Dari teks kuratorial untuk pameran "Proposal untuk Sebuah Etalase Permanen di Ark Galerie dalam Dua Edisi: Superlight" oleh Ardi Gunawan di Ark Galerie, sampai dengan 28 April 2013 (maaf atas foto-foto yang dibawah standar, karena hanya saya ambil dengan telpon):
Beberapa Catatan tentang Repetisi dan Penggandaan
Pameran ini memperlihatkan perulangan terbaru dari seri Superlight Ardi Gunawan, yang terakhir
dikembangkan dalam sebuah program residensi di antara tahun 2008 dan 2009. Sejak
awal, memamerkan kembali sebuah karya lama tak dapat menghindar dari beberapa persoalan
besar. Terlepas dari keinginan untuk menjaga agar A Proposal for A Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions:
Superlight tetap menantang kendati pengulangan, ada persoalan lain yang
lebih mendesak mengenai bentuk karya yang akan dipamerkan: seri Superlight adalah sebuah intervensi
performatif atas suatu tempat khusus. Karena sifatnya yang temporer dan
bergantung pada situs yang spesifik, pertanyaan yang harus kami jawab adalah bagaimana
mengulang sesuatu yang tidak bisa diulang?
Selain itu, meskipun kita menemukan
cara untuk melakukannya – seperti kita lihat disini, strategi Ardi adalah
membuat penggandaan – kita tentunya tetap harus tetap menghadapi pertanyaan
‘mengapa’: mengapa mengulang sesuatu yang telah dilakukan sebelumnya? Seperti
yang dikatakan Heraklitus, “Kita tidak bisa menginjak sungai yang sama dua
kali.” Artinya, karena dunia terus bergerak dan berubah, kita tidak akan bisa
mengulang apapun, sebab apa yang sudah terjadi tidak akan bisa terjadi lagi
untuk kedua kalinya. Maka, upaya untuk mengulang sesuatu – termasuk sebuah
karya – terancam sia-sia.
Namun usaha ini hanya akan menjadi
percuma jika yang dicari lewat pengulangan adalah kehadiran kembali hal yang
sama. Paradoks ini runtuh pada saat aksi pengulangan menghasilkan apa yang
sebelumnya dianggap terhalangi olehnya: perbedaan. Disini, repetisi tidak bisa
disamakan dengan representasi: mengulang tidak lagi berarti mengutarakan
kembali hal yang sama, tapi mengutarakan hal yang sama sekali berbeda.[i]
Lewat mengulang metode kerjanya dan menggandakan karya yang ada disini, “A Proposal for a Permanent Fixture at Ark
Galerie in Two Editions: Superlight” – disingkat disini menjadi Superlight: Editions of Two – adalah sebuah
artikulasi yang tak terduga atas praktek dan karya Ardi dalam seri yang telah
dibangun selama beberapa tahun terakhir.
Sedikit mengenai Superlight
Superlight adalah karya yang terdiri dari himpunan sampah dan benda
temuan yang diambil dari tempat di sekitar atau dimana karya tersebut akan
dipamerkan. Di dalam ruang pamer, kumpulan benda-benda itu ia tumpuk-tumpuk
bertumpang tindih, hingga masing-masing mencapai titik keseimbangan dan menjadi
padat. Terlepas dari pengertian atau makna yang sering kita kaitkan dengan
suatu benda, benda itu – pada dasarnya – adalah sebuah situs yang terdiri dari
relasi material yang kompleks antara zat dan wujud: terlibat dalam daya
tarik-menarik antara energi dan tenaga, sebuah benda memiliki kapasitas untuk
tumbang, melebur, memanas, mengurai, membeku, dan sebagainya. Ketika
benda-benda tersebut berdiri tanpa perekat apapun, tapi hanya dengan mengganjal
dan menyangga satu sama lain, struktur yang dihasilkan menjadi sangat rentan
akan risiko alam yang paling mendasar, yaitu gravitasi.
Dalam bentuk skulptural ini, kesan
ringan – lightness – tidak semata
dihasilkan hanya dengan menggunakan material yang memiliki beban seminimal mungkin.[ii]
Justru sebaliknya, kesan ringan muncul ketika himpunan barang berat ini berada
di ambang kolaps.
