Tuesday, 20 March 2012

Fenomenologi dan Design


Terutama di 3 dekade terakhir, semakin banyak teori design – baik bangunan, ruang kota, produk dst – yang menerapkan konsep-konsep fenomenologis seperti Lebensweltnya Husserl, ‘being-in-the-world’nya Heidegger, kepuitisan ruangnya Bachelard dan pentubuhannya Merleau-Ponty.  Di post ini, saya hanya ingin sekadar berbagi info tentang sebuah riset yang diterbitkan tahun lalu (2011) oleh 2 peneliti dari bidang Computer and Information Technology dari Norwegian University of Science and Technology dan IT University of Copenhagen.  Penelitian ini menarik, karena mencontohkan secara konkrit bagaimana filsafat tubuh Merleau-Ponty mengarahkan praktek design.

Kedua peneliti menemukan bahwa saat dihadapkan oleh teknologi berbasis sensor seperti Nintendo Wii, Playstation Move dan Xbox Kinetict, tradisi kognitif yang sering diteruskan oleh penelitian di bidang Human-Computer Interaction (Interaksi antara Manusia-Komputer) menjumpai kekurang-kekurangan mendasar terutama berhubung dengan dimensi tubuh si pengguna. Ini karena, dengan hanya menekankan representasi mental si pengguna – rentang perhatian, daya ingat, dst – tradisi ini mereduksi tubuh manusia menjadi tak lebih dari sekadar objek. Melalui workshop tentang participatory design (design yang partisipatif), para peneliti menemukan bahwa formulasi Merleau-Ponty akan tubuh sebagai sumber persepsi, kognisi dan komunikasi sangat berguna dalam menguji apakah teknologi yang sudah digunakan oleh Nintendo Wii dapat diimprovisasi untuk membuat latihan-latihan rehabilitasi tubuh.

Partisipan pada workshop ini adalah 5 orang fisioterapis yang, dalam waktu 3 jam, diajak bermain video game Wii yang terkait dengan olah raga dan latihan tubuh. Ditengah sesi, mereka diminta mencari ide untuk game Wii yang secara khusus dapat digunakan untuk rehabilitasi tubuh. Ide tentang pasien cerebral palsy (lumpuh otak) muncul, terutama tentang bagaimana latihan-latihan tubuh yang mereka lakukan terfokus pada gerakan tangan dan dilakukan dalam posisi duduk.

Melalui simulasi gerakan rotasi dengan tangan, partisipan kemudian mengembangkan ide untuk game Wii berdasarkannya. Salah satunya adalah game dimana si pengguna harus menuntun sebuah bola kecil untuk jatuh melewati semacam labirin sirkular yang cukup ruwet. Ini menunjukkan bahwa melalui keakraban tubuh yang mereka bentuk lewat membiasakan diri mereka dengan teknologi Wii, mereka dapat mengkhayalkan game untuk orang yang mempunyai cacat fisik. Dalam kasus ini, terlihat bahwa ide tentang design untuk game computer adalah buah dari interaksi bertubuh seseorang dengan suatu jenis teknologi yang spesifik, dan bahwa korporealitas adalah bagian penting dari proses design. 

Designer produk-produk teknologi yang berbasis interaksi seluruh tubuh seperti Nintendo Wii maka harus mempertimbangkan bagaimana memori, kreatifitas dan kemampuan komunikasi seluruhnya berwadah di tubuh manusia, dan bukan hanya hasil dari proses kognitif. Dengan demikian, akan semakin besar kemungkinan produk design teknologi untuk menjalin hubungan empati dengan penggunanya. 

Sudut pandang yang sama tentang fenomenologi dan design tentunya bisa diteruskan ke problema bagaimana design dapat memberikan solusi terhadap persoalan kerusakan lingkungan hidup. Seperti yang saya coba paparkan di post sebelumnya, salah satu hal tentang hubungan antar manusia dan alam yang tidak bisa lagi kita abaikan bisa dijelaskan dengan apa yang Merleau-Ponty sebut dengan ‘retakan’, dimana kesatuan ekologis antara kita dan semua makhluk yang ada, tidak dapat menciutkan jarak dan perbedaan antaranya. Di ‘retakan’ ini, batas antara keselarasan dan perselisahan menjadi misterius, tak terduga, liar. Keliaran inilah yang harus diteliti lebih jauh apabila kita ingin menghasilkan design yang mampu menanggapi masalah tentang degradasi lingkungan yang makin lama makin mencekam. 

