Monday, 1 April 2013

"Proposal untuk Sebuah Etalase Permanen di Ark Galerie dalam Dua Edisi: Superlight" oleh Ardi Gunawan



Dari teks kuratorial untuk pameran "Proposal untuk Sebuah Etalase Permanen di Ark Galerie dalam Dua Edisi: Superlight" oleh Ardi Gunawan di Ark Galerie, sampai dengan 28 April 2013 (maaf atas foto-foto yang dibawah standar, karena hanya saya ambil dengan telpon):



Beberapa Catatan tentang Repetisi dan Penggandaan

Pameran ini memperlihatkan perulangan terbaru dari seri Superlight Ardi Gunawan, yang terakhir dikembangkan dalam sebuah program residensi di antara tahun 2008 dan 2009. Sejak awal, memamerkan kembali sebuah karya lama tak dapat menghindar dari beberapa persoalan besar. Terlepas dari keinginan untuk menjaga agar A Proposal for A Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions: Superlight tetap menantang kendati pengulangan, ada persoalan lain yang lebih mendesak mengenai bentuk karya yang akan dipamerkan: seri Superlight adalah sebuah intervensi performatif atas suatu tempat khusus. Karena sifatnya yang temporer dan bergantung pada situs yang spesifik, pertanyaan yang harus kami jawab adalah bagaimana mengulang sesuatu yang tidak bisa diulang?

Selain itu, meskipun kita menemukan cara untuk melakukannya – seperti kita lihat disini, strategi Ardi adalah membuat penggandaan – kita tentunya tetap harus tetap menghadapi pertanyaan ‘mengapa’: mengapa mengulang sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya? Seperti yang dikatakan Heraklitus, “Kita tidak bisa menginjak sungai yang sama dua kali.” Artinya, karena dunia terus bergerak dan berubah, kita tidak akan bisa mengulang apapun, sebab apa yang sudah terjadi tidak akan bisa terjadi lagi untuk kedua kalinya. Maka, upaya untuk mengulang sesuatu – termasuk sebuah karya – terancam sia-sia.

Namun usaha ini hanya akan menjadi percuma jika yang dicari lewat pengulangan adalah kehadiran kembali hal yang sama. Paradoks ini runtuh pada saat aksi pengulangan menghasilkan apa yang sebelumnya dianggap terhalangi olehnya: perbedaan. Disini, repetisi tidak bisa disamakan dengan representasi: mengulang tidak lagi berarti mengutarakan kembali hal yang sama, tapi mengutarakan hal yang sama sekali berbeda.[i] Lewat mengulang metode kerjanya dan menggandakan karya yang ada disini, “A Proposal for a Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions: Superlight” – disingkat disini menjadi Superlight: Editions of Two – adalah sebuah artikulasi yang tak terduga atas praktek dan karya Ardi dalam seri yang telah dibangun selama beberapa tahun terakhir.

Sedikit mengenai Superlight

Superlight adalah karya yang terdiri dari himpunan sampah dan benda temuan yang diambil dari tempat di sekitar atau dimana karya tersebut akan dipamerkan. Di dalam ruang pamer, kumpulan benda-benda itu ia tumpuk-tumpuk bertumpang tindih, hingga masing-masing mencapai titik keseimbangan dan menjadi padat. Terlepas dari pengertian atau makna yang sering kita kaitkan dengan suatu benda, benda itu – pada dasarnya – adalah sebuah situs yang terdiri dari relasi material yang kompleks antara zat dan wujud: terlibat dalam daya tarik-menarik antara energi dan tenaga, sebuah benda memiliki kapasitas untuk tumbang, melebur, memanas, mengurai, membeku, dan sebagainya. Ketika benda-benda tersebut berdiri tanpa perekat apapun, tapi hanya dengan mengganjal dan menyangga satu sama lain, struktur yang dihasilkan menjadi sangat rentan akan risiko alam yang paling mendasar, yaitu gravitasi.

Dalam bentuk skulptural ini, kesan ringan – lightness – tidak semata dihasilkan hanya dengan menggunakan material yang memiliki beban seminimal mungkin.[ii] Justru sebaliknya, kesan ringan muncul ketika himpunan barang berat ini berada di ambang kolaps.