Menumpuk, menimbun, menyokong,
mengapit, menopang, menghimpun: Superlight
adalah sebuah struktur yang terbangun dari rangkaian aktifitas fisik ini.
Sebelum kita menyamakannya dengan tindakan gestural para seniman Abstrak
Ekspresionisme, perlu ditekankan bahwa tidak ada keinginan untuk menuangkan
lapisan emosi disini. Rangkaian aksi tadi dilakukan hanya untuk mencapai tujuan
tertentu seperti: menahan sebongkah kayu dengan potongan besi agar dapat
menopang pecahan dari sebuah boneka yang sudah termutilasi. Meski beranjak dari
sifat-sifat kebendaan, keputusan Ardi untuk menetapkan parameter khusus atas
situs dari mana benda-benda itu boleh diambil (menjadikan karya ini site-specific) juga menjauhkan
prakteknya dari tradisi Formalisme dan preferensinya terhadap elemen-elemen
komposisi ketimbang konteks sosio-kultural.
Ketika Ardi mulai membuat karya awalnya
dari seri Superlight di tahun 2007,
ia memiliki anggapan bahwa karya ini tidak bisa diulang. Dengan tidak
mengulang, ia dapat mengkritik kecenderungan seni rupa untuk mengobjektifikasi
– atau, mungkin, membendakan – sebuah
karya, dimana nilai terpenting tentang karya diletakkan pada objek atau benda
akhir yang dibuat oleh seniman. Ini bermasalah, karena memperbesar kemungkinan
karya tersebut menjadi komoditas belaka. Meski tetap berbasis objek, sifat Superlight yang tidak permanen dan terus
berubah meghindari tendensi “objek-sentrisme” tadi.
Resistensi terhadap pengulangan suatu
karya dapat didudukkan dalam tradisi seni Happening tahun 1960an di AS: sebuah
karya dianggap sebagai sebuah peristiwa unik yang hanya bisa berlangsung sekali
waktu saja, dan maka dari itu tidak bisa dibawa pergi dari tempat dimana karya
itu terjadi. Sebagai sebuah “peristiwa”, karya itu dianggap lebih dari sekadar
bentuk akhir yang dihasilkan tapi mencakup seluruh tataran proses yang
membentuknya. Karena aspek prosesual ini, waktu menjadi faktor penting; dan
karena waktu tidak bisa diulang, maka karya itupun tidak bisa digandakan.
Selain faktor waktu yang tak bisa
diulang, ada juga faktor fisik barang-barang ini sebagai situs relasi material
yang aktif dan berdenyut. Apa yang bisa kita lihat di Superlight: Editions of Two hanya
sepotong momen istirahat dalam kehidupan molekul dan atom kumpulan barang ini.
Lemari itu tadinya pohon yang berakar, yang kemudian digergaji, dipaku dan
diglasir. Lemari itu terus berubah; retakan mulai muncul di permukaannya, dan
setelah pameran ini ia akan diruntuhkan seluruhnya, dibuang sebagai
sampah untuk kembali ke alam. Himpunan barang yang ada disini, seperti lemari
itu, terus menerus berubah dan bermutasi – dan karenanya tidak
mungkin diulang.
Repetisi dan
Perbedaan
Pengulangan hanya mustahil dan sia-sia jika yang dicari
adalah kehadiran kembali hal yang sama. Karya dalam pameran ini memutar balik
asumsi tadi, dengan menunjukkan bahwa pengulangan dapat mengembangkan perbedaan
yang tidak dapat dihasilkan tanpa aksi repetisi ini – disini, repetisi bukan
lagi menjadi pilihan, tapi sebuah keharusan.
Salah satu perbedaan ini terlihat
ketika kita membahas soal dokumentasi yang dipermasalahkan oleh Ardi didalam
wawancara yang kami muat di katalog ini. Ia mengungkapkan bahwa ada persoalan
besar antara dokumentasi dan peristiwa seni, dimana dokumentasi tidak akan
mampu untuk sepenuhnya merekam seluruh aspek dari sebuah peristiwa. Akan selalu
ada “surplus” dari suatu peristiwa yang akan lolos dari suatu citra diam maupun
bergerak tentangnya. Bagi Ardi, menghasilkan sebuah replika yang nyaris sama
persis atas karyanya – mulai dari proses hingga wujud konkrit – adalah sebuah
strategi untuk mendokumentasikan karya ini. Ide ini tentunya tidak bisa diuji
coba tanpa mengulang kembali karya Superlight.
