Saya mengakhiri posting ini dengan ide Casey bahwa ‘permukaan’ –
sebagai elemen dari ‘tempat’ – mempunyai peran penting untuk seorang manusia
dalam membentuk hubungan etika dengan lingkungan sekitar (environmental
ethics). Hal ini dikarenakan dua atribut spesifik dari ‘permukaan’:
ekspresifitas (expresivity) dan kesederhanaan (simplicity).
Menurut analisanya, permukaan-permukaan ruang hidup kita mempunyai kapasitas
untuk ‘meng-ekspresikan’ – Casey tidak menjelaskan ‘mengekspresikan apa’, tapi
menurut saya maksudnya meng-ekspresikan ‘suasana’ atau mood. Casey
memberikan beberapa contoh variasi permukaan yang memberikannya kemampuan
ekspresif: warna, kelenturan (misalnya permukaan kertas), elastisitas (misalnya
karet), tekstur, dll. Ambil contoh sofa ini:
Lanjut ke analisa selanjutnya mengenai kesederhanaan
(simplicity). Permukaan menjadi kompleks melalui berbagai variasinya. Sofa
berbahan kulit sintetis diatas mempunyai permukaan yang kompleks, terdiri dari
variasi warna yang kecoklatan, padding yang empuk, tekstur artifisial
yang sedikit lengket dlsb. Kompleksitas variasi ini bisa ‘diakomodir’ atau
disatukan oleh permukaan sofa karena permukaan ini juga mempunyai
kesederhanaan.
Sekarang ambil contoh sebuah sungai berlimbah:
Dimulai dengan sekilas
mata yang menyadarkan kita akan adanya bahaya disini, kita mulai
memperhatikan, karena adanya 'intensitas' (intensity) di permukaan
ini. 'Intensitas' disini berbeda dengan 'intensitas' yang kita rasakan pada
saat, misalnya, melihat sebuah karya seni yang menggugah, yang cukup kita
perhatikan tapi tidak harus mengundang tindakan. Ini karena 'intensitas' disini
menandakan sebuah 'gejala' akan bumi yang sedang 'sakit', dan kita mulai
memikirkan, membuat penilaian dan – semoga – tergerak untuk memberi pertanggung
jawaban atas kerusakan ini.
Inilah 'Wajah'
dari lingkungan - the 'Face' of the environment. Disini, sekilas mata tidak
lagi cukup: "my glance... no longer suffices." Karena, degradasi yang
diperlihatkan oleh 'Wajah' ini tidak lagi hanya meminta perhatian kita tapi menuntut
kita. Menuntut untuk bertindak secara etis, yang diawali dengan
memperhatikan dan kemudian memberi pertanggung jawaban atas kerusakan yang
terjadi disini. Tuntutan ini ada di setiap permukaan yang menunjukkan rusaknya
lingkungan, yang bisa kita tangkap hanya dengan sekilas mata. Meskipun kita
pada akhirnya memutuskan untuk mengabaikannya, tuntutan itu tetap ada disana.
Inti argumen Casey adalah, ternyata tuntutan etika untuk
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan ini berawal dari sebuah kilasan
mata. Ini adalah gagasan baru, karena secara tradisional teori tentang etika
biasanya berawal dengan permasalahan tentang norma, peraturan, pembenaran
ilmiah dlsb.
Ada beberapa hal yang saya tidak yakin disini.
Pertama, argumen Casey tentang ‘simplicity’ permukaan. Pertanyaan saya,
apakah iya kesederhanaan ini suatu keharusan... suatu komponen dasar yang
pasti, yang tidak bisa tidak? Menurut Casey ya, tapi saya merasa ada
kejanggalan disini. Bayangkan permukaan karang yang penuh liuk liku, kasar
disatu sisi tapi halus di sisi lain, yang terendam oleh oli, wujud liquiditas
yang pekat dan padat. Kompleksitas yang bertumpuk-tumpuk. Apakah permukaan
harus, seperti yang dikatakan Casey, ‘sederhana’?
Kedua, Casey menulis: “its (the glance)
pointed penetrating power allows it to go straight to where the problem is...”
Tapi menurut saya sekilas mata tidak mempunyai kapasitas untuk menembus
permukaan menuju inti permasalahan. Ini adalah kemampuan dari sebuah tatapan
(a gaze). Secara fenomenologis, ini adalah perbedaan signifikan. Karena,
kalau fenomenologi bersikeras bahwa tubuh kita adalah ‘alat’ untuk memahami
dunia, maka perlu ditekankan bahwa tubuh adalah semacam swiss-army knife:
satu alat yang terdiri dari beberapa alat yang punya kemampuan-kemampuan
berbeda dan spesifik. Kalau kilasan mata mampu ‘hinggap’ di permukaan sebuah
lahan dan mulai memperhatikan apa yang terjadi disitu, tatapan mata menyusup
kebawah permukaan ini dan menggerakan penafsiran dan penilaian.
No comments:
Post a Comment