esensial.

Contoh: waktu saya tinggal di London, saya dan teman-teman mahasiswa disana mengandalkan Ikea untuk perabot rumah, dengan alasan utama harga yang terjangkau. Karena faktor harga ini, alhasil rumah-rumah kami sering mirip, dihias dengan barang-barang yang itu-itu juga. Bahkan mungkin hanya beda tipis dengan tata ruang yang ditawarkan di katalog buku Ikea itu sendiri. Saya pernah mengunjungi rumah teman, dan melihat bahwa dia baru membeli lampu meja yang pernah saya lihat di toko Ikea sebelumnya. Saya bisa mengingat jelas bentuk lampu ini dan ruang di toko Ikea dimana saya melihatnya, tapi saya benar-benar lupa di cabang Ikea mana.


Semakin saya coba mengingat-mengingat, semakin rinci bentuk ruang itu terbayang oleh saya: saya bisa membayangkan persis ruang yang berbentuk ‘L’ dan bukan persegi. Tapi tetap saja, saya tidak bisa ingat, cabang yang mana? Saat itu ada 2 cabang Ikea di London yang, selayaknya toko franchise, sama persis dari satu cabang ke cabang lainnya. Ingatan ini tidak bisa dijelaskan dengan rumusan Bachelard, karena toko-toko ini homogen dan tidak punya ciri khas yang unik. Tapi saya juga tidak bisa menyangkal bahwa, meskipun designnya yang ‘harus sesuai standard’ (tidak unik), saya punya ingatan-ingatan yang spesifik, yang ‘muncul’ begitu saja tanpa saya sadari.

Disini formulasi Bachelard tidak relevan: ingatan saya ini tidak terbentuk karena adanya fitur-fitur unik dari tempat tersebut yang ‘nempel’ di kepala saya. Dalam diskusi tentang memori, selain ada elemen tempat, elemen yang harus dipertimbangkan adalah waktu. Berarti, kita harus membongkar pengalaman akan waktu itu sendiri. Bagaimana waktu di toko Ikea ini dirasakan, sehingga tanpa fitur- fitur unik yang hanya ada cabang itu, saya tetap bisa mengingat lampu dan layout ruang disana, ingatan yang tiba-tiba muncul di rumah teman saya? Perhatikan bagaimana ingatan ini ‘muncul’ di rumah teman saya: secara tiba-tiba, spontan. Tanpa usaha dari saya untuk mengingat, karena saya memang tidak sadar bahwa saya memperhatikan lampu itu saat saya berkunjung ke cabang Ikea tadi. 

Edmund Husserl memberi petunjuk berharga melalui teorinya tentang ‘internal time-consciousness’. Menurut Husserl, kesadaran seseorang akan waktu bukan cuma terbentuk dari waktu objektif yang tertera di kalender dan jam, tapi juga kewaktuan subjektif yang dirasakannya sebagai seorang individu. Untuk Husserl, suatu momen yang kita alami langsung (apa yang disebut Husserl dengan ‘primal impression’ atau ‘impresi primer’) dan suatu momen yang disimpan (‘retained moments’/ 'retention') mempunyai kontinuitas terpadu. Di cerita saya ini, isi ‘impresi primer’ adalah pengalaman akan lampu dan ruang di cabang Ikea tadi saat saya ada disana. Sedangkan isi ‘momen yang disimpan’ adalah lampu dan ruang tadi saat saya mengingatnya di rumah teman saya. Menurut Husserl, isi ‘impresi primer’ dan ‘impresi yang disimpan’ sama: saya bisa mengingat lampu dan tata ruang toko Ikea tadi dengan spesifik karena saya memang dengan penuh kesadaran pernah mengalami mereka.

Tapi – dan ini penting – fenomenologi Husserl tidak bisa menjelaskan ambiguitas kehadiran memori itu untuk saya. Kalau memang iya ‘impresi primer’ dan ‘impresi yang disimpan’ sama isinya, kenapa saya di rumah teman saya bingung…  “Di cabang Ikea mana ya, saya lihat lampu itu dan ruang seperti itu?” Kan seharusnya (kalau menurut teori Husserl) saya tidak mungkin bingung karena tidak bisa ada yang luput dari ingatan, karena ingatan adalah semacam ‘hasil transfer’ dari ‘impresi primer’ tadi: isi 'momen sekarang' (the now) yang 'bergeser' menjadi 'momen yang sudah lampau' (the past).
 
Bertolak belakang dari penjelasan Husserl, pengalaman saya akan ruang Ikea ini malah menunjukkan bahwa tidak seperti yang Husserl katakan, sepertinya ada perselisihan  dan bukan keterpaduan antara dua momen yang 'dialami' dan yang 'diingat'. Saya bisa mengingat lampu dan bentuk ruang tadi, meskipun tidak bisa menelusuri persis dimana saya melihat hal-hal itu. Ada momen ‘tak terdeteksi’ di pengalaman awal, dan mungkin momen-momen inilah yang disebut oleh Merleau-Ponty sebagai ‘the invisible gaps of perception’ yang ‘menopang apa yang bisa kita ‘lihat’ atau ‘alami’. Pengalaman saya akan ruang Ikea ini ‘ditopang oleh ‘celah-celah yang tak terlihat’, yang hanya terlihat saat momen itu lewat, melalui ingatan.

Berarti memori bukan hanya sekadar 'hasil transfer' dari sebuah impresi awal. Tapi - dan ini lebih menarik - memori mempunyai kemampuan untuk ‘menampakkan’ lapisan-lapisan pengalaman yang awalnya tak terdeteksi. Maka dari itulah saya bisa mengingat lampu dan tata ruang yang tadinya saya abaikan. Lewat memori, lampu dan variasi tata ruang Ikea, yang tadinya terlihat begitu generik dan sama sekali tidak mencolok, dapat saya rasakan dengan lebih tajam. Berarti, melalui memorilah kita bisa menggali kepekaaan terhadap benda dan ruang (di kasus ini toko Ikea) yang sering kita lewatkan begitu saja, yang mungkin malah bisa mengubah persepsi awal kita akan benda dan ruang itu. Disini, jelas bahwa pengertian awam saya akan ruang Ikea sebagai ruang yang homogen dan ‘hambar’ berubah karena memori saya. Bukan karena penanda-penanda kultural seperti penggunaan aksara daerah atau produk-produk yang dijual untuk memenuhi keinginan penduduk setempat, yang sering diharapkan dapat mengubah pendapat kita akan suatu tempat lewat ‘alam bawah sadar’.

Apabila ruang Ikea diasumsikan tak ‘bermakna’ hanya karena tidak unik dan tidak secara mendalam menunjukkan identitas budaya lokal, maka ini mencerminkan pemahaman yang keliru bukan saja tentang ruang tersebut tapi juga tentang apa yang dimaksud dengan ‘makna’. Seperti yang saya alami disini, memori saya akan ruang dan lampu Ikea ini menunjukkan bahwa ada ‘makna’ disini. Makna, bukan dalam artian universal dan permanen, tapi konteksual, relatif bukan berdasarkan budaya tapi berdasarkan pengalaman saya sebagai seorang individual. Pengalaman yang secara spesifik dimotori oleh kewaktuan yang hanya milik saya, sebuah kewaktuan yang 'unik'.  

No comments:

Post a Comment