Menumpuk, menimbun, menyokong, mengapit, menopang, menghimpun: Superlight adalah sebuah struktur yang terbangun dari rangkaian aktifitas fisik ini. Sebelum kita menyamakannya dengan tindakan gestural para seniman Abstrak Ekspresionisme, perlu ditekankan bahwa tidak ada keinginan untuk menuangkan lapisan emosi disini. Rangkaian aksi tadi dilakukan hanya untuk mencapai tujuan tertentu seperti: menahan sebongkah kayu dengan potongan besi agar dapat menopang pecahan dari sebuah boneka yang sudah termutilasi. Meski beranjak dari sifat-sifat kebendaan, keputusan Ardi untuk menetapkan parameter khusus atas situs dari mana benda-benda itu boleh diambil (menjadikan karya ini site-specific) juga menjauhkan prakteknya dari tradisi Formalisme dan preferensinya terhadap elemen-elemen komposisi ketimbang konteks sosio-kultural.



Ketika Ardi mulai membuat karya awalnya dari seri Superlight di tahun 2007, ia memiliki anggapan bahwa karya ini tidak bisa diulang. Dengan tidak mengulang, ia dapat mengkritik kecenderungan seni rupa untuk mengobjektifikasi – atau, mungkin, membendakan – sebuah karya, dimana nilai terpenting tentang karya diletakkan pada objek atau benda akhir yang dibuat oleh seniman. Ini bermasalah, karena memperbesar kemungkinan karya tersebut menjadi komoditas belaka. Meski tetap berbasis objek, sifat Superlight yang tidak permanen dan terus berubah meghindari tendensi “objek-sentrisme” tadi.

Resistensi terhadap pengulangan suatu karya dapat didudukkan dalam tradisi seni Happening tahun 1960an di AS: sebuah karya dianggap sebagai sebuah peristiwa unik yang hanya bisa berlangsung sekali waktu saja, dan maka dari itu tidak bisa dibawa pergi dari tempat dimana karya itu terjadi. Sebagai sebuah “peristiwa”, karya itu dianggap lebih dari sekadar bentuk akhir yang dihasilkan tapi mencakup seluruh tataran proses yang membentuknya. Karena aspek prosesual ini, waktu menjadi faktor penting; dan karena waktu tidak bisa diulang, maka karya itupun tidak bisa digandakan.

Selain faktor waktu yang tak bisa diulang, ada juga faktor fisik barang-barang ini sebagai situs relasi material yang aktif dan berdenyut. Apa yang bisa kita lihat di Superlight: Editions of Two hanya sepotong momen istirahat dalam kehidupan molekul dan atom kumpulan barang ini. Lemari itu tadinya pohon yang berakar, yang kemudian digergaji, dipaku dan diglasir. Lemari itu terus berubah; retakan mulai muncul di permukaannya, dan setelah pameran ini  ia akan diruntuhkan seluruhnya, dibuang sebagai sampah untuk kembali ke alam. Himpunan barang yang ada disini, seperti lemari itu,  terus menerus berubah dan bermutasi – dan karenanya tidak mungkin diulang. 

Repetisi dan Perbedaan

Pengulangan hanya mustahil dan sia-sia jika yang dicari adalah kehadiran kembali hal yang sama. Karya dalam pameran ini memutar balik asumsi tadi, dengan menunjukkan bahwa pengulangan dapat mengembangkan perbedaan yang tidak dapat dihasilkan tanpa aksi repetisi ini – disini, repetisi bukan lagi menjadi pilihan, tapi sebuah keharusan.

Salah satu perbedaan ini terlihat ketika kita membahas soal dokumentasi yang dipermasalahkan oleh Ardi didalam wawancara yang kami muat di katalog ini. Ia mengungkapkan bahwa ada persoalan besar antara dokumentasi dan peristiwa seni, dimana dokumentasi tidak akan mampu untuk sepenuhnya merekam seluruh aspek dari sebuah peristiwa. Akan selalu ada “surplus” dari suatu peristiwa yang akan lolos dari suatu citra diam maupun bergerak tentangnya. Bagi Ardi, menghasilkan sebuah replika yang nyaris sama persis atas karyanya – mulai dari proses hingga wujud konkrit – adalah sebuah strategi untuk mendokumentasikan karya ini. Ide ini tentunya tidak bisa diuji coba tanpa mengulang kembali karya Superlight. Ini adalah perbedaan yang muncul melalui penggandaan karya yang sama dalam pameran ini, yang tidak akan terlihat apabila hanya ada satu karya saja.

