Beberapa bulan yang
lalu, Fakultas Filsafat UNPAR berbaik hati mengundang saya menjadi pembicara di
extension course ‘Filsafat dan Kebudayaan’. Ini makalah yang saya tulis untuk
kuliah tersebut.
RUNTUHNYA HUMANISME
1.
Sebagian besar teori
filsafat yang dikemukakan di abad 20 adalah respons terhadap runtuhnya rumusan
periode Renaisans tentang humanisme dan, dengan demikian, kebudayaan.[i] Terutama di belahan kedua abad ini, berbagai
filsuf beranggapan bahwa ‘humanisme’ dan ‘budaya’ telah menjadi kategori yang
tercela secara etika dan politik, mengingat bermacam-macam tragedi bersejarah
yang terjadi dalam kurun waktu ini. Dihadapi dengan realita kekejaman dan
kekerasan dua Perang Dunia dan Perang Dingin misalnya, apakah manusia masih
dapat disebut sebagai mahkluk yang ‘berbudaya’, dimana ‘budaya’ dimengerti
sebagai kesadaran untuk memberdayakan budi pekerti? Atau, bagaimana mungkin
kita tetap mendefinisikan ‘budaya’ sebagai dorongan ke arah kebajikan moral,
setelah terjadinya peristiwa-peristiwa yang memperlihatkan tak bermoralnya
manusia? Jika arti ‘budaya’ merujuk pada budi – atau akhlak – yang baik,
bukankah manusia setelah peristiwa-peristiwa ini tampil sebagai mahluk yang
justru tidak berbudaya dan bahkan, tidak manusiawi? Setelah artian humanisme
ini runtuh, pertanyaan besar yang kita hadapi sekarang adalah, apakah
‘kemanusiaan’ jika tindakan manusia menunjukkan tabiat yang menentang
esensi-esensi kemanusiaan yang telah dikukuhkannya? Ini adalah
pertanyaan-pertanyaan yang mendasari filsafat Giorgio Agamben (1942), seorang
filsuf kontemporer dari Italia. Gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh Giorgio
Agamben menyingkap bahwa ‘humanisme’ dan ‘budaya’ terlilit akan kekeliruan yang
pelik, dan maka dari itu, kategori-kategori ini harus segera dibongkar supaya tragedi
masa lampau tidak terulang lagi dan bahaya di masa depan dapat dicegah.
2.
Meskipun
kategori-kategori seperti ‘humanisme’ dan ‘budaya’ sudah ternodai oleh bencana
buatan manusia pada skala besar, filsuf-filsuf seperti Agamben tetap
beranggapan bahwa kita tidak bisa dengan semudah itu menelantarkan mereka.
Sebaliknya, kajian filsafat sekarang mempunyai tugas untuk merumuskan sebuah
humanisme baru, dengan memberikan diagnosa atas sebab dan jangkauan malapetaka
kemanusiaan yang telah terjadi. Untuk melakukan itu, Agamben membedah
kebudayaan moderen melalui apa yang kita pahami sebagai ‘kehidupan politik’.
Dalam bukunya Remnants of Auschwitz,
Agamben menuturkan bahwa “manusia adalah manusia sejauh mereka menjadi saksi
atas ketidak manusiaan.”[ii]
Apa yang dimaksud Agamben dengan mengatakan bahwa setelah runtuhnya
kemanusiaan, sebuah kemanusiaan baru dapat dirintis dimulai dengan ‘menyaksikan
ketidakmanusiaan’?
MENGUPAS POLITISASI KEHIDUPAN: Kedaulatan, Hidup yang Polos, dan Keadaan
Pengecualian
3.
Di awal buku Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Agamben berupaya
menelusuri asal mula biopolitik atau politisasi kehidupan. Dia membuka kajian
ini dengan tafsiran tentang ajaran filsafat Yunani Kuno, dimana dia tidak
menemukan satu istilah yang menjelaskan apa yang sekarang kita sebut dengan
‘hidup’. Melainkan, filsafat Yunani Kuno menggunakan dua terminologi yang
berbeda untuk hal ini: zoē, untuk
mengartikulasikan hidup alamiah semua makhluk termasuk manusia, binatang dan
dewa, dan bios, yaitu bentuk kehidupan
yang dimiliki manusia secara perorangan atau dalam kelompok. [iii] Melalui tata hukum dan
kehidupan bernegara, zoē diolah –
dibudidayakan – menjadi bios. Seperti
yang Aristoteles gagaskan di karya berjudul Politics,
manusia adalah mahkluk yang “born with
regard to life, but existing essentially with regard to the good life”,
dimana “the good life” hanya bisa
dicapai melalui praktek politik dan hidup bernegara. Menurut Agamben, ini
merupakan ihwal penting karena menunjukkan bahwa sejak awal sejarahnya, filsafat
Barat tidak mempunyai pengertian tentang hidup manusia di luar jaringan
politik, dimana didalamnya terdapat jalinan temali yang rumit mengenai tata
hukum, hak, dan kewajiban seorang warganegara. Filsafat Yunani Kuno tidak
membedakan antara ‘hidup’ dan ‘hidup bernegara’ dan Agamben ingin memperjelas
titik temu antara dua jenis kehidupan ini, suatu titik dimana hidup menjadi
terpolitisasi.