Ini adalah perbedaan yang muncul melalui penggandaan karya yang sama dalam
pameran ini, yang tidak akan terlihat apabila hanya ada satu karya saja.
Penggandaan karya secara identik juga
memberikan sebuah respon yang berbeda atas ketegangan antara seni dan pasar,
yang Ardi pernah tanggapi dalam pameran Superlight
sebelumnya. Superlight versi awal
tidak boleh direproduksi sebagai cara si seniman untuk melawan arus
komodifikasi, sedangkan Superlight
dalam dua edisi disini menghadirkan sebuah parodi akan situasi pasar seni rupa
tersebut: dua versi patung ini mengkritisi mitos ketunggalan karya yang
orisinal yang umumnya diutamakan oleh praktek komodifikasi karya. Memang, Ardi tidak mengulang wujud karya Superlight di dua pameran yang berbeda
ini, tapi ia tetap mengulang metode bekerjanya. Dan ternyata, pengulangan
metode kerja dapat mengutarakan pendapat yang berbeda.
Alasan penggandaan ini menjadi semakin
kuat ketika kita menimbang fungsi dan desain Ark Galerie – tempat pameran ini
berlangsung – sebagai ruang komersil
bergaya modernis (catatan: model galeri “white cube”), yang umumnya
mengutamakan otentisitas sebuah karya yang dianggap begitu sakral sehingga
tidak boleh digandakan. Ketika ruang tersebut digandakan, lengkap dengan karya
yang terletak didalamnya, maka terbangun sebuah kritik berbentuk parodi
terhadap Ark Galerie sebagai sebuah ruang galeri komersil. Ini adalah
pendekatan spasial yang berbeda dengan pameran Superlight sebelumnya, yang pernah dilakukan di sebuah galeri
nirlaba di Melbourne, Australia.
Selain menjadi sarana pengutaraan
gagasan yang berbeda, pengulangan metode kerja juga tidak menjamin kesamaan
wujud yang dihasilkan. Jika struktur Superlight
yang ada disini dibandingkan dengan yang pernah dibuat sebelumnya, mereka akan
langsung terlihat berbeda. Penyebabnya adalah prasyarat yang Ardi tetapkan
untuk project Superlight: semua bahan yang akan digunakan harus ditemukan di
daerah sekitar ruang pamer. Sudah pasti, ketika tempat pameran berpindah, wujud
fisik Superlight juga akan berubah.
Sekarang, ada pergeseran pada ketentuan
ini dimana rumah yang merangkap tempat kerjanya sehari-hari menjadi situs
“pemulungan”. Ardi kemudian menyusun kategori-kategori khusus untuk benda-benda
yang ia kumpulkan, sehingga yang dapat digunakan hanya boleh terdiri dari
material bangunan, meubel, boneka bekas dan bahan faux fur. Ini adalah kumpulan barang yang berbeda, yang belum
pernah digunakan sebelumnya. Jadi, meski ada repetisi pada metode bekerja,
tetap akan terjadi perbedaan pada bentuk akhirnya.
Repetisi dan
Kesamaan
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua
pengulangan memunculkan perbedaan. Bayangkan menghafal sepenggal lirik lagu
lewat menyanyikannya berulang-ulang kali, dan lebih memahaminya karena
pengulangan ini – disini, pengulangan memperdalam kendali kita akan lagu
tersebut. Demikian juga dengan praktek seorang seniman: pengulangan metode
kerja mempertajam pendekatan artistiknya.
Untuk menggandakan karya Superlight sebelumnya, Ardi harus
mengulang kembali metode bekerja yang ia terapkan. Salah satunya adalah
lompatan-lompatan yang ia lakukan dari satu peran ke peran lainnya, meruntuhkan
mitos bahwa seniman adalah figur yang terperangkap dalam otonominya sendiri.
Dalam mewawancarai 2 orang teman mengenai karyanya, Ardi melakukan tugas yang
umumnya dikerjakan oleh kurator. Cara Ardi untuk memposisikan dirinya sebagai
kurator juga terlihat dari pilihannya untuk menggandakan ruang pamer, dimana ia
terlibat dalam aspek pembuatan pameran dan bukan hanya pembuatan karya saja.