Penggandaan karya secara identik juga memberikan sebuah respon yang berbeda atas ketegangan antara seni dan pasar, yang Ardi pernah tanggapi dalam pameran Superlight sebelumnya. Superlight versi awal tidak boleh direproduksi sebagai cara si seniman untuk melawan arus komodifikasi, sedangkan Superlight dalam dua edisi disini menghadirkan sebuah parodi akan situasi pasar seni rupa tersebut: dua versi patung ini mengkritisi mitos ketunggalan karya yang orisinal yang umumnya diutamakan oleh praktek komodifikasi karya.  Memang, Ardi tidak mengulang wujud karya Superlight di dua pameran yang berbeda ini, tapi ia tetap mengulang metode bekerjanya. Dan ternyata, pengulangan metode kerja dapat mengutarakan pendapat yang berbeda.

Alasan penggandaan ini menjadi semakin kuat ketika kita menimbang fungsi dan desain Ark Galerie – tempat pameran ini berlangsung –  sebagai ruang komersil bergaya modernis (catatan: model galeri “white cube”), yang umumnya mengutamakan otentisitas sebuah karya yang dianggap begitu sakral sehingga tidak boleh digandakan. Ketika ruang tersebut digandakan, lengkap dengan karya yang terletak didalamnya, maka terbangun sebuah kritik berbentuk parodi terhadap Ark Galerie sebagai sebuah ruang galeri komersil. Ini adalah pendekatan spasial yang berbeda dengan pameran Superlight sebelumnya, yang pernah dilakukan di sebuah galeri nirlaba di Melbourne, Australia.

Selain menjadi sarana pengutaraan gagasan yang berbeda, pengulangan metode kerja juga tidak menjamin kesamaan wujud yang dihasilkan. Jika struktur Superlight yang ada disini dibandingkan dengan yang pernah dibuat sebelumnya, mereka akan langsung terlihat berbeda. Penyebabnya adalah prasyarat yang Ardi tetapkan untuk project Superlight: semua bahan yang akan digunakan harus ditemukan di daerah sekitar ruang pamer. Sudah pasti, ketika tempat pameran berpindah, wujud fisik Superlight juga akan berubah.

Sekarang, ada pergeseran pada ketentuan ini dimana rumah yang merangkap tempat kerjanya sehari-hari menjadi situs “pemulungan”. Ardi kemudian menyusun kategori-kategori khusus untuk benda-benda yang ia kumpulkan, sehingga yang dapat digunakan hanya boleh terdiri dari material bangunan, meubel, boneka bekas dan bahan faux fur. Ini adalah kumpulan barang yang berbeda, yang belum pernah digunakan sebelumnya. Jadi, meski ada repetisi pada metode bekerja, tetap akan terjadi perbedaan pada bentuk akhirnya. 



Repetisi dan Kesamaan

Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua pengulangan memunculkan perbedaan. Bayangkan menghafal sepenggal lirik lagu lewat menyanyikannya berulang-ulang kali, dan lebih memahaminya karena pengulangan ini – disini, pengulangan memperdalam kendali kita akan lagu tersebut. Demikian juga dengan praktek seorang seniman: pengulangan metode kerja mempertajam pendekatan artistiknya.

Untuk menggandakan karya Superlight sebelumnya, Ardi harus mengulang kembali metode bekerja yang ia terapkan. Salah satunya adalah lompatan-lompatan yang ia lakukan dari satu peran ke peran lainnya, meruntuhkan mitos bahwa seniman adalah figur yang terperangkap dalam otonominya sendiri. Dalam mewawancarai 2 orang teman mengenai karyanya, Ardi melakukan tugas yang umumnya dikerjakan oleh kurator. Cara Ardi untuk memposisikan dirinya sebagai kurator juga terlihat dari pilihannya untuk menggandakan ruang pamer, dimana ia terlibat dalam aspek pembuatan pameran dan bukan hanya pembuatan karya saja.