Thursday, 15 March 2012

Into the Wild


Thomas Struth. Paradise 9 (Xi Shuang Banna), Yunnan Province, China. 1999. C-print.

Di call for papers yang mereka sebar, Arte-Polis mencantumkan frasa ‘the making of place’. Menurut saya, ‘the making of place’ bukan hanya permasalahan design tapi suatu issue yang harus dikaji secara filosofis. Salah besar kalau kita menganggap bahwa sebuah ‘tempat’ cukup dibangun dan dirancang melalui teknik dan metode quantitatif yang mengatur dan mengelola struktur dan pola spasial. Tadinya ini adalah temuan ‘Revolusi Quantitatif’ di ilmu geografi tahun 50 – 60an, dan problema terbesar yang mereka hadapi adalah ketidak acuhannya terhadap dimensi humanis dari sebuah tempat itu sendiri. 

Menanggapi kekurangan ini, lahirlah human geography, dimana geografi mulai membuka dirinya terhadap disiplin-disiplin lain terutama dari humaniora, termasuk filsafat. Demikian juga dengan bidang arsitektur. Di lain sisi, kalau kita gali sejarah filsafat Barat, ternyata berbagai paradigma spesifik tentang ‘tempat’ sudah ada sejak awalnya. Riset yang dilakukan Ed Casey (lagi lagi Casey...) mengusut jejak pemikiran tentang tempat sampai ke periode Yunani Kuno. Hal ini memang susah, karena liuk liku sejarah ini bukan cuma kompleks tapi juga sangat terselubung. Ini menunjukkan bahwa ketertarikan filsafat terhadap persoalan tentang ‘tempat’ – yang di ilmu sains moderen lebih banyak dibedah menurut keilmuan geografi dan arsitektur –  memang sudah sangat lama dan mendalam. Alasan paling sederhananya adalah, tidak ada hal yang kita lakukan yang tidak berlangsung didalam suatu tempat. Melihat bahwa yang ‘ada’ – apapun itu – pasti ‘ada’ di suatu ‘tempat’, maka tempat harus menjadi bukan sekadar bingkai tapi landasan penyelidikan filosofis tentang bermacam gejala yang berhubungan dengan ‘keberadaan manusia’. Inilah ontologi yang berbasis tempat, place-based ontology.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa gejala tentang tempat yang paling menonjol saat ini terkait dengan kerusakan alam. Lingkungan buatan manusia (built environment) pun tidak bisa lepas dari gejala ini. Di seluruh belahan dunia, kita bisa merasakan dampak dari krisis ekologi: bumi yang makin panas, fenomena lubang di ozone yang melebar kian pesat, limbah pabrik, musnahnya ekosistem dan punahnya marga satwa terkait dengan ini semua... Maka dari itu, sudah sepantasnya filsafat tentang tempat menjadikan isu ini fokus paling utamanya. Saat hubungan antara manusia dan lingkungan sekitarnya mulai dimengerti sebagai sebuah ‘tanggung jawab’, kita sudah masuk ke wilayah etika, environmental ethics. Dan panggilan etika (the ethical call) ini tetap ada, meskipun kita tidak merasa harus memberi reaksi terhadapnya.

Thomas Struth. Paradise 27, Peru. 2009. C-print.


