Thursday, 8 March 2012

Beberapa Abstrak...


... yang saya tulis untuk jurnal dan conference. Surprisingly, kali ini mereka relatif mudah untuk ditulis.  Setelah bereksperimentasi dengan beberapa format, akhirnya ini yang saya paling suka. Thanks, Njas, for the reliable editorial eye :)

The ‘Face’ of the Environment:
Catatan Awal mengenai Etika Lingkungan Hidup

Pemulihan lingkungan hidup dari berbagai kerusakan buatan manusia adalah sebuah permasalahan yang harus diurai secara filosofis, seperti yang telah disarankan oleh berbagai kajian filsafat kontemporer (Evernden, 1993; Foltz, 1995; Toadvine & Brown, 2003; Toadvine, 2009; Morton, 2009). Walau argumentasi yang diajukan oleh studi-studi ini beragam, satu hal yang disepakati adalah manusia mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki lingkungan hidup mereka, dan tugas filsafat adalah menganalisa bagaimana tanggung jawab ini dapat dipenuhi.

Menanggapi hal ini, paper ini memberikan analisa deskriptif tentang persepsi seseorang akan degradasi alam, dengan menggunakan metode filsafat fenomenologi. Khususnya, basis teoritis yang digunakan adalah gagasan M. Merleau-Ponty tentang persepsi dan intersubjektifitas (2002), E. Levinas tentang peran ‘wajah’ dalam pembentukan hubungan etika (1985), dan E. Casey tentang glance atau kilasan mata (2007).

Permasalahan utama yang mendasari analisa ini adalah: apa yang kita ‘tangkap’ melalui persepsi saat kita berhadapan dengan berbagai gejala kerusakan lingkungan, mulai dari musnahnya ekosistem, punahnya margasatwa, perubahan cuaca yang kian drastis, dan seterusnya? Hipotesis awal yang ditawarkan adalah pengertian umum akan ‘persepsi’ harus dibongkar menurut teori pentubuhan (embodiment) apabila kita hendak memenuhi tanggung jawab etis terhadap degradasi lingkungan. Hal ini dianggap penting karena kajian tentang etika lingkungan hidup yang telah ada kerap mengabaikan peran tubuh.

Secara fenomenologis, pengabaian ini merupakan suatu kejanggalan,  mengingat bahwa manusia mencerna lingkungan sekitar melalui tubuhnya. Tubuh adalah wadah pengalaman panca-indrawi dan mental, dan melaluinya kita membentuk persepsi tentang apa yang ada di sekitar kita: contoh, kita tidak perlu lebih dari sekilas mata untuk melihat adanya bahaya dari penggundulan hutan di Sumatra, untuk kemudian menalar penilaian tertentu terhadap situasi yang ada. Ini menunjukkan bahwa fokus pada pentubuhan tidak lagi bisa dikesampingkan dalam upaya kita menjalin hubungan yang kritis dan simpatik dengan lingkungan sekitar, sebuah hubungan yang harus dimaknai sebagai ‘tanggung jawab’.

Kata kunci: etika lingkungan hidup, fenomenologi, persepsi, pentubuhan.

Rethinking Nature:  Preliminary Notes for an Environmental Ethics and its Implication for Design Practices

The ‘making of place’ is not only a design issue but also a philosophical one, as exemplified by the continuously growing range of existing literature (Heidegger, 2008; Bachelard, 1994; Tuan, 1977; Casey, 1997; etc.) Despite their varying arguments, a common idea shared by prevalent theories is that ‘placemaking’ is an interactive act formed out of the complex relations between the human subject(s) and places themselves.

The problem of ‘placemaking’ becomes more urgent when we take into account the impacts of environmental degradation. In this essay, I argue that ethically responsible design will only be possible when a sound understanding of our relationship with nature has been established. I aim to do this by first analyzing two normally held assumptions. One is the objectification of nature that sees it as an ‘object out there’, towards which we project values. Second is the ‘deep ecology’ perspective that argues for a fundamental ‘kinship’ between nature and us that reduces the relation to a formulaic harmony. Both, I argue, only provide a half-painted image of the human-nature relationship.

Here, I will address what both perspectives overlook, which is the fundamental ‘ambiguity’ that characterizes the human-nature relationship. By referring to Levinas and Merleau-Ponty’s phenomenological philosophy, I propose that an understanding of nature that accommodates the notion of ‘ambiguity’ may shed light on how we can come up with alternative solutions for designing ethically.  

Keywords: Design, ecocritique, environmental ethics, placemaking, phenomenology.

No comments:

Post a Comment