Studi doktoral yang baru saya selesaikan membahas tempat-tempat
yang disebut oleh Marc Auge sebagai nonplaces. Contoh yang
diberikan Auge adalah jalan tol, tapi secara umum nonplaces bisa
diidentifikasi sebagai berikut: tempat-tempat anonymous yang
tidak mempunyai karakteristik unik, ‘bermakna’ hanya karena mereka adalah
sebuah means to an end, tidak mencerminkan letak geografis dan
kalaupun ya hanya secara kitsch, tempat-tempat yang mendukung
partisipasi kesendirian dari si manusia yang kian ‘berjarak’ dengan dunia yang
berputar cepat di sekitarnya.
Andreas Gursky, Autobahn, Bremen, 1991.
Metode
utama yang saya gunakan adalah analisa fenomenologis, karena pada saat projek
ini dimulai belum ada studi filsafat fenomenologi yang mengupas nonplaces.
Hal ini sangat janggal. Karena, kenapa fenomenologi – yang katanya bertujuan
membongkar asumsi dan pengertian awam tentang ruang-ruang keseharian kita –
jarang menyentuh nonplaces sebagai topik penilitian? Apalagi
ruang keseharian kita semakin dipenuhi dengan tempat-tempat nonplaces ini,
seperti jalan-jalan tol, bandara internasional, toko dan restoran franchise.
Bukankah semakin penting bahwa nonplaces dikaji secara
fenomenologis?
Perspektif
keilmuan yang sekarang kita sebut sebagai ‘Cultural Studies’ memang sudah
banyak menawarkan penemuan yang berharga. Tanpa kajian ‘Cultural Studies’
tentunya kita akan menyepelekan bahwa tempat-tempat ini tetap sarat akan
permasalahan kebudayaan, termasuk didalamnya persoalan soal gender, etnisitas,
geopolitik, kesenjangan ekonomi, dlsb.Tapi, semua cabang keilmuan
mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri – inilah sebabgnya aspirasi interdisciplinary (lintas-disiplin)
sangat penting. Kekurangan ‘Cultural Studies’ adalah pengabaian akan pengalaman
seseorang tentang ruang sekitarnya sebelum adanya renungan
tentang berbagai permasalahan budaya yang saya sebut diatas. Sebuah tempat
sering kali dijelaskan menurut asumsi-asumsi kebudayaan yang
ada, sebelum pengalaman seseorang akan tempat itu ada.
Oleh
karena itu, saya memutuskan untuk membuat sebuah studi fenomenologis tentang nonplaces.
Nah, kekurangan fenomenologi terletak pada fokusnya akan kategori-kategori
pengalaman yang menurutnya lebih ‘penting’ atau ‘berharga’ dari
pengalaman-pengalaman lain. Dalam The Poetics of Space, misalnya,
Gaston Bachelard memberikan status lebih ‘bergengsi’ pada pengalamannya akan
rumah masa kecilnya di sebuah dusun Prancis yang beigtu idyllic dan picturesque daripada
keadaan urban sebuah apartemen sewaan di Paris. Seperti tulisnya: “ In
Paris there are no houses, and the inhabitants of the big city live in
superimposed boxes.” (Hal. 26) Setting
perkotaan, menurutnya, hanya punya ruang huni yang hampa; tidak akan bisa ada
‘rumah’ disana, hanya ‘kotak-kotak’ tempat transit tanpa akar.
Tradisi
pemikiran Bachelard ini terus mempengaruhi penilitian fenomenologis saat ini,
yang mengakibatkan sedikitnya – bahkan hampir tidak ada – upaya untuk mengkaji nonplaces.
Studi-studi besar dari fenomenolog kontemporer kelas kakap saat ini seperti
Jeff Malpas dan Ed Casey, misalnya, tidak pernah membahas ‘tempat-tempat tanpa
akar’ ini secara mendalam. Bandara internasional, misalnya, sebagai tempat
transit dimana orang datang hanya untuk pergi lagi, tanpa meninggalkan jejak
apalagi akar, yang seakan ‘tercerai’ dari keadaan geografis sekitarnya dan
susah untuk dibedakan dari kota A dan kota B... tempat-tempat ini jarang
dibahas secara fenomenologis karena fenomenologi berasumsi tak mungkin bisa
adanya ‘embodied experience’ atau ‘pengalaman pentubuhan’ yang bermakna disana.
Tapi
apa iya?
Andreas Gursky, Schiphol, 1994
Bayangkan kita sedang berada di sebuah departure lounge di
kota X, menunggu pesawat. Pengalaman seperti apa yang kita rasakan disini?
Disini, ‘waktu’ seakan bergerak lambat, ditandai oleh kebosanan yang sebelumnya
sudah kita coba atasi dengan cara melihat-lihat duty free shops dlsb.
Disini, spasialitas departure lounge – ukuran, pencahayaan,
perabot dan konotasi bahwa kita ‘dikurung’, misalnya – digabungkan dengan lelah
atau antusiasme travelling, mempertajam kelesuan yang dirasakan
saat menunggu untuk pesawat ini datang.
Tapi, tempat penuh kegelisahan ini tetap mempersilahkan
kebiasaan-kebiasaan atau habits untuk terus berlangsung. Ingat rumpun
kata ‘habit’ adalah kata Latin habere
– artinya ‘memegang’.
Kebiasaan-kebiasaan kitalah yang secara harafiah ‘memegang’ keberadaan kita
disuatu tempat. Bayangkan datangnya rasa mengantuk saat kita duduk menganggur
di kursi. Inertia yang dihasilkan dari posisi duduk
merosot membuahkan lethargy yang dirasakan melalui kelopak
mata yang semakin memberat, dan otot bahu yang mulai mengendur. Sadar bahwa
tidur sedang merambat, kita meraih jaket yang akan digunakan sebagai bantal,
untuk mengurangi ketidak-nyamanan bentuk kursi ini. Dengan jaket yang sudah
digulung terjepit diantara leher dan ujung kursi, kita menggeser tubuh supaya
bersandar miring, menarik kaki lebih dekat ke pangkalan kursi, mengepalkan
kedua tangan dan menaruhnya dibelakan kepala, untuk membentuk semacam
‘kepompong’ yang akan menimbulkan rasa kantuk. Ini semua berlangsung tanpa kita
sadari, berkat kebiasaan ‘tidur’ kita yang asal usulnya tak perlu diusut.
Seperti yang kita lihat disini, bahkan anonymity sebuah departure lounge pun tidak bisa menghapus
keterikatan kita dengan tempat ini. Sebelumnya adanya bobot-bobot ideologis
tentang kebudayaan, kita sudah terkait erat dengan tempat ini melalui tubuh
kita. Berarti, pemaknaan akan tempat, pada dasarnya, berawal dari pengalaman
yang dicerna melalui tubuh, dan baru
setelah itu, berbagai kategori budaya yang kita asumsikan untuk
mendefinisikan identitas kita.
No comments:
Post a Comment