4.
Melalui temuan ini, Agamben dapat
mempermasalahkan argumentasi Michel Foucault tentang asal mula biopolitik.
Kontra Foucault – yang mengatakan bahwa hidup menjadi terpolitisasi didalam
sebuah bentuk pemerintahan yang ‘mengelola’ masyarakatnya melalui implementasi
berbagai teknik pendisiplinan (gereja, penjara, rumah sakit, dan sebagainya) –
Agamben berpendapat bahwa politisasi hidup telah terjadi jauh sebelum adanya
bentuk pemerintahan seperti ini.[iv] Biopolitik, menurut
Agamben, telah ada sejak adanya kuasa kedaulatan masyarakat (sovereign community) yang
termanifestasi dalam tata hukum. Seperti yang dapat dilihat dari filsafat
politik Aristoteles, kedaulatan hidup bernegara menetapkan bahwa suatu
‘kehidupan’ adalah ‘hidup manusia’ jika hidup tersebut merupakan bagian dari
sistem negara yang ada. Ini adalah tradisi pengertian politik yang diteruskan
hingga sekarang, dimana arti hidup manusia diabaikan begitu artian-artian
politik ditanggalkan darinya. Sebagai contoh kasus dimana bahaya ini
terwujudkan secara konkrit, Agamben memberikan contoh kamp kematian Nazi dan
negara totalitarian pada abad 20, yang dianggapnya sebagai “the exemplary places of modern biopolitics”.[v] Namun, seperti yang akan
dijelaskan dibawah ini, pemikiran ini juga dapat diterapkan untuk memaknai
berbagai peristiwa yang lebih dekat dengan kita, misalnya Kerusuhan Mei ’98.
Diawal tulisan ini, kita akan membahas bagaimana politisasi kehidupan menjadi
intisari filsafat Agamben, dan mendasari kritiknya akan konsep kemanusiaan
kontemporer.
5.
Ide tentang kehidupan
manusia diluar politik dijabarkan oleh Agamben dengan mengangkat tema homo sacer atau ‘manusia sakral’,
seorang tokoh dari hukum Romawi. Menurut kekaisaran Romawi, seseorang yang
berbuat kejahatan tertentu dapat disingkirkan oleh masyarakat dan seluruh
haknya sebagai warganegara dicabut. Karena tidak mempunyai hak, ia boleh
dibunuh oleh siapa saja tanpa dikenakan sangsi hukum, dan meskipun terbilang
‘sakral’ ia tidak boleh digunakan sebagai kurban dalam upaca ritual. Ini
kontradiktif karena sesuatu yang dianggap sakral seharusnya mempunyai nilai
pengorbanan. Namun tidak demikian dengan sang homo sacer, karena tanpa hak hidupnya dianggap sudah tak layak lagi
dihidupi. Pada tokoh homo sacer,
tulis Agamben, “hidup manusia disertakan kedalam tata hukum hanya dalam sebuah
bentuk pengecualian (yaitu, dalam kapasitasnya untuk dibunuh).”[vi]
Dengan kata lain, hidup seorang manusia terletak didalam jaringan kehidupan
politik, hanya dalam bentuk pengecualiannya dari tata hukum: “Hidup yang polos (bare life) tetap disertakan kedalam
politik dalam bentuk pengecualian, yaitu, sebagai sesuatu yang disertakan hanya
melalui pengecualiannya.”[vii]
6.
Status politik dan
fungsi dari keadaan pengecualian ini untuk sebuah masyarakat – apa yang Agamben
sebut dengan states of exception – ada
di pusat pemikirannya tentang biopolitik. Memutuskan suatu keadaan sebagai
keadaan darurat, bagi Agamben, adalah bentuk kuasa politik yang paling mendasar
yang dimiliki oleh kedaulatan. Untuk melihat relevansi gagasan ini, kita hanya
harus mengingat kredo ‘war on terror’
yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat setelah tragedi 9/11, yang
digunakan untuk mengambil dukungan rakyat atas Kebijakan Asing mereka. Ini
mencontohkan bahwa bentuk pemerintah kedaulatan dapat menentukan suatu keadaan
darurat dan dalam prosesnya, menurut filsafat politik Agamben, menyingkapkan suatu ambiguitas yang ada
secara implisit dalam hubungan antara hidup dan hukum.
