... yang saya tulis untuk jurnal dan conference. Surprisingly, kali ini mereka relatif mudah untuk ditulis. Setelah bereksperimentasi dengan beberapa
format, akhirnya ini yang saya paling suka. Thanks, Njas, for the reliable editorial eye :)
The ‘Face’ of the Environment:
Catatan Awal mengenai Etika Lingkungan Hidup
Pemulihan lingkungan
hidup dari berbagai kerusakan buatan manusia adalah sebuah permasalahan yang
harus diurai secara filosofis, seperti yang telah disarankan oleh berbagai
kajian filsafat kontemporer (Evernden, 1993; Foltz, 1995; Toadvine & Brown,
2003; Toadvine, 2009; Morton, 2009). Walau argumentasi yang diajukan oleh
studi-studi ini beragam, satu hal yang disepakati adalah manusia mempunyai
tanggung jawab untuk memperbaiki lingkungan hidup mereka, dan tugas filsafat
adalah menganalisa bagaimana tanggung jawab ini dapat dipenuhi.
Menanggapi hal ini,
paper ini memberikan analisa deskriptif tentang persepsi seseorang akan degradasi
alam, dengan menggunakan metode filsafat fenomenologi. Khususnya, basis
teoritis yang digunakan adalah gagasan M. Merleau-Ponty tentang persepsi dan
intersubjektifitas (2002), E. Levinas tentang peran ‘wajah’ dalam pembentukan
hubungan etika (1985), dan E. Casey tentang glance
atau kilasan mata (2007).
Permasalahan utama
yang mendasari analisa ini adalah: apa yang kita ‘tangkap’ melalui persepsi saat kita berhadapan dengan
berbagai gejala kerusakan lingkungan, mulai dari musnahnya ekosistem, punahnya
margasatwa, perubahan cuaca yang kian drastis, dan seterusnya? Hipotesis awal
yang ditawarkan adalah pengertian umum akan ‘persepsi’ harus dibongkar menurut
teori pentubuhan (embodiment) apabila
kita hendak memenuhi tanggung jawab etis terhadap degradasi lingkungan. Hal ini
dianggap penting karena kajian tentang etika lingkungan hidup yang telah ada
kerap mengabaikan peran tubuh.
Secara fenomenologis, pengabaian
ini merupakan suatu kejanggalan, mengingat
bahwa manusia mencerna lingkungan sekitar melalui tubuhnya. Tubuh adalah wadah
pengalaman panca-indrawi dan mental, dan melaluinya kita membentuk persepsi
tentang apa yang ada di sekitar kita: contoh, kita tidak perlu lebih dari sekilas mata untuk melihat adanya bahaya dari penggundulan hutan di Sumatra, untuk
kemudian menalar penilaian tertentu
terhadap situasi yang ada. Ini menunjukkan bahwa fokus pada pentubuhan tidak
lagi bisa dikesampingkan dalam upaya kita menjalin hubungan yang kritis dan
simpatik dengan lingkungan sekitar, sebuah hubungan yang harus dimaknai sebagai
‘tanggung jawab’.
Kata kunci: etika lingkungan hidup, fenomenologi, persepsi, pentubuhan.
Rethinking Nature: Preliminary Notes for an Environmental Ethics
and its Implication for Design Practices
The ‘making of place’ is not only a design issue but also a
philosophical one, as exemplified by the continuously growing range of existing
literature (Heidegger, 2008; Bachelard, 1994; Tuan, 1977; Casey, 1997; etc.) Despite their varying arguments, a common idea shared by prevalent theories
is that ‘placemaking’ is an interactive act formed out of the complex relations
between the human subject(s) and places themselves.
The problem of ‘placemaking’ becomes
more urgent when we take into account the impacts of environmental degradation.
In this essay, I argue that ethically responsible design will only be possible
when a sound understanding of our relationship with nature has been established.
I aim to do this by first analyzing two normally held assumptions. One is the
objectification of nature that sees it as an ‘object out there’, towards which
we project values. Second is the ‘deep ecology’ perspective that argues for a
fundamental ‘kinship’ between nature and us that reduces the relation to a
formulaic harmony. Both, I argue, only provide a half-painted image of the
human-nature relationship.
Here, I will address what both perspectives overlook, which is the
fundamental ‘ambiguity’ that characterizes the human-nature relationship. By
referring to Levinas and Merleau-Ponty’s phenomenological philosophy, I propose
that an understanding of nature that accommodates the notion of ‘ambiguity’ may
shed light on how we can come up with alternative solutions for designing
ethically.
Keywords: Design, ecocritique,
environmental ethics, placemaking, phenomenology.
No comments:
Post a Comment