![]() |
Thomas Struth. Paradise 9 (Xi Shuang Banna), Yunnan Province, China. 1999. C-print. |
Di call for
papers yang mereka sebar, Arte-Polis mencantumkan frasa ‘the making of place’.
Menurut saya, ‘the making of place’ bukan hanya permasalahan design tapi suatu
issue yang harus dikaji secara filosofis. Salah besar kalau kita menganggap
bahwa sebuah ‘tempat’ cukup dibangun dan dirancang melalui teknik dan metode
quantitatif yang mengatur dan mengelola struktur dan pola spasial. Tadinya ini
adalah temuan ‘Revolusi Quantitatif’ di ilmu geografi tahun 50 – 60an, dan
problema terbesar yang mereka hadapi adalah ketidak acuhannya terhadap dimensi
humanis dari sebuah tempat itu sendiri.
Menanggapi kekurangan ini, lahirlah human geography, dimana geografi mulai
membuka dirinya terhadap disiplin-disiplin lain terutama dari humaniora, termasuk
filsafat. Demikian juga dengan bidang arsitektur. Di lain sisi, kalau kita gali
sejarah filsafat Barat, ternyata berbagai paradigma spesifik tentang ‘tempat’
sudah ada sejak awalnya. Riset yang dilakukan Ed Casey (lagi lagi Casey...)
mengusut jejak pemikiran tentang tempat sampai ke periode Yunani Kuno. Hal ini
memang susah, karena liuk liku sejarah ini bukan cuma kompleks tapi juga
sangat terselubung. Ini menunjukkan bahwa ketertarikan filsafat terhadap
persoalan tentang ‘tempat’ – yang di ilmu sains moderen lebih banyak dibedah
menurut keilmuan geografi dan arsitektur –
memang sudah sangat lama dan mendalam. Alasan paling sederhananya
adalah, tidak ada hal yang kita lakukan yang tidak berlangsung didalam suatu
tempat. Melihat bahwa yang ‘ada’ – apapun itu – pasti ‘ada’ di suatu ‘tempat’,
maka tempat harus menjadi bukan sekadar bingkai tapi landasan penyelidikan filosofis tentang bermacam gejala yang
berhubungan dengan ‘keberadaan manusia’. Inilah ontologi yang berbasis tempat, place-based ontology.
Kita tidak bisa
memungkiri bahwa gejala tentang tempat yang paling menonjol saat ini terkait
dengan kerusakan alam. Lingkungan buatan manusia (built environment) pun tidak bisa lepas dari gejala ini. Di seluruh belahan dunia, kita bisa merasakan dampak dari krisis ekologi: bumi
yang makin panas, fenomena lubang di ozone yang melebar kian pesat, limbah
pabrik, musnahnya ekosistem dan punahnya marga satwa terkait dengan ini
semua... Maka dari itu, sudah sepantasnya filsafat tentang tempat menjadikan
isu ini fokus paling utamanya. Saat hubungan antara manusia dan lingkungan
sekitarnya mulai dimengerti sebagai sebuah ‘tanggung jawab’, kita sudah masuk
ke wilayah etika, environmental ethics. Dan
panggilan etika (the ethical call)
ini tetap ada, meskipun kita tidak merasa harus memberi reaksi terhadapnya.
Kita sudah sering dengar berbagai upaya untuk ‘menyelamatkan alam’ tapi kapan terakhir kita menanyakan, apa sih yang kita maksud dengan ‘alam’? Menanyakan hal ini berarti mempermasalahkan environmentalism itu sendiri, sebuah terminologi yang bisa dimengerti sebagai jaringan usaha sosio-politik yang terus berkembang dalam menanggapi ‘environmental problems’. Dan kita bisa sanggah dengan bilang, pertanyaan ini penting ngga sih? Bukankah disini yang paling penting adalah tindakan yang cepat karena masalahnya sudah begitu mendesak? Rasanya dalam area ini, kita jauh lebih perlu praksis ketimbang teori. Nah, justru karena inilah, pertanyaan tadi harus kita rumuskan dan kita jawab, karena tindakan ‘penyelamatan alam’ sering menyelubungi asumsi-asumsi berbahaya. Kalau kita salah langkah, maka ‘alam’ bisa menjadi sekadar mitos belaka. Sebelum kita berusaha memperbaiki lingkungan alam, maka pengertian kita akan alam itu harus dibongkar dulu: tahap ini saya sebut dengan ‘de-mistifikasi alam’.
Di posting
sebelumnya saya sudah menyebutkan beberapa asumsi umum tentang alam, yang
menunjukkan bahwa, dalam satu sisi, ‘alam’ itu buatan manusia. Banyak yang bilang alam itu harus
segera diselamatkan, karena nasib generasi selanjutnya bergantung padanya.
Disini alam harus dipulihkan untuk keberlangsungan hidup manusia, dan kita
menggalakkan berbagai usaha untuk ‘mengelola sumber daya alam’ (resource management) dan membuat
inovasi-inovasi teknologi yang berhubungan. Ada juga yang berpendapat bahwa
sebenarnya degradasi lingkungan adalah hasil dari gaya hidup konsumtif, dan mengusulkan
agar kita berbalik ke gaya hidup yang lebih sederhana dan mengembalikan suatu
keharmonisan antara kita dan alam. Contoh lain, ada para kapitalis yang punya segala
usaha untuk ambil untung dari ‘alam’: lihat saja berbagai strategi marketing (untuk
memasarkan hotel, makanan, minuman, pakaian dst yang serba ‘hijau’) yang
disusun untuk merasuki psikis konsumeris seseorang. Ini semua hanya ngasih
lihat bahwa ‘alam’ itu kultural: buatan manusia, karena kita mengkonstruksi
‘alam’ sesuai dengan apapun yang kita mau.