‘States of exception’ atau ‘keadaan
pengecualian’ adalah konsep yang Agamben ambil dari definisi Carl Schmitt
(1888-1985) tentang kedaulatan, yang dimengerti sebagai bentuk kekuasaan yang
dapat memutuskan apakah suatu keadaan memang merupakan pengecualian dari tata
hukum yang telah ada.[viii]
Seperti yang ditulis Schmitt, “(The)
sovereign is he who decides on the state of exception”.[ix]
Contohnya, pada hukum Romawi Kuno, kedaulatan dapat memutuskan bahwa ada
bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang bisa dituduhkan kepada seorang warganya,
yang tidak bisa dikategorikan menurut tata hukum yang berlaku. Schmitt menjelaskan bahwa karena
‘keadaan pengecualian’ seperti ini tidak bisa dikodifikasi menurut tata hukum
yang telah diterapkan, maka keputusan yang akan dibuat tentang keadaan ini
tidak lagi bisa bertumpu pada norma atau peraturan tersebut. Kedaulatan
mempunyai kuasa untuk mengambil keputusan ini, karena kuasa untuk menentukan
apakah tatanan sosial sebuah masyrakat sudah dikacaukan – dan terkait dengan
ini, apakah ada hukum yang bisa diterapkan padanya – hanya bisa dibuat oleh
kuasa yang pada awalnya telah menentukan bagaimana masyarakat tersebut
tertata.
7.
Dalam keadaan
pengecualian ini, si tertuduh menjadi berada di luar jangkauan hukum, dan maka
dari itu, hak-hak yang dimiliki seorang warga negara juga tidak lagi
dimilikinya. Mengikuti Jean-Luc Nancy, Agamben menjelaskan hubungan antara
hidup dan hukum disini dengan konsep abandonment,
yang bisa kita mengerti sebagai ‘ditinggalkan’.[x]
‘Terkecualikannya’ keadaan si tertuduh menunjukkan bahwa dia tidak hanya berada
di luar hukum tapi ‘ditinggalkan’ – abandoned
– dari tata hukum yang memosisikan dirinya disana. Karena hukum tersebut
tidak lagi bisa diterapkan padanya begitu dia berada dalam keadaan
pengecualian, maka hukum tidak lagi memiliki bobot apapun. Ini berbeda dengan
situasi dimana tidak ada hukum sama sekali (lawless),
karena disini hukum bukannya tidak ada tapi dikosongkan oleh makna karena
‘tertahan’ (suspended) dari
penerapannya. Ini adalah paradoks fundamental keadaan politik: hukum mempunyai
kuasa untuk membuat tudingan, hanya untuk kemudian meninggalkan si tertuduh.
Menurut Agamben ini memperlihatkan adanya ‘zona anomi’ ditengah tata hukum,
yang tersingkap pada situasi dimana hukum mempunyai kekuasaan untuk mengambil
keputusan akan hidup seseorang – melalui tuduhan – dan kemudian
meninggalkannya.
8.
Pada situasi ini,
hidup seseorang tereduksi menjadi bare
life, hidup yang polos, yang telah dilucuti oleh hak dan wewenang. Dalam
essay yang berjudul “Critique of Violence”, Walter Benjamin mengingatkan bahwa
artian kekerasan yang hanya mengikuti bingkaian hukum – dimana suatu tindakan
hanya dianggap sebagai kekerasan apabila melanggar hukum – adalah sebuah
‘mitos’ yang harus segera dibongkar. Hal ini terdengar benar apabila kita
mengingat gagasan Agamben tentang adanya keadaan pengecualian dalam kehidupan
politik dimana hukum itu tidak lagi berlaku. Menurut Benjamin, mitos ini hanya
bisa dibongkar dengan mengusut asal mula dogma tentang kesakralan hidup:
singkatnya, kapankah hidup itu menjadi sakral? Menjawab Benjamin, Agamben
menjelaskan bahwa seperti dalam figur homo sacer, hidup menjadi sakral dalam
keadaan pengecualian karena disini dia terekspos pada ancaman kekerasan dan
kematian, tanpa memilik nilai atau arti ‘korban’: “Hidup yang tidak bisa
dikorbankan namun bisa dibunuh adalah hidup yang sakral.”[xi]
Eksposur terhadap kekerasan (tanpa makna pengorbanan) mendefinisikan posisi
‘hidup yang polos’ sebagai berada di dalam dan di luar tata hukum sekaligus.
Analisa Agamben memperlihatkan betapa bahayanya konsep tentang hak yang telah
ada, dimana hak asasi serta-merta ditempelkan kepada konsep warganegara. Karena
menurut konsep ini, hanya warganegara sajalah yang memiliki hak. Begitu orang
tersebut dianggap tidak lagi menjadi warganegara, maka bukan saja haknya
sebagai warga negera yang tercabut, namun juga hak asasinya.
9.