Kita sudah sering dengar berbagai upaya untuk ‘menyelamatkan alam’ tapi kapan terakhir kita menanyakan, apa sih yang kita maksud dengan ‘alam’? Menanyakan hal ini berarti mempermasalahkan environmentalism itu sendiri, sebuah terminologi yang bisa dimengerti sebagai jaringan usaha sosio-politik yang terus berkembang dalam menanggapi ‘environmental problems’. Dan kita bisa sanggah dengan bilang, pertanyaan ini penting ngga sih? Bukankah disini yang paling penting adalah tindakan yang cepat karena masalahnya sudah begitu mendesak? Rasanya dalam area ini, kita jauh lebih perlu praksis ketimbang teori. Nah, justru karena inilah, pertanyaan tadi harus kita rumuskan dan kita jawab, karena tindakan ‘penyelamatan alam’ sering menyelubungi asumsi-asumsi berbahaya. Kalau kita salah langkah, maka ‘alam’ bisa menjadi sekadar mitos belaka. Sebelum kita berusaha memperbaiki lingkungan alam, maka pengertian kita akan alam itu harus dibongkar dulu: tahap ini saya sebut dengan ‘de-mistifikasi alam’.

Di posting sebelumnya saya sudah menyebutkan beberapa asumsi umum tentang alam, yang menunjukkan bahwa, dalam satu sisi, ‘alam’ itu buatan manusia. Banyak yang bilang alam itu harus segera diselamatkan, karena nasib generasi selanjutnya bergantung padanya. Disini alam harus dipulihkan untuk keberlangsungan hidup manusia, dan kita menggalakkan berbagai usaha untuk ‘mengelola sumber daya alam’ (resource management) dan membuat inovasi-inovasi teknologi yang berhubungan. Ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya degradasi lingkungan adalah hasil dari gaya hidup konsumtif, dan mengusulkan agar kita berbalik ke gaya hidup yang lebih sederhana dan mengembalikan suatu keharmonisan antara kita dan alam. Contoh lain, ada para kapitalis yang punya segala usaha untuk ambil untung dari ‘alam’: lihat saja berbagai strategi marketing (untuk memasarkan hotel, makanan, minuman, pakaian dst yang serba ‘hijau’) yang disusun untuk merasuki psikis konsumeris seseorang. Ini semua hanya ngasih lihat bahwa ‘alam’ itu kultural: buatan manusia, karena kita mengkonstruksi ‘alam’ sesuai dengan apapun yang kita mau.

Dengan men-de-mistifikasi alam, saya tidak ada niatan berargumentasi bahwa apa yang kita pegang sebagai ‘alam’ itu sebuah pemahaman fiktif yang tidak ada sangkut-pautnya dengan realita. Melainkan, menurut saya kalau kita ingin menggambarkan sebuah lukisan filosofis tentang alam yang lebih menyeluruh, maka kita mau tak mau harus menyadari bahwa manusia punya serentetan cara untuk membangun pencitraan tentang alam untuk tujuan-tujuan tertentu yang dianggap penting. Sebagai buatan manusia, maka ‘alam’ versi ini bisa kita sebut sebagai ‘alam- menurut-kita’, sebuah kategori yang terdiri dari variabel-variabel khusus: misalnya, kategori ‘alam itu objek’, yang terdiri dari variabel ‘pengelolaan’, ‘inovasi teknologi’ dst. Apapun kategori itu, dan sebanyak-banyaknya variabel yang kita lempar kedalamnya, pasti akan luput  variabel-variabel lain tentang alam. Karena, alam itu memang ‘liar’, misterius, ambigu, susah dijelaskan, diluar pengertian manusia. Tugas filsafat pada tahap ini, karena kita sedang membicarakan awal terbentuknya etika lingkungan hidup, adalah menghidupkan kembali aspek kemisteriusan dan keliaran alam; tahap ini saya sebut dengan ‘re-mistifikasi alam’.

Thomas Struth. Paradise 13. 1999. C-print.