Dengan
men-de-mistifikasi alam, saya tidak ada niatan berargumentasi bahwa apa yang
kita pegang sebagai ‘alam’ itu sebuah pemahaman fiktif yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan realita. Melainkan, menurut saya kalau kita ingin
menggambarkan sebuah lukisan filosofis tentang alam yang lebih menyeluruh, maka
kita mau tak mau harus menyadari bahwa manusia punya serentetan cara untuk
membangun pencitraan tentang alam untuk tujuan-tujuan tertentu yang dianggap
penting. Sebagai buatan manusia, maka ‘alam’ versi ini bisa kita sebut sebagai ‘alam-
menurut-kita’, sebuah kategori yang terdiri dari variabel-variabel khusus:
misalnya, kategori ‘alam itu objek’, yang terdiri dari variabel ‘pengelolaan’,
‘inovasi teknologi’ dst. Apapun kategori itu, dan sebanyak-banyaknya variabel yang
kita lempar kedalamnya, pasti akan luput
variabel-variabel lain tentang alam. Karena, alam itu memang ‘liar’, misterius, ambigu, susah dijelaskan, diluar pengertian manusia. Tugas filsafat
pada tahap ini, karena kita sedang membicarakan awal terbentuknya etika lingkungan hidup, adalah menghidupkan
kembali aspek kemisteriusan dan keliaran alam; tahap ini saya sebut dengan
‘re-mistifikasi alam’.
Salah satu cara untuk me-re-mistifikasi alam saya temukan melalui teori Merleau-Ponty tentang the ‘Flesh’ of the world, ‘Daging’ dari dunia. (Catatan samping: bukankah analogi ini begitu sesuai dengan korpus filsafatnya tentang ‘pentubuhan’?) Merleau-Ponty meneruskan pemikiran Husserl bahwa semua yang ada berbagi sebuah lifeworld (apa boleh ini diterjemahkan sebagai ‘dunia kehidupan’?) dengan menekankan bahwa dunia ini hanya dihidupi oleh semua mahkluk melalui keunikan tubuh masing-masing: karena keunikan tubuh inilah keberadaan saya di tempat ini berbeda jauh dengan teman disebelah saya, pohon diluar jendela, ikan di dalam kolam, dst. Meskipun jauh berbeda, tapi semua tetap terajut dan teranyam rapat pada ‘daging’ dunia ini. Kita berbagi sebuah lifeworld, tapi tetap ada jarak antara satu sama lain yang tidak bisa direduksi.
Merleau-Ponty
mengilustrasikan ihwal ini dengan contoh terkenal tentang dua tangan yang
sedang memegang satu sama lain. Tangan yang memegang
dan tangan yang dipegang bersatu
dalam fenomenon ‘berpegangan tangan’ tapi tetap berbeda dari satu sama lain. Tangan
yang memegang tidak berasal dari yang
dipegang dan begitu juga sebaliknya,
tapi fenomenon ini berasal dari sebuah, tulis Merleau-Ponty, “intertwining” –
keterjalinan antara berbagai lapisan sensasi yang ‘terperangkap’ dalam jaringan
fenomenon ini. Diantaranya, tetap saja, ada celah (yang sering Merleau-Ponty
sebut dengan chiasm atau fissure) yang memisahkan tangan yang memegang dan dipegang. Celah ini membuat adanya jarak antara mereka, yang tak mungkin
dijembatani: meskipun jadi kesatuan dalam situasi ‘berpegangan’, aktifitas
memegang dan dipegang tidak bisa begitu saja disama ratakan.
Gagasan ini
relevan untuk usaha me-re-mistifikasi alam. Meskipun semua mahkluk terikat
dalam suatu keseluruhan ekologis, ‘keseluruhan’ ini tetap merupakan sesuatu
yang ada ‘diluar sana’, sesuatu yang asing dan aneh: kita memang berada didalam
alam, tapi juga di luarnya, dan jarak
inilah yang tidak boleh abaikan melainkan harus tetap dijaga. Meskipun ada kesatuan tertentu antara kita
dan alam – karena kita selalu bertempat didalamnya – tapi hubungan ini juga
ditandai oleh suatu jarak atau celah yang tidak bisa diciutkan. Celah inilah
yang tidak hiraukan dalam penekanan tentang keselarasan antara kita dan alam (karakteristik dari perspektif deep ecology). Apabila kita ingin memenuhi tanggung jawab kita untuk memulihkan kerusakan
lingkungan hidup, maka ide tentang 'jarak' antara manusia dan alam ini harus segera dipertimbangkan lebih lanjut, seiring dengan pertimbangan kita tentang 'keselarasan' dan 'kesatuan'. Apabila kita ingin menggunakan istilah ‘liar’ pada paradigma
tentang alam, kita harusnya berusaha lebih baik daripada sekadar menempelkannya pada ‘alam’
untuk meromantisir kegaibannya, a la perupa dan pemikir periode Romantik
di abad 18 - 19an. Karena, ini hanya satu bentuk keliaran. Bentuk lain ‘keliaran’
ini adalah hubungan antara manusia dan alam itu sendiri. Hubungan ini adalah ‘the
wild’, dimana manusia terjalin dan berjarak sekaligus didalam dan terhadap
alam. Kalau kita akan menanggapi panggilan etika tentang lingkungan hidup
secara memadai, maka sebagai langkah pertama kita harus menjelajah daerah yang
sering dilupakan ini.
No comments:
Post a Comment