Ini dijelaskan melalui
paradoks yang Hannah Arendt temukan pada konsep negara kebangsaan dan hak
manusia.[xii]
Arendt menyimpulan bahwa konsep ini runtuh saat berhadapan dengan figur
pengungsi, yang bukan warga negara manapun:
“Konsep tentang hak
manusia yang berlandaskan asumsi tentang keberadaan seorang manusia an sich, runtuh pada saat mereka yang
berlagak percaya padanya untuk pertama kalinya dihadapkan oleh orang-orang yang
telah benar-benar kehilangan segala sifat dan hubungan khusus lainnya – kecuali
bahwa mereka tetap manusia.”[xiii]
Maksud Arendt disini
adalah si pengungsi menggambarkan contoh konkrit dimana hak ‘sakral’nya sebagai
seorang manusia lenyap begitu dia kehilangan statusnya sebagai warga negara
(yang tadinya merupakan satu ‘sifat atau hubungan khusus’ yang dia miliki). Apa
yang disebut hak-hak sakral atau hak-hak asasi manusia lenyap saat mereka tidak
lagi berbentuk hak warga negara. Berarti, kepemilikan hak disini bukan berbasis
‘hidup manusia’ tapi ‘tanah kelahiran’, atau apa yang bisa disebut sebagai
prinsip kepribumian. Dengan demikian, si pengungsi menyingkap suatu ‘krisis
radikal’ pada ideologi yang menyamakan hak manusia dengan hak warga negara. Dia
menampakkan suatu keterbatasan pada konsep ini, yang menunjukkan bahwa etika
yang dijunjung tidak mencakup makna etika yang sebenarnya. Karena, seperti yang
Agamben simpulkan, “tidak ada etika yang
dapat menyatakan bahwa ia mengecualikan sebagian dari kemanusiaan, sekalipun
kemanusiaan itu tidak enak atau sukar untuk dilihat.”[xiv]
10.
Ambil contoh,
misalnya, Kerusuhan Mei ’98, dimana terjadi kekerasan masal yang berpusat di
beberapa kota besar di Indonesia dan mencapai puncak dengan jatuhnya
pemerintahan Orde Baru. Kerusuhan yang disulut permasalahan ekonomi mempertajam
diskriminasi pada etnis Tionghoa yang mempunyai konotasi kultural-ekonomis
sebagai golongan yang lebih berada secara finansial. Para provokator
mengarahkan huru-hara ke tempat-tempat usaha milik etnis ini untuk
diporak-poranda dan dijarah. Hanya segelintir kasus penganiayaan dilaporkan dan
mereka justru menunjuk pada ditutup-tutupinya kasus lain, termasuk terbakarnya
Glodok Plaza. Peristiwa yang tidak diragukan akan menghantui para korban ini
memberikan contoh pedih tentang bagaimana hidup seseorang yang dianggap bukan
warga negara, tidak dianggap layak untuk dihidupi. Kekejaman hebat dapat
dilakukan padanya tanpa sangsi hukum karena dia telah ‘ditinggalkan’ oleh tata
hukum yang ada.
Seperti yang
dirumuskan Arendt, di sistem negara kebangsaan seperti Indonesia, apa yang
disebut dengan hak ‘sakral’ atau asasi hilang saat mereka tidak lagi berbentuk hak
warganegara. Jadi jika seseorang tidak dianggap sebagai ‘warganegara’ maka dia
tidak mempunyai hak asasi, dimana, seperti pada kasus ini, konsep warga negara
berbasis pada mitos ‘asli pribumi’. Dalam kasus ini, terlihat bahwa seseorang
yang mempunyai latar belakang Cina, meskipun terlahir dan mempunyai temurun di
Indonesia, tetap dianggap pengungsi atau pendatang. Interpretasi Agamben yang
mengatakan bagaimana, dalam teori Arendt, pengungsi menampakan keterbatasan
konsep negara/hak dapat dengan jelas diterapkan untuk memahami tragedi ini.
Etnis Tionghoa menyingkap keterbatasan pada konsep politik yang secara otomatis
menyertakan ‘hidup yang polos’ kedalam suatu bentuk kehidupan politik tertentu,
yaitu hidup di negara kebangsaan. Karena dalam kehidupan politik negara
kebangsaan, ‘hidup’ hanya dihargai selama ‘hidup’ itu adalah hidup seorang
‘warganegara’ yang secara keliru dimaknai sebagai ‘pribumi’. Kehidupan seseorang di negara itu sebagai bukan
warganegara direduksi menjadi bare life, dan tanpa hak asasinya maka
dia terekspos pada kekerasan yang dapat dilakukan padanya tanpa terkena sangsi
hukum.
11.