Seperti cara kerjanya dalam project-project lain, untuk mayoritas pembuatan karya di pameran ini Ardi kerap mengambil peran “artisan” atau “tukang” yang lazim dipekerjakan oleh seorang seniman. Sejak awal, ia membangun seluruh konstruksi ruangnya sendiri dengan bantuan Pak Woto yang bekerja di Jilsi, sebuah usaha produksi boneka yang ia miliki bersama keluarganya. Melihat Ardi berkarya, saya mendapatkan bahwa keterlibatannya dalam “kerja kasar” pembuatan karya – tak jarang kami tertawa karena praktek Ardi sering mengakibatkan ruang galeri terlihat seperti area konstruksi bangunan – adalah sebuah pernyataan politis. Ketika banyak seniman muda bersembunyi dibalik posisi sebagai “penggagas konsep”, Ardi mengkritik situasi ini dengan memastikan bahwa ia terlibat – baik secara fisik maupun konseptual – bersama orang-orang lain dalam segala aspek pembuatan karya ini.

Ini dapat dilihat sebagai strategi untuk menyiasati dalih “estetika relasional” yang sering dikemukakan sejak Nicolas Bourriaud menerbitkan bukunya di tahun 2002.[iii] Menurut teori ini, kapasitas seni yang paling signifikan muncul ketika karya tersebut terbuka akan bermacam relasi dan hubungan antara beragam agen yang terpintal dalam jaringan pembuatan dan penerimaan karya tersebut; disini, singularitas seorang seniman tergeser dan tidak menjadi begitu penting lagi. Yang menjadi masalah, dengan membuka praktek mereka terhadap peran serta orang lain, sering kali keterlibatan seorang seniman dilucuti hingga titik dimana campur tangannya hanya terlihat dari sisa-sisa konsep yang ia gagas. Berbeda dengan kecenderungan ini, meski praktek Ardi membutuhkan partisipasi banyak peserta, karya yang kita lihat disini tetap menunjukkan keterlibatannya yang menyeluruh: ternyata, ditengah maraknya argumentasi kontemporer tentang luluh leburnya otoritas seorang seniman, ada saat dimana otoritas ini masih harus dipertahankan.

***

Dalam pameran ini, repetisi, pengulangan dan penggandaan adalah sebuah strategi artistik spesifik yang memberi Ardi kesempatan untuk mempertajam prakteknya. Tapi lebih dari itu, strategi ini ternyata juga menimbulkan perbedaan-perbedaan signifikan yang tidak akan muncul melalui cara lain. Ini meluruhkan asumsi mengenai repetisi sebagai suatu tindakan yang percuma, karena hanya akan menghadirkan kembali hal yang sudah pernah ada.  

Heraklitus agaknya benar dalam menjalin korelasi antara ketetapan dan perubahan: meski terus berubah, sungai yang ia contohkan di perumpamaan tadi tetap sungai yang sama. Tapi filsuf ini keliru dalam mengisyaratkan – dengan menekankan kemustahilan pengulangan – bahwa pengulangan berarti menghadirkan kembali hal yang sama. Di pameran ini, terlihat bahwa repetisi tidak selalu menghadirkan kembali hal yang pernah ada, tapi menunas beragam perbedaan. Hanya melalui repetisi, sebuah karya lama dapat menghadirkan hal-hal yang belum pernah ia hadirkan sebelumnya. Aliansi antara repetisi dan perbedaan ini adalah gelagat praktek seni yang sedang berkembang secara rizomatic dan tak terduga, daripada linear dan pasti.[iv]





[i] Gilles Deleuze, Difference and Repetition (London: Continuum, 2001).
[ii] Terri Bird, Reconfiguring Still, catalogue essay for the super light by Ardi Gunawan (2008).
[iii] Nicolas Bourriaud, Relational Aesthetics (Dijon: Les Presses du Réel, 2002). 
[iv] Gilles Deleuze and Felix Guattari, A Thousand Plateaus (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987).