Salah satu cara untuk me-re-mistifikasi alam saya temukan melalui teori Merleau-Ponty tentang the ‘Flesh’ of the world, ‘Daging’ dari dunia. (Catatan samping: bukankah analogi ini begitu sesuai dengan korpus filsafatnya tentang ‘pentubuhan’?) Merleau-Ponty meneruskan pemikiran Husserl bahwa semua yang ada berbagi sebuah lifeworld (apa boleh ini diterjemahkan sebagai ‘dunia kehidupan’?) dengan menekankan bahwa dunia ini hanya dihidupi oleh semua mahkluk melalui keunikan tubuh masing-masing: karena keunikan tubuh inilah keberadaan saya di tempat ini berbeda jauh dengan teman disebelah saya, pohon diluar jendela, ikan di dalam kolam, dst. Meskipun jauh berbeda, tapi semua tetap terajut dan teranyam rapat pada ‘daging’ dunia ini. Kita berbagi sebuah lifeworld, tapi tetap ada jarak antara satu sama lain yang tidak bisa direduksi.

Merleau-Ponty mengilustrasikan ihwal ini dengan contoh terkenal tentang dua tangan yang sedang memegang satu sama lain. Tangan yang memegang dan tangan yang dipegang bersatu dalam fenomenon ‘berpegangan tangan’ tapi tetap berbeda dari satu sama lain. Tangan yang memegang tidak berasal dari yang dipegang dan begitu juga sebaliknya, tapi fenomenon ini berasal dari sebuah, tulis Merleau-Ponty, “intertwining” – keterjalinan antara berbagai lapisan sensasi yang ‘terperangkap’ dalam jaringan fenomenon ini. Diantaranya, tetap saja, ada celah (yang sering Merleau-Ponty sebut dengan chiasm atau fissure) yang memisahkan tangan yang memegang dan dipegang. Celah ini membuat adanya jarak antara mereka, yang tak mungkin dijembatani: meskipun jadi kesatuan dalam situasi ‘berpegangan’, aktifitas memegang dan dipegang tidak bisa begitu saja disama ratakan.

Thomas Struth. Paradise 17. 1999. C-print.

Gagasan ini relevan untuk usaha me-re-mistifikasi alam. Meskipun semua mahkluk terikat dalam suatu keseluruhan ekologis, ‘keseluruhan’ ini tetap merupakan sesuatu yang ada ‘diluar sana’, sesuatu yang asing dan aneh: kita memang berada didalam alam, tapi juga di luarnya, dan jarak inilah yang tidak boleh abaikan melainkan harus tetap dijaga.  Meskipun ada kesatuan tertentu antara kita dan alam – karena kita selalu bertempat didalamnya – tapi hubungan ini juga ditandai oleh suatu jarak atau celah yang tidak bisa diciutkan. Celah inilah yang tidak hiraukan dalam penekanan tentang keselarasan antara kita dan alam (karakteristik dari perspektif deep ecology).  Apabila kita ingin memenuhi tanggung jawab kita untuk memulihkan kerusakan lingkungan hidup, maka ide tentang 'jarak' antara manusia dan alam ini harus segera dipertimbangkan lebih lanjut, seiring dengan pertimbangan kita tentang 'keselarasan' dan 'kesatuan'. Apabila kita ingin menggunakan istilah ‘liar’ pada paradigma tentang alam, kita harusnya berusaha lebih baik daripada sekadar menempelkannya pada ‘alam’ untuk meromantisir kegaibannya, a la perupa dan pemikir periode Romantik di abad 18 - 19an. Karena, ini hanya satu bentuk keliaran. Bentuk lain ‘keliaran’ ini adalah hubungan antara manusia dan alam itu sendiri. Hubungan ini adalah ‘the wild’, dimana manusia terjalin dan berjarak sekaligus didalam dan terhadap alam. Kalau kita akan menanggapi panggilan etika tentang lingkungan hidup secara memadai, maka sebagai langkah pertama kita harus menjelajah daerah yang sering dilupakan ini. 

Thursday, 8 March 2012

Beberapa Abstrak...


