Monday, 9 January 2012

Sebelum Budaya

Studi doktoral yang baru saya selesaikan membahas tempat-tempat yang disebut oleh Marc Auge sebagai nonplaces. Contoh yang diberikan Auge adalah jalan tol, tapi secara umum nonplaces bisa diidentifikasi sebagai berikut: tempat-tempat anonymous yang tidak mempunyai karakteristik unik, ‘bermakna’ hanya karena mereka adalah sebuah means to an end, tidak mencerminkan letak geografis dan kalaupun ya hanya secara kitsch, tempat-tempat yang mendukung partisipasi kesendirian dari si manusia yang kian ‘berjarak’ dengan dunia yang berputar cepat di sekitarnya.



Andreas Gursky, Autobahn, Bremen, 1991.


Metode utama yang saya gunakan adalah analisa fenomenologis, karena pada saat projek ini dimulai belum ada studi filsafat fenomenologi yang mengupas nonplaces. Hal ini sangat janggal. Karena, kenapa fenomenologi – yang katanya bertujuan membongkar asumsi dan pengertian awam tentang ruang-ruang keseharian kita – jarang menyentuh nonplaces sebagai topik penilitian? Apalagi ruang keseharian kita semakin dipenuhi dengan tempat-tempat nonplaces ini, seperti jalan-jalan tol, bandara internasional, toko dan restoran franchise. Bukankah semakin penting bahwa nonplaces dikaji secara fenomenologis?

Perspektif keilmuan yang sekarang kita sebut sebagai ‘Cultural Studies’ memang sudah banyak menawarkan penemuan yang berharga. Tanpa kajian ‘Cultural Studies’ tentunya kita akan menyepelekan bahwa tempat-tempat ini tetap sarat akan permasalahan kebudayaan, termasuk didalamnya persoalan soal gender, etnisitas, geopolitik, kesenjangan ekonomi, dlsb.Tapi, semua cabang keilmuan mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri – inilah sebabgnya aspirasi interdisciplinary (lintas-disiplin) sangat penting. Kekurangan ‘Cultural Studies’ adalah pengabaian akan pengalaman seseorang tentang ruang sekitarnya sebelum adanya renungan tentang berbagai permasalahan budaya yang saya sebut diatas. Sebuah tempat sering kali dijelaskan menurut asumsi-asumsi kebudayaan yang ada, sebelum pengalaman seseorang akan tempat itu ada.

Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membuat sebuah studi fenomenologis tentang nonplaces. Nah, kekurangan fenomenologi terletak pada fokusnya akan kategori-kategori pengalaman yang menurutnya lebih ‘penting’ atau ‘berharga’ dari pengalaman-pengalaman lain. Dalam The Poetics of Space, misalnya, Gaston Bachelard memberikan status lebih ‘bergengsi’ pada pengalamannya akan rumah masa kecilnya di sebuah dusun Prancis yang beigtu idyllic dan picturesque daripada keadaan urban sebuah apartemen sewaan di Paris. Seperti tulisnya: “ In Paris there are no houses, and the inhabitants of the big city live in superimposed boxes.” (Hal. 26) Setting perkotaan, menurutnya, hanya punya ruang huni yang hampa; tidak akan bisa ada ‘rumah’ disana, hanya ‘kotak-kotak’ tempat transit tanpa akar.

Tradisi pemikiran Bachelard ini terus mempengaruhi penilitian fenomenologis saat ini, yang mengakibatkan sedikitnya – bahkan hampir tidak ada – upaya untuk mengkaji nonplaces. Studi-studi besar dari fenomenolog kontemporer kelas kakap saat ini seperti Jeff Malpas dan Ed Casey, misalnya, tidak pernah membahas ‘tempat-tempat tanpa akar’ ini secara mendalam. Bandara internasional, misalnya, sebagai tempat transit dimana orang datang hanya untuk pergi lagi, tanpa meninggalkan jejak apalagi akar, yang seakan ‘tercerai’ dari keadaan geografis sekitarnya dan susah untuk dibedakan dari kota A dan kota B... tempat-tempat ini jarang dibahas secara fenomenologis karena fenomenologi berasumsi tak mungkin bisa adanya ‘embodied experience’ atau ‘pengalaman pentubuhan’ yang bermakna disana.

Tapi apa iya?


Andreas Gursky, Schiphol, 1994


Bayangkan kita sedang berada di sebuah departure lounge di kota X, menunggu pesawat. Pengalaman seperti apa yang kita rasakan disini? Disini, ‘waktu’ seakan bergerak lambat, ditandai oleh kebosanan yang sebelumnya sudah kita coba atasi dengan cara melihat-lihat duty free shops dlsb. Disini, spasialitas departure lounge ­– ukuran, pencahayaan, perabot dan konotasi bahwa kita ‘dikurung’, misalnya – digabungkan dengan lelah atau antusiasme travelling, mempertajam kelesuan yang dirasakan saat menunggu untuk pesawat ini datang.




Tapi, tempat penuh kegelisahan ini tetap mempersilahkan kebiasaan-kebiasaan atau habits untuk terus berlangsung. Ingat rumpun kata ‘habit’ adalah kata Latin habere ­– artinya ‘memegang’. Kebiasaan-kebiasaan kitalah yang secara harafiah ‘memegang’ keberadaan kita disuatu tempat. Bayangkan datangnya rasa mengantuk saat kita duduk menganggur di kursi. Inertia yang dihasilkan dari posisi duduk merosot membuahkan lethargy yang dirasakan melalui kelopak mata yang semakin memberat, dan otot bahu yang mulai mengendur. Sadar bahwa tidur sedang merambat, kita meraih jaket yang akan digunakan sebagai bantal, untuk mengurangi ketidak-nyamanan bentuk kursi ini. Dengan jaket yang sudah digulung terjepit diantara leher dan ujung kursi, kita menggeser tubuh supaya bersandar miring, menarik kaki lebih dekat ke pangkalan kursi, mengepalkan kedua tangan dan menaruhnya dibelakan kepala, untuk membentuk semacam ‘kepompong’ yang akan menimbulkan rasa kantuk. Ini semua berlangsung tanpa kita sadari, berkat kebiasaan ‘tidur’ kita yang asal usulnya tak perlu diusut.


Seperti yang kita lihat disini, bahkan anonymity sebuah departure lounge pun tidak bisa menghapus keterikatan kita dengan tempat ini. Sebelumnya adanya bobot-bobot ideologis tentang kebudayaan, kita sudah terkait erat dengan tempat ini melalui tubuh kita. Berarti, pemaknaan akan tempat, pada dasarnya, berawal dari pengalaman yang dicerna melalui tubuh, dan baru setelah itu, berbagai kategori budaya yang kita asumsikan untuk mendefinisikan identitas kita.  

No comments:

Post a Comment