Katalog Pameran

"Taksa" oleh Tara Kasenda



Dari teks kuratorial untuk pameran "Taksa" oleh Tara Kasenda di Ark Galerie, sampai dengan 28 April 2013 (maaf atas foto-foto yang dibawah standar, karena hanya saya ambil dengan telpon):



Melayang di Ambang Batas


Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Taksa tak.sa (a) mempunyai makna lebih dr satu; kabur atau meragukan (tt makna); ambigu

Melihat makna dari kata ini, Taksa adalah judul yang tepat untuk pameran Tara Kasenda: bila kita bisa sepakat akan satu pengalaman yang didapatkan dari karya-karya yang ada disini, adalah pengalaman akan ketaksaan dan ambiguitas. Tidak ada kesimpulan pasti yang bisa ditarik disini, baik mengenai pendekatannya terhadap media, teknik, citra, maupun konsep. Saat kita merasa telah mencapai suatu konklusi, ide lain akan dengan cepat menyangkalnya: segera setelah kita mengambil keputusan tentang betapa ringkih dan femininnya warna-warna pastel yang ada, sifat-sifat ini ditentang oleh konotasi industrial yang melekat pada perekat silikon. Segera setelah kita berbicara tentang perekat silikon sebagai media kontemporer, penciptaan warna dan bentuk dalam suatu bidang 2-dimensi membawa kita ke teritori tua yaitu seni lukis.

Dalam karya-karya ini, Tara membuat lembar demi lembar permukaan yang berasal dari perekat silikon, yang menjadi wadah atas gambar hasil manipulasi digital yang ditransfer keatasnya. Digantung dari beberapa titik ketinggian untuk menghasilkan ruang labirin di galeri utama, karya-karya ini mengajak pengunjung untuk berjalan dan bergerak diantara mereka, meminta mereka untuk menyentuh teksturnya yang terasa artifisial seperti plastik, tapi juga tak rata dan organis. Sifat-sifat fisik perekat silikon memang sesuai sebagai sarana eksplorasi ide-ide tentang ambiguitas dan paradox yang memikat Tara: tipis dan tembus pandang, mereka melayang diantara ada dan tidak ada.

Peggunaan silikon mempermasalahkan posisi Tara di teritori seni dimana ia terlatih secara formal, yaitu seni lukis. Meski silikon banyak dipakai dalam seni kontemporer, karakteristik mereka umumnya membawa seniman ke pembuatan objek 3-dimensi, atau digunakan sebagai perekat. Keputusan Tara untuk menciptakan lembar-lembar 2-dimensi untuk mewadahi bentuk-bentuk abstrak dalam palet yang didominasi warna pastel, didasari oleh investigasinya atas sifat paradoksal keindahan, sebuah permasalahan klasik dalam sejarah seni yang lebih besar.

Mempermasalahkan Seni Lukis

Sejarah seni lukis, dianggap sebagai salah satu bentuk seni rupa yang paling tradisional, dipenuhi dengan ledakan perubahan yang radikal – salah satunya adalah momen di New York tahun 1950an,  ketika kuas dan sandaran kanvas (easel) dicampakan. Tanpa alat-alat ini, apa yang dianggap sebagai seni lukis menjadi terbuka atas bermacam pertanyaan baru: apakah melukis, jika kuas tidak lagi diperlukan? Jika diteruskan, cakupan pertanyaan ini tidak lagi terbatas pada alat-alat yang terkait dengan seni lukis, namun juga medianya: apakah lukis, misalnya, tanpa kanvas dan cat?
Sekarang, dengan hilangnya kebenaran esensial mengenai seni lukis, tidak ada lagi definisi yang pasti tentangnya. Saat seni lukis tidak lagi terkekang oleh alat maupun media yang digunakan, satu cara untuk mendefinisi artinya adalah dengan menganggapnya – seperti yang Tara lakukan disini – sebagai aksi mengkomposisi warna dan bentuk pada sebuah permukaan tertentu.

            Sebuah revolusi terjadi di abad 20, ketika subject matter lenyap sepenuhnya dari permukaan lukisan. Yang menggantikannya adalah bentuk-bentuk yang tidak bisa dikenali, bidang-bidang warna berukuran besar yang mengisi permukaan kanvas, dan garis-garis geometris vertikal dan horizontal. Menikung tajam kearah abstraksi, seni rupa tidak lagi memikul tanggung jawab untuk menjadi cermin alam atau membuat representasi atas dunia, melainkan untuk mengekspresikan realm misterius atas lapisan emosi yang terdalam. Pengaruh gagasan baru ini terbukti panjang dan terlihat jelas di abad 21, saat seniman terus bergantung pada bentuk-bentuk abstrak untuk menjelajah berbagai pengalaman yang bersifat elusif dan ambigu, seperti pengalaman akan keindahan.

