Bisakah seseorang
disalahkan, jika mengangap bahwa praktek seni rupa kontemporer cenderung salah
kaprah tentang ‘konsep’? Kita sering menyaksikan bahwa keinginan untuk bersikap
kritis terhadap berkarya kerap mendorong seorang seniman untuk memberi penekanan
pada ‘konsep’. Di satu sisi, ini (setidaknya) menunjukkan bahwa kita sudah
‘melek’ terhadap tradisi Conceptual Art. Tapi sayangnya ‘kemelekan’ ini hanya
diadopsi secara tanggung. Sebagai akibat, ‘konsep’ sering dianggap sebagai
penjelasan belaka atas sebuah karya. Padahal, konsep seharusnya dimengerti
sebagai suatu situs pergulatan akan berbagai gagasan dan ideologi yang
kompleks, yang menuntut penggalian lebih dalam. Ditengah kesalah-pahaman ini,
karya, dalam bentuk fisiknya, menjadi kalah penting dari apa yang disebut
sebagai ‘pesan’, ‘isi’, ‘cerita’, atau muatan-muatan abstrak lainnya. Terkait
dengan ini, konotasi negatif kemudian melekat pada ‘gaya’ (style), yang divonis sebagai embel-embel dekoratif yang sifatnya
dangkal.
Tentu saja, bobot teoritis sebuah karya
harus tetap dipertimbangkan; jika tidak, yang akan dihasilkan hanyalah
permukaan dan pencitraan yang semu. Namun, salah besar jika kita hanya menilai
sebuah karya berdasarkan ‘pesan’ (atau sebagainya) yang diasumsikan dimuat oleh
karya tersebut. Bukankah pengertian modern mengenai nalar, rasio, dan kemampuan
kognitif sebagai sumber makna yang paling utama sudah runtuh? Dan sudah
sepantasnya runtuh, karena melupakan bahwa manusia memang bukan makhluk
transenden, bukan hanya jiwa, tapi sepenuhnya bertubuh. Penceraian antara akal
dan tubuh ini disebut oleh neurolog Antonio Damasio sebagai “Error Descartes”,
dan ternyata dampak kekeliruan tersebut mempengaruhi pemahaman kita akan seni.
Pengalaman yang dirasakan ketika
seseorang berhadapan dengan sebuah karya – melalui tubuhnya – adalah hubungan/
relasi paling mendasar antara orang dan karya tersebut, dan hanya melalui
hubungan inilah ‘pesan’ atau ‘kritik’ sosio-kultural dicerna. Disini, tubuh
adalah sebuah peristiwa (body-as-event): bukan
hanya sebatas alat yang menerima berbagai stimulus di dunia secara pasif, tapi suatu
proses yang secara aktif menguyah dan menelan ‘gaya’ karya tersebut. Ini yang
dikatakan Merleau-Ponty ketika ia membahas karya Cézanne; untuk
Merleau-Ponty, apa yang berharga atau berarti dari karya-karya Cézanne tidak
terletak pada pemikiran di balik karya itu, tapi pada sapuan kuas, warna,
komposisi, elemen-elemen konkritnya (“Cézanne’s Doubt”, hal. 77).
No comments:
Post a Comment