Arti ‘kemanusiaan’
secara universal runtuh di hadapan mereka yang dikecualikan oleh kehidupan
politik kedaulatan, atau yang berada diluar hukum: seperti kaum Yahudi di masa
PD II, etnis Tionghoa pada Tragedi ’98, atau para pengungsi dan imigran ilegal
di abad 21. Kehidupan mereka ‘polos’, tanpa hak-hak yang tadinya dimaknai
sebagai milik manusia secara universal. Keadaan dimana seseorang ‘hanya hidup’
inilah yang disebut oleh Agamben dengan bare
life. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksud Agamben dengan bare life tidak sama dengan hidup
natural atau alamiah seperti zoē pada
filsafat Yunani Kuno. Melainkan, bare
life adalah sebuah bentuk hidup yang senantiasa terekspos pada kekerasan
tanpa memiliki bobot pengorbanan. Reduksi hidup manusia menjadi ‘bare life’
dikondisikan oleh ‘keadaaan pengecualian’, dimana kedaulatan negara memutuskan
adanya situasi darurat yang menuntut ‘politisasi instan’ atas nama keamanaan
bangsa. Ketatnya prosedur cek keamanan di
AS setelah 9/11, misalnya, adalah satu contoh dimana paradigma keamanan telah
mencapai titik ekstrim. Keadaan ini
mengilustrasikan bahwa atas nama ‘situasi darurat’ sebuah negara dapat
menggalakkan metode-metode yang bersifat invasif, yang melanggar
batasan-batasan privasi, identitas, dan kebebasan yang seharusnya menjadi hak
semua orang, terutama di sebuah dunia yang telah berani mencetuskan Deklarasi
Universal tentang Hak Azazi (Universal Declaration of Human Rights, UN,
1948). Dalam paradigma seperti ini,
‘keamanan dari terorisme’ menjadi kriteria untuk legitimasi politik, yang
membentuk suatu sistem mematikan dimana resistensi dan kekuasaan saling
memperkuat.
12.
Setelah kita
mempertimbangkan gagasan Agamben tentang politisasi kehidupan, permasalahan
terpenting yang dihadapi politik kontemporer menjadi jelas: bagaimana kita
memperbaiki kegagalan politik yang paling utama, yaitu ‘kebisuan’ tata hukum
dihadapan ‘hidup yang polos’? Agamben menggagas bahwa jalan keluar dari
politisasi kehidupan hanya bisa dibuka dengan membongkar kategori-kategori
pembedaan antara ‘hidup yang polos’ (bare
life) dan ‘hidup politik’ (political
life), agar tata hukum tidak lagi dikonstruksi berdasarkan pengecualian
suatu bentuk hidup. Konsep bare life
tidak hanya menunjukkan bahwa pembedaan ini akan selalu ditandai oleh
pertumpahan darah, tapi juga memberikan tugas khusus pada kita untuk mulai
membayangkan dan kemudian merealisasikan sebuah bentuk politik yang baru.
Seperti yang Agamben ingatkan di awal bukunya, “Bagaimanapun, sebelum sebuah
bentuk politik yang sama sekali baru – yaitu, bentuk politik yang tidak lagi
didirikan diatas pengecualian bare life
– di tangan kita, semua teori dan praxis akan tetap terpenjara dan terbelenggu...”[xv]
MENGHENTIKAN ‘MESIN ANTROPOLOGI'
13.
Filsafat politik
Agamben mengemukakan bahwa di dalam keadaan terkecuali, kuasa kedaulatan dapat
mereduksi hidup seseorang menjadi ‘hidup yang polos’, dimana batasan antara
yang manusiawi dan tidak manusiawi menjadi kabur. Kategori ‘pemilikan hak’ yang
membedakan antara yang manusia dan yang bukan manusia ternyata semu, begitu
mudah lebur ketika situasi-situasi yang memungkinkan peleburannya hadir.
Seperti yang kita lihat dari pengetatan keamanan negara di AS pasca-9/11,
situasi-situasi yang dianggap darurat dan sementara, yang berubah menjadi
keadaan permanen melalui legitimasi politik, pada akhirnya menyebabkan paranoia
kecurigaan dan penggunaan kekerasan untuk memulihkan ketertiban publik. Situasi
seperti ini mengizinkan kuasa tata hukum AS, misalnya, untuk ‘menelanjangi’
anggota Taliban yang tertangkap dari hak-haknya. Menurut Agamben, keputusan USA
Patriotic Act yang dikeluarkan Senat AS pada tanggal 26 Oktober 2001 dengan sah
menghasilkan “keberadaan yang tidak bisa dinamakan atau diklasifikasi secara
legal.”[xvi]
Sebagai bare life, anggota Taliban
ini hidup di perbatasan antara manusia dan bukan manusia. Di buku The
Open: Man and Animal, Agamben menjelaskan bagaimana logika pembedaan ini
beroperasi bukan saja pada kehidupan politik, tapi lebih luas lagi, juga pada
pengertian ontologis akan keberadaan manusia itu sendiri.