Persoalan filosofis mengenai keindahan memang setua sejarah peradaban itu sendiri. Apa maksudnya, saat kita mengatakan sesuatu itu indah? Bila saya menilai suatu benda indah, apakah ini mengharuskan orang lain berpendapat yang sama? Dalam pengalaman akan keindahan, apakah kita merujuk pada keadaan psikologis yang terkait dengannnya, atau pada hal-benda konkrit yang menyebabkannya? Dua jawaban yang serupa akan jarang ditemukan, dan beranjak dari ide bahwa penilaian akan keindahan sepenuhnya bersifat subjektif, Tara menggunakan bentuk-bentuk abstrak untuk berpikir lebih lanjut mengenai paradok-paradoks keindahan.

Penjelajahannya atas sifat keindahaan yang ambigu juga membawanya ke perekat silikon serta teknik transfer gambar digital – media dan teknik yang tidak konvensional untuk seni lukis. Karena pengalaman akan keindahan bersifat subjektif, pribadi dan intim, Tara mulai mencari kualitas material yang dianggap mampu memprovokasi pengalaman itu untuknya.  Seperti sandaran kanvas dan kuas, yang menjadi pilihan umum pada seni lukis adalah kanvas. Dalam tradisinya, kanvas adalah permukaan yang lazim dipilih oleh seniman lukis yang biasanya bekerja dengan cat minyak, karena memberikan mereka bidang yang tepat untuk cat. Namun, karena kanvas dan cat minyak tidak memiliki kualitas-kualitas yang diinginkan, media tradisional ini hanya membawa pencarian Tara ke suatu kebuntuan.

Jika pengalaman kita akan karya-karya disini menempatkan kita di ambang batas kesimpulan-kesimpulan pasti, praktek Tara menegosiasi ambang batas lain: antara lukis dan non-lukis. Saat ia mulai bereksperimentasi dengan perekat silikon dan manipulasi digital, prakteknya mulai memasuki hubungan yang problematis dengan tradisi yang membangunnya.



Teknologi dan Kontemporenaitas

Hubungan problematis ini menandakan dua sisi dari sebuah praktek artistik: akar yang kuat di masa lalu, namun juga pijakan yang pasti pada masa sekarang. Meski memiliki kecenderungan untuk mengkaitkan dirinya kepada tradisi seni lukis yang telah ada, media yang digunakan disini tetap mencerminkan kondisi sosio-kultural eranya. Di suatu periode dimana zat kimia seperti silikon tersedia dengan luas untuk publik, ditambah lagi maraknya berbagai proses digital dalam pencitraan, maka kondisi-kondisi ini akan membentuk pendekatan-pendekatan artistik yang baru.

            Sebelum perekat silikon, Tara pernah bekerja dengan kaca, tertarik dengan medium tersebut karena sifatnya yang tembus pandang. Namun, kebutuhan akan bahan yang ringan dan elastis mulai mendesak. Ia tiba pada penggunaan perekat silikon, yang memberikan kualitas-kualitas yang dicari: lembar demi lembar silikon yang ringan, translusen, dan elastis, memungkinkan cahaya untuk menembusnya, dan ketika digantung, mereka tampak seakan-akan tampil mengambang di tengah udara: hal-hal ini menunjukkan potensi untuk menciptakan pengalaman yang etereal dan atmosferik.

            Pengalaman seperti ini, tentu saja, bertolak belakang dengan asumsi umum mengenai bahan silikon itu sendiri. Silikon – atau bahan-bahan berbasis silikon – adalah zat kimia yang telah menjadi bagian penting dari keseharian kita. Tiap hari kita berhubungan dengannya, menggunakannya pada rambut kita dalam bentuk gel dan pelembab, saat kita mengetik pada keyboard komputer kita, saat kita menggunakan alat-alat masak atau merapikan mainan, hingga untuk berbagai kegunaan medis dari plester hingga lensa kontak. Ketahanan silikon akan suhu tinggi, kelekatannya, dan kualitas permukaannya yang unik, membuat kita bergantung padanya sebagai pelumas, perekat, pengemulsi, dan pencegah kelapukan. Diluar rumah kita, silikon sering digunakan untuk bermacam tujuan konstruksi, mulai dari mobil hingga gedung pencakar langit.