... yang saya tulis untuk jurnal dan conference. Surprisingly, kali ini mereka relatif mudah untuk ditulis.  Setelah bereksperimentasi dengan beberapa format, akhirnya ini yang saya paling suka. Thanks, Njas, for the reliable editorial eye :)

The ‘Face’ of the Environment:
Catatan Awal mengenai Etika Lingkungan Hidup

Pemulihan lingkungan hidup dari berbagai kerusakan buatan manusia adalah sebuah permasalahan yang harus diurai secara filosofis, seperti yang telah disarankan oleh berbagai kajian filsafat kontemporer (Evernden, 1993; Foltz, 1995; Toadvine & Brown, 2003; Toadvine, 2009; Morton, 2009). Walau argumentasi yang diajukan oleh studi-studi ini beragam, satu hal yang disepakati adalah manusia mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki lingkungan hidup mereka, dan tugas filsafat adalah menganalisa bagaimana tanggung jawab ini dapat dipenuhi.

Menanggapi hal ini, paper ini memberikan analisa deskriptif tentang persepsi seseorang akan degradasi alam, dengan menggunakan metode filsafat fenomenologi. Khususnya, basis teoritis yang digunakan adalah gagasan M. Merleau-Ponty tentang persepsi dan intersubjektifitas (2002), E. Levinas tentang peran ‘wajah’ dalam pembentukan hubungan etika (1985), dan E. Casey tentang glance atau kilasan mata (2007).

Permasalahan utama yang mendasari analisa ini adalah: apa yang kita ‘tangkap’ melalui persepsi saat kita berhadapan dengan berbagai gejala kerusakan lingkungan, mulai dari musnahnya ekosistem, punahnya margasatwa, perubahan cuaca yang kian drastis, dan seterusnya? Hipotesis awal yang ditawarkan adalah pengertian umum akan ‘persepsi’ harus dibongkar menurut teori pentubuhan (embodiment) apabila kita hendak memenuhi tanggung jawab etis terhadap degradasi lingkungan. Hal ini dianggap penting karena kajian tentang etika lingkungan hidup yang telah ada kerap mengabaikan peran tubuh.

Secara fenomenologis, pengabaian ini merupakan suatu kejanggalan,  mengingat bahwa manusia mencerna lingkungan sekitar melalui tubuhnya. Tubuh adalah wadah pengalaman panca-indrawi dan mental, dan melaluinya kita membentuk persepsi tentang apa yang ada di sekitar kita: contoh, kita tidak perlu lebih dari sekilas mata untuk melihat adanya bahaya dari penggundulan hutan di Sumatra, untuk kemudian menalar penilaian tertentu terhadap situasi yang ada. Ini menunjukkan bahwa fokus pada pentubuhan tidak lagi bisa dikesampingkan dalam upaya kita menjalin hubungan yang kritis dan simpatik dengan lingkungan sekitar, sebuah hubungan yang harus dimaknai sebagai ‘tanggung jawab’.

Kata kunci: etika lingkungan hidup, fenomenologi, persepsi, pentubuhan.

Rethinking Nature:  Preliminary Notes for an Environmental Ethics and its Implication for Design Practices

The ‘making of place’ is not only a design issue but also a philosophical one, as exemplified by the continuously growing range of existing literature (Heidegger, 2008; Bachelard, 1994; Tuan, 1977; Casey, 1997; etc.) Despite their varying arguments, a common idea shared by prevalent theories is that ‘placemaking’ is an interactive act formed out of the complex relations between the human subject(s) and places themselves.

The problem of ‘placemaking’ becomes more urgent when we take into account the impacts of environmental degradation. In this essay, I argue that ethically responsible design will only be possible when a sound understanding of our relationship with nature has been established. I aim to do this by first analyzing two normally held assumptions. One is the objectification of nature that sees it as an ‘object out there’, towards which we project values. Second is the ‘deep ecology’ perspective that argues for a fundamental ‘kinship’ between nature and us that reduces the relation to a formulaic harmony. Both, I argue, only provide a half-painted image of the human-nature relationship.

Here, I will address what both perspectives overlook, which is the fundamental ‘ambiguity’ that characterizes the human-nature relationship. By referring to Levinas and Merleau-Ponty’s phenomenological philosophy, I propose that an understanding of nature that accommodates the notion of ‘ambiguity’ may shed light on how we can come up with alternative solutions for designing ethically.  

Keywords: Design, ecocritique, environmental ethics, placemaking, phenomenology.