Saya sedang membaca The
Open: Man and Animal (Giorgio Agamben). Ingat thesis 'the end of
history' milik Fukuyama? Setelah Perang Dingin, Fukuyama mengatakan bahwa yang
kita saksikan bukan semata periode Pascaperang (Postwar) tapi akhir sejarah
sebagai evolusi progresif, dimana masa depan selalu dimengerti sebagai 'kemajuan'
dari kejadian yang telah terjadi di masa sebelumnya. Disini, Fukuyama merujuk pada ide 'posthistory'nya Kojeve, dan menjadi salah satu filsuf kontemporer yang terus mengingatkan kita akan betapa bermasalahnya ide 'kemajuan' di akhir abad 20. Ambil contoh teknologi, misalnya.
Apakah kita masih bisa menilai perkembangan teknologi sebagai suatu kemajuan,
mengingat kekejaman dan kekerasan tak terbayangkan yang juga menjadi dampaknya?
Jadi, 'sejarah' - dalam pengertian awamnya - telah berakhir. Tragedi-tragedi yang terjadi diabad 20 telah meruntuhkan perumusan humanisme/ kemanusiaan yang diberikan oleh Modernisme. Nah, bagaimana dengan manusia di
akhir sejarah? Apakah bisa pengertian kita akan kemanusiaan - apa yang membuat
manusia 'manusia' - untuk tetap sama? Ini yang
sekarang menjadi aspirasi pascahumanisme, untuk merevisi perumusan
Modern tentang sejarah dan humanisme yang tidak lagi memadai.
Di buku ini Agamben memaparkan
gagasan-gagasan tentang sifat kemanusiaan pascahumanis, terbingkai oleh pengertian kita akan hubungan antar manusia dan binatang. Dengan demikian,
diharapkan ambiguitas batasan-batasan yang ada antara manusia dan yang bukan
manusia - seperti binatang - akan tersingkap. Batasan-batasan seperti
rasionalitas dan bahasa: katanya kan manusia punya rasionalitas dan bahasa, binatang tidak, dan kategori seperti inilah yang membedakan manusia dan binatang. Agamben memberikan contoh dari teori evolusi Darwin yang diterapkan oleh Ernst
Haeckel di tahun 1899, yang mempunyai hipotesa bahwa manusia berkembang dari
apa yang disebutnya "Pithecanthropus alalus", atau 'manusia
tanpa bahasa': "... during the Pilocene period, arises the ape-man without
speech (the Pithecanthropus alalus), and from him, finally,
speaking man." (34)
Padahal - dan disini Agamben
dibantu oleh teori Linguistik milik Heymann Steinhal tentang asal
muasal manusia - pembedaan antara manusia dan yang bukan manusia berdasarkan
pemilikan bahasa sebenarnya tidak terlalu jelas. Dari mana asalnya pembedaan
ini? Dari asumsi manusianya sendiri. Jadi batasan ini hanya ada karena
sebelumnya sudah dibentuk oleh manusia. Maka, gagasan bahwa
manusia, menurut teori evolusi, berasal dari perkembangan bahasa adalah sebuah
kontradiksi. Sudah jelas aneh, kalau dikatakan manusia berasal dari bahasa,
sedangkan bahasa sendiri berasal dari manusia. Lebih aneh lagi, karena sekarang
kita mengatakan bahwa bahasa merupakan batasan antara manusia dan yang bukan
manusia.
Batasan-batasan ini terbentuk,
menurut Agamben, oleh apa yang disebutnya sebagai 'the anthropological
machine', sebuah 'alat' buatan manusia untuk mengetahui kemanusiaannya. Dan
alat ini hanya bisa berfungsi karena dimotori oleh zona-zona ambigu - seperti gagasan tentang bahasa tadi, tapi terlebih dari itu juga kemampuan
bernalar, akhlak, kepercayaan religius tentang 'penyelamatan', dlsb.
Kategori-kategori ini bukanlah sifat psiko-fisiologis manusia yang ada secara
alami, tapi hanya asumsi manusia tentang apa yang membedakannya.
Dari sisi ini, telihat bahwa
pengertian kita akan kemanusiaan hanya terbentuk dari kategori-kategori
'kosong'. Dan pengkategorian semu seperti ini
hanya memperlihatkan bahwa tanpa kategori-kategori ini yang ada hanyalah apa yang Agamben sebut sebagai 'bare life': kehidupan yang dilucuti
baik dari kemanusiaan tapi juga kebinatangan. Tapi ini tidak perlu disesalkan, karena revisi tentang humanisme
itu dapat beranjak dari 'titik kosong' ini. Berpikir tentang keberlanjutan setelah 'akhir' sesuatu tidak gampang, apalagi kalau yang berakhir itu 'sejarah' atau 'humanisme'. Menurut saya, kemampuannya menanggapi masalah ini dengan positif dan kritis adalah kontribusi yang penting dari Agamben.
No comments:
Post a Comment