Seperti cara kerjanya dalam project-project lain, untuk mayoritas
pembuatan karya di pameran ini Ardi kerap mengambil peran “artisan” atau
“tukang” yang lazim dipekerjakan oleh seorang seniman. Sejak awal, ia membangun
seluruh konstruksi ruangnya sendiri dengan bantuan Pak Woto yang bekerja di Jilsi, sebuah usaha produksi boneka yang
ia miliki bersama keluarganya. Melihat Ardi berkarya, saya mendapatkan bahwa
keterlibatannya dalam “kerja kasar” pembuatan karya – tak jarang kami tertawa
karena praktek Ardi sering mengakibatkan ruang galeri terlihat seperti area
konstruksi bangunan – adalah sebuah pernyataan politis. Ketika banyak seniman
muda bersembunyi dibalik posisi sebagai “penggagas konsep”, Ardi mengkritik
situasi ini dengan memastikan bahwa ia terlibat – baik secara fisik maupun
konseptual – bersama orang-orang lain dalam segala aspek pembuatan karya ini.
Ini dapat dilihat sebagai strategi
untuk menyiasati dalih “estetika relasional” yang sering dikemukakan sejak
Nicolas Bourriaud menerbitkan bukunya di tahun 2002.[iii]
Menurut teori ini, kapasitas seni yang paling signifikan muncul ketika karya
tersebut terbuka akan bermacam relasi dan hubungan antara beragam agen yang
terpintal dalam jaringan pembuatan dan penerimaan karya tersebut; disini,
singularitas seorang seniman tergeser dan tidak menjadi begitu penting lagi.
Yang menjadi masalah, dengan membuka praktek mereka terhadap peran serta orang
lain, sering kali keterlibatan seorang seniman dilucuti hingga titik dimana
campur tangannya hanya terlihat dari sisa-sisa konsep yang ia gagas. Berbeda
dengan kecenderungan ini, meski praktek Ardi membutuhkan partisipasi banyak
peserta, karya yang kita lihat disini tetap menunjukkan keterlibatannya yang
menyeluruh: ternyata, ditengah maraknya argumentasi kontemporer tentang luluh leburnya
otoritas seorang seniman, ada saat dimana otoritas ini masih harus
dipertahankan.
***
Dalam pameran ini, repetisi,
pengulangan dan penggandaan adalah sebuah strategi artistik spesifik yang
memberi Ardi kesempatan untuk mempertajam prakteknya. Tapi lebih dari itu,
strategi ini ternyata juga menimbulkan perbedaan-perbedaan signifikan yang
tidak akan muncul melalui cara lain. Ini meluruhkan asumsi mengenai repetisi
sebagai suatu tindakan yang percuma, karena hanya akan menghadirkan kembali hal
yang sudah pernah ada.
Heraklitus agaknya benar dalam menjalin
korelasi antara ketetapan dan perubahan: meski terus berubah, sungai yang ia
contohkan di perumpamaan tadi tetap sungai yang sama. Tapi filsuf ini keliru
dalam mengisyaratkan – dengan menekankan kemustahilan pengulangan – bahwa
pengulangan berarti menghadirkan kembali hal yang sama. Di pameran ini,
terlihat bahwa repetisi tidak selalu menghadirkan kembali hal yang pernah ada,
tapi menunas beragam perbedaan. Hanya melalui repetisi, sebuah karya lama dapat
menghadirkan hal-hal yang belum pernah ia hadirkan sebelumnya. Aliansi antara
repetisi dan perbedaan ini adalah gelagat praktek seni yang sedang berkembang
secara rizomatic dan tak terduga, daripada linear dan pasti.[iv]
[i] Gilles Deleuze, Difference
and Repetition (London: Continuum, 2001).
[ii] Terri Bird, Reconfiguring
Still, catalogue essay for the super
light by Ardi Gunawan (2008).
[iii] Nicolas Bourriaud, Relational
Aesthetics (Dijon: Les Presses du Réel, 2002).
[iv] Gilles Deleuze and Felix Guattari, A Thousand Plateaus (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1987).
Katalog Pameran |
No comments:
Post a Comment