14.
Di awal tulisan ini,
ada kutipan dari Agamben tentang “kesaksian atas ketidak manusiaan.” Agamben
berargumentasi bahwa memberi kesaksian atas ketidakmanusiaan dapat dilakukan
lewat mencekal logika pemisahan atau pembedaan yang menggerakkan humanisme
Renaisans. Strategi yang Agamben gunakan
dalam merevisi kategori kemanusiaan terangkum dengan jelas dalam pertanyaan,
“Apakah manusia, jika ia selalu menjadi tempat – dan, pada saat bersamaan,
hasil – dari pembelahan dan pembagian yang tak henti?”, pembelahan, yaitu,
antara manusia dan ‘yang bukan manusia’ seperti, misalnya, binatang.[xvii]
Di buku ini, lewat sebuah diskusi yang begitu kaya akan acuan sejarah,
filsafat, dan sains, Agamben memberikan contoh-contoh tentang bagaimana manusia
terus menerus melakukan ‘pembelahan’ dan membentuk identitas mereka
berdasarkannya. Misalnya asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang berbahasa. Di
bagian yang berjudul “Anthropological Machine”, Agamben memberikan contoh dari
teori evolusi Darwin yang diterapkan oleh Ernst Haeckel di tahun 1899, yang
mempunyai hipotesa bahwa manusia berkembang dari apa yang disebut Pithecanthropus alalus, atau ‘manusia
tanpa bahasa’: “... pada periode Pliosen, bangkitlah si manusia-kera tanpa
bahasa (Pithecanthropus alalus), dan
melalui dia, akhirnya, manusia yang berbahasa.”[xviii]
15.
Padahal -
dan disini Agamben dibantu oleh teori Linguistik milik Heymann
Steinhal tentang asal muasal manusia - pembedaan antara manusia dan yang
bukan manusia berdasarkan pemilikan bahasa sebenarnya tidak terlalu jelas. Dari
mana asalnya pembedaan ini? Dari asumsi manusianya sendiri. Jadi batasan ini
hanya ada karena sebelumnya sudah dibentuk oleh manusia. Maka,
gagasan bahwa manusia, menurut teori evolusi, berasal dari perkembangan bahasa
adalah sebuah kontradiksi. Sudah jelas aneh, kalau dikatakan manusia berasal
dari bahasa, sedangkan bahasa sendiri berasal dari manusia. Lebih aneh lagi,
karena sekarang kita mengatakan bahwa bahasa merupakan batasan antara manusia
dan yang bukan manusia. Batasan-batasan ini terbentuk, menurut Agamben,
oleh apa yang disebutnya sebagai the
anthropological machine, sebuah ‘mesin’ buatan manusia untuk memaknai
kemanusiaannya yang beroperasi dengan menerapkan pembedaan-pembedaan.
Pertanyaan yang harus dijawab, menurut Agamben, adalah bagaimana ‘mesin
antropologi’ dapat terus menerus beroperasi dengan motor pembedaan yang
mengkonstruk dan mempertahankan kategori ‘manusia’ dengan membedakanya dari
kategori-kategori yang dianggap berlawanan: binatang, pengungsi, orang dari
etnis lain, agama lain, gender lain, dan seterusnya. Agamben mencetuskan bahwa
mesin ini hanya bisa terus berjalan karena dimotori oleh zona-zona ambigu -
seperti gagasan tentang bahasa tadi, tapi terlebih dari itu juga kemampuan
bernalar, akhlak, kepercayaan religius tentang 'penyelamatan', dan sebagainya.
Kategori-kategori ini bukanlah sifat psiko-fisiologis manusia yang ada secara
alami, tapi hanya asumsi manusia belaka tentang apa yang membedakannya.
16.
Dari sisi ini, telihat bahwa pengertian kita
akan kemanusiaan hanya terbentuk dari kategori-kategori 'kosong'. Konsep ‘the anthropological machine’ atau ‘mesin
antropologi’ yang Agamben ajukan di buku ini
bisa dimengerti sebagai berbagai pertimbangan ilmiah, politik, dan religius
yang membentuk perbedaan secara fundamental antara manusia/ binatang,
manusia/nonmanusia, manusia/ warganegara, kehidupan semata/ kehidupan politik
dan seterusnya. Implikasi negatif dari adanya ‘mesin antropologi’ yang terus
membedakan manusia dengan apa yang bukan manusia berdasarkan kategori-kategori
kosong adalah memungkinkan terjadinya berbagai states of exception. Bahaya dari implikasi ini semakin mendesak
saat yang ‘dikecualikan’ adalah kondisi ‘ketidakmanusiaan’ ditengah-tengah
‘kemanusiaan’, seperti kasusnya, Agamben menjelaskan, dengan kaum Yahudi di
Auschwitz atau Taliban yang disandera di AS.