           Kendati penggunaan kimia dan komersilnya, silikon juga kerap digunakan dalam seni rupa kontemporer, umumnya untuk perekat atau untuk membuat cetakan 3-dimensi dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi. Elastisitasnya, yang hampir menyerupai kulit manusia, mengizinkan praktek-praktek yang eksperimental. Meskipun kemungkinan yang dibawa oleh silikon seakan-akan tak terhingga, Tara memutuskan untuk menjadikannya sebagai permukaan 2-dimensi untuk mewadahi bentuk-bentuk dan warna yang akan dibuat. Bahkan dengan media yang begitu jauh dari konvensional, latar belakang seni lukis yang dimiliki Tara ternyata tidak dapat dengan semudah itu dipisahkan: disini, permukaan silikon menggantikan permukaan kanvas.

Karena ukuran mereka yang besar, lembar-lembar silikon yang dihasilkan oleh Tara tidak memungkinkan untuk dicetak; maka, digunakan proses transfer gambar digital. Gambar-gambar yang ia gunakan adalah foto mikroskopik atas bermacam jenis bebatuan. Disini, Tara terinspirasi oleh pengkategorian Jennifer McMahon atas alam sebagai “keindahan absolut”; yang dimaksud oleh McMahon adalah objek keindahan yang tidak memiliki tujuan kegunaan tertentu.[1] Foto mikroskopik dipilih karena mereka tidak lagi menyerupai objek-objek yang ada di alam, tapi merupakan abstraksi yang organis.

            Karena praktek Tara didorong oleh keinginan untuk memaknai keindahan secara subjektif, maka warna menjadi sebuah elemen visual yang harus ditelusuri – untuk melakukan ini, ia bergantung pada teknik digital retouching. Penggunaan medium perekat silikon, bersama dengan pemanfaatan teknik digital, adalah pencerminan atas bentuk-bentuk teknologi yang tersedia pada titik historis tertentu, yaitu sekarang. Maka, meski praktek Tara didasari oleh impetus-impetus yang berakar kuat pada sejarah seni, terutama seni lukis, media dan teknik yang digunakan tetap menunjukkan keretakan dari sejarah itu, dan menjadikannya selaras dengan era yang dihidupinya. 


Melayang di Ambang Batas

Di satu sisi, praktek Tara yang berputar disekitar suatu ide klasik mengenai seni sebagai ekspresi emosi si seniman, condong ke arah tradisi yang konvensional. Namun di sisi lain, dengan mengekploitasi teknologi eranya yang telah menjadi bagian besar dari keseharian kontemporer, praktek ini tetap terikat erat pada kenyataan yang ada pada masa sekarang. Meskipun bentuk-bentuk abstrak dan renungan mengenai keindahan melirik ke tradisi dari masa lampau, media dan teknik yang digunakan menunjukkan pijakan yang pasti di masa sekarang.



Karya-karya di pameran ini berangkat dari keinginan untuk menelusuri suatu paradoks mengenai keindahan itu sendiri: keindahan adalah sebuah “rasa” yang tak berwujud dan elusif, namun pada saat yang sama, rasa akan keindahan itu tak bisa terlepas dari hal-benda fisik dan konkrit. Memperhatikan praktek Tara lebih lanjut, saya mendapatkan munculnya konflik-konflik lain yang menciptakan ketegangan yang saling tarik-menarik. Tarik-menarik yang beragam ini – antara lukis dan nonlukis, antara tradisi lama dan pembaruan kontemporer – menempatkan karya-karya di pameran ini dalam posisi yang rumit sekaligus memikat: posisi di ambang batas yang menolak kesimpulan pasti mengenai mereka. 



[1] Tara Kasenda, skripsi untuk program Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institute Teknologi Bandung, tidak diterbitkan (2013).

Katalog Pameran

Project Kuratorial Baru

Setelah persiapan yang makan waktu lebih dari 8 bulan, akhirnya pameran yang saya kuratori dibuka Sabtu kemarin. Ini flyer-nya:

Pameran ini terdiri dari 2 project yang berbeda dari Ardi Gunawan dan Tara Kasenda (foto dan teks kuratorial menyusul di posting berikut).

Kunjungi di Ark Galerie, Jalan Senopati 92 (Jakarta) sampai tanggal 28 Maret.

Terima kasih banyak untuk seluruh tim Ark Galerie atas dukungannya. Semoga Aji AS membaca: tepuk tangan seriuh-riuhnya untuk bantuan, pendapat, masukan dan dorongannya :)