KE ARAH HUMANISME YANG BARU
17.
Salah satu hal
terpenting dari konsep ‘hidup yang polos’ yang Agamben tawarkan adalah
gagasannya atas bare life sebagai
elemen kemanusiaan yang paling mendasar. Tergantung pada situasi dan kondisi
tertentu, dengan sistem politik yang ada saat ini, semua manusia bisa dilucuti
hak asasinya dan maka dari itu dikonstruk sebagai non-manusia. Filsafat Agamben
membantu kita melihat bahwa berbagai tragedi sejarah berporos pada adanya
kejadian yang diputuskan secara berdaulat sebagai darurat dan terkecuali,
dimana kuasa kedaulatan yang menata masyarakat tersebut dapat mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggapnya terbaik untuk kepentingan bersama. Dalam
sebuah keadaan pengecualian, hidup seseorang tereduksi menjadi bare life, dimana batasan-batasan yang
sebelumnya dengan kokoh membedakan antara yang manusia dan yang bukan, yang
manusiawi dan yang bukan, tidak lagi bisa ditegakkan.
18.
Kritik akan kebudayaan
melalui membongkar bagaimana hidup menjadi terpolitisasi yang ditawarkan
Agamben tidak berdiri sendiri namun terikat pada pusaran sejarah filsafat Barat
yang lebih luas. Contoh, gagasan-gagasan Agamben mempunyai akar sejarah yaitu
tradisi yang ditanamkan oleh Arendt tentang banalitas kekejaman: kekejaman
tidak harus dimulai oleh kebencian tapi juga budaya kesembronoan dalam mematuhi
aturan tanpa kemampuan untuk menafsirkan situasi dan menempatkan diri kita di
posisi orang lain. Kontribusi terbesar Agamben pada wacana filsafat kontemporer
adalah upayanya untuk membangun humanisme yang baru dari puing-puing humanisme
Renaisans. Ada dua hal yang menonjol apabila kita teruskan pemikiran Agamben
terutama mengenai bagaimana hubungan etika dapat dijalin kembali setelah
runtuhnya humanisme yang lama. Pertama, bahwa imajinasi – daya khayal –
mempunyai peran kuat dalam membangun hubungan beretika. Melalui sejarah
filsafat yang dilanjutkan Agamben, kita dapat menyimpulkan bahwa revisi
kebudayaan harus mengakomodir kenyataan bahwa hubungan antar-manusia, yang
mencakup bagaimana kita membayangkan
diri kita jika berada di posisi orang lain, tidak dapat dirumuskan melalui
undang-undang dan kebijakan-kebijakan belaka tapi juga kemampuan untuk menilai
tiap keadaan sesuai dengan apa yang dialaminya. Sebelum adanya hukum, imajinasi
adalah tataran dimana manusia dapat menjadi lebih ‘manusiawi’, sebuah tataran
yang ada di ambang antara politik dan hidup. Agamben mengingatkan bahwa kita
harus segera membongkar keterikatan antara politik dan kehidupan – yang telah
terjalin begitu erat sehingga susah
untuk diuraikan – untuk memperbaiki kegagalan konsep biopolitik kita
saat ini. Untuk memenuhi tugas ini, kita tidak lagi bisa mengesampingkan peran
imajinasi.
19.
Hal kedua terkait dengan pernyataan Agamben tentang “The ‘Shabbat’ of Man
and Animal”:
“Untuk mengubah agar sebuah mesin yang
mengatur pengartian kita akan manusia tidak lagi berlaku, berarti (kita) tidak
lagi (dapat) sekadar mencari artikulasi yang baru – atau lebih efektif atau
lebih otentik -, melainkan menunjukkan sebuah kekosongan mendasar, sebuah
hiatus yang – didalam manusia – membedakan antara manusia dan binatang, dan membuka
diri kita terhadap risiko yang ada dalam kekosongan ini: sebuah penundaan akan
penundaan, Sabat untuk binatang dan manusia keduanya.”[xix]
Rujukan
religius membuat pernyataan sulit ini menjadi semakin misterius, dan meskipun
rujukan ini tidak bisa dengan begitu saja kita sepelekan, kita juga tetap tidak
perlu terpaku padanya. Dalam tradisi Yudaisme, hari Sabat adalah hari
‘istirahat’ dimana semua umat Yahudi berhenti bekerja, sebuah analogi yang
tepat untuk gagasan Agamben bahwa mesin antropologi ini harus dihentikan.
Implikasi gagasan ini pada upaya penghentian logika pembedaan melalui
kategori-kategori kosong dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Pada saat
mesin ini ‘beristirahat’, maka sifat-sifat dasar semua makhluk di dunia akan
tersingkap. Salah satu sifat dasar ini adalah semua makhluk mempunyai tubuh
yang berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan juga tubuh-tubuh lain – dalam
filsafat fenomenologi, ini yang disebut dengan embodiment atau pentubuhan. Saya dapat melihat ruang kelas ini
karena ada lampu yang sedikit menyilaukan, berusaha mengatur kecepatan
berbicara dengan membaca raut muka hadirin yang ada di depan saya, dan dapat
mendengar sayup-sayup suara burung dari gedung di sebelah. Semua makhluk
memiliki kapasitas yang sama untuk berinteraksi melalui tubuh masing-masing,
dan semua berbagi sebuah dunia meskipun gaya mereka menghidupi dunia ini berbeda-beda – bagaimana
saya ada di ruang ini tentunya berbeda dengan orang didepan saya, dan
seterusnya. Gagasan Agamben tentang adanya ‘mesin antropologi’ yang harus
dihentikan untuk mencegah terjadinya pengulangan berbagai tragedi kemanusiaan
di masa depan mengundang pertanyaan tentang apakah kebudayaan itu, jika tidak
lagi bisa dijawab menggunakan konstruk lama yang memberi penekanan pada
variabel-variabel seperti moralitas, akal budi, akhlak, dan seterusnya.
Mengingat bahwa semua yang ada di dunia, ada dengan kekhususannya masing-masing
yang terjalin dalam sebuah bidang kompleks, maka kebudayaan, setelah runtuhnya
humanisme, hanya bisa dimaknai sebagai suatu ruang hidup dimana hubungan antara
semua subjektifitas yang berbeda-beda
terikat dalam suatu proses menjadi:
suatu ruang hidup yang meskipun sarat akan segala perbedaan yang tak dapat
direduksi, namun tetap teranyam erat pada ‘tubuh’ ruang hidup
[i] Renaisans
adalah periode budaya Barat yang mempunyai kurun waktu kurang lebih dari abad
14 – 17. Terminologi Renaisans sendiri berasal dari rumpun kata rinascere (‘to be reborn’ atau
‘terlahir-kembali): di periode ini, terjadi ‘kelahiran kembali’ paham-paham
periode Klasik. Renaisans banyak menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang terus
dipakai hingga masa kontemporer seperti ilmu perspektif, dan juga
ideologi-ideologi tentang pendidikan. Pendidikan Humanisme Renaisans mempunyai
ciri khas penekanan pada pembentukan warganegara yang baik lewat retorika, tata
bahasa, moralitas, dan lainnya. Ini kemudian menjadi sangat berpengaruh pada
periode Pencerahan.
[ii] “...
human beings are human insofar as they bear witness to the inhuman.”Giorgio Agamben, Remnants of
Auschwitz: The Witness and the Archive (New York: Zone, 2002) Setelah ini, RA.
[iii] Agamben, Homo Sacer: Sovereign Power
and Bare Life (Stanford: Stanford University Press, 1998), 1. Setelah ini, HS.
[iv] Lihat Michel Foucault, The History
of Sexuality, Volume 1: An Introduction (London: Penguin, 1981).
[v] HS, 4.
[vi] “… human life is included in the juridical order (ordinamento) solely in the form of its exclusion (that is, of its
capacity to be killed)…” Ibid, 8. Terjemahan dari saya.
[vii] “Bare life remains
included in politics in the form of exception, that is, as something that is
included solely through an exclusion.” Ibid, 11. Terjemahan dan garisbawah dari
saya.
[viii] Ibid, 11.
[ix] Ibid.
[x] Ibid, 28.
[xi] Ibid, 82.
[xii] Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New
York: Harcourt Brace Jovanovich, 1979)/
[xiii] “The conception of
human rights, based upon the assumed existence of a human being as such, broke
down at the very moment when those who professed to believe in it were for the
very first time confronted with people of had indeed lost all other qualities
and specific relationships – except that they were still human.” Arendt dikutip
di HS, 126. Terjemahan dari saya.
[xiv] “… no ethics can claim to exlude a part of humanity, no matter how unpleasant
or difficult that humanity to see.” RA, 64. Terjemahan dari
saya.
[xv] “Nevertheless, until a
completely new politics – that is, a politics no longer founded on the exceptio of bare life – is at hand,
every theory and every praxis will remain imprisoned and immobile…” HS, 11.
[xvi] “… a legally unnamable
and unclassified being.” The State of Exception (Chicago and London:
University of Chicago Press, 2005), 3.
Setelah ini SE.
[xvii] “What is man, if he is always the place – and at the same time, the result
– of ceaseless divisions and caesurae?” Giorgio Agamben, The Open: Man and Animal, Stanford: Stanford University Press,
2004, p. 16. Setelah ini, TO.
[xviii] “… during the Pliocene
period, arises the ape-man without speech (the Pithecanthropus alalus), and from him, finally, speaking man.”
Haeckel dikutip di, TO, 34. Terjemahan dari saya.
[xix] TO, 92.