Dari teks kuratorial untuk pameran "Taksa" oleh Tara Kasenda di Ark Galerie, sampai dengan 28 April 2013 (maaf atas foto-foto yang dibawah standar, karena hanya saya ambil dengan telpon):
Melayang di Ambang Batas
Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia:
Taksa tak.sa (a) mempunyai makna lebih dr satu; kabur
atau meragukan (tt makna); ambigu
Melihat makna dari kata ini, Taksa adalah judul yang tepat untuk pameran Tara Kasenda: bila kita
bisa sepakat akan satu pengalaman yang didapatkan dari karya-karya yang ada disini,
adalah pengalaman akan ketaksaan dan ambiguitas. Tidak ada kesimpulan pasti
yang bisa ditarik disini, baik mengenai pendekatannya terhadap media, teknik,
citra, maupun konsep. Saat kita merasa telah mencapai suatu konklusi, ide lain
akan dengan cepat menyangkalnya: segera setelah kita mengambil keputusan
tentang betapa ringkih dan femininnya warna-warna pastel yang ada, sifat-sifat
ini ditentang oleh konotasi industrial yang melekat pada perekat silikon.
Segera setelah kita berbicara tentang perekat silikon sebagai media
kontemporer, penciptaan warna dan bentuk dalam suatu bidang 2-dimensi membawa
kita ke teritori tua yaitu seni lukis.
Dalam karya-karya ini, Tara
membuat lembar demi lembar permukaan yang berasal dari perekat silikon, yang
menjadi wadah atas gambar hasil manipulasi digital yang ditransfer keatasnya.
Digantung dari beberapa titik ketinggian untuk menghasilkan ruang labirin di
galeri utama, karya-karya ini mengajak pengunjung untuk berjalan dan bergerak
diantara mereka, meminta mereka untuk menyentuh teksturnya yang terasa
artifisial seperti plastik, tapi juga tak rata dan organis. Sifat-sifat fisik
perekat silikon memang sesuai sebagai sarana eksplorasi ide-ide tentang ambiguitas
dan paradox yang memikat Tara: tipis dan tembus pandang, mereka melayang
diantara ada dan tidak ada.
Peggunaan silikon
mempermasalahkan posisi Tara di teritori seni dimana ia terlatih secara formal,
yaitu seni lukis. Meski silikon banyak dipakai dalam seni kontemporer,
karakteristik mereka umumnya membawa seniman ke pembuatan objek 3-dimensi, atau
digunakan sebagai perekat. Keputusan Tara untuk menciptakan lembar-lembar
2-dimensi untuk mewadahi bentuk-bentuk abstrak dalam palet yang didominasi
warna pastel, didasari oleh investigasinya atas sifat paradoksal keindahan,
sebuah permasalahan klasik dalam sejarah seni yang lebih besar.
Mempermasalahkan Seni
Lukis
Sejarah seni lukis, dianggap sebagai salah satu bentuk
seni rupa yang paling tradisional, dipenuhi dengan ledakan perubahan yang
radikal – salah satunya adalah momen di New York tahun 1950an, ketika kuas dan sandaran kanvas (easel) dicampakan. Tanpa alat-alat
ini, apa yang dianggap sebagai seni lukis menjadi terbuka atas bermacam
pertanyaan baru: apakah melukis, jika kuas tidak lagi diperlukan? Jika
diteruskan, cakupan pertanyaan ini tidak lagi terbatas pada alat-alat yang
terkait dengan seni lukis, namun juga medianya: apakah lukis, misalnya, tanpa
kanvas dan cat?
Sekarang, dengan hilangnya kebenaran esensial mengenai
seni lukis, tidak ada lagi definisi yang pasti tentangnya. Saat seni lukis
tidak lagi terkekang oleh alat maupun media yang digunakan, satu cara untuk mendefinisi
artinya adalah dengan menganggapnya – seperti yang Tara lakukan disini –
sebagai aksi mengkomposisi warna dan bentuk pada sebuah permukaan tertentu.
Sebuah
revolusi terjadi di abad 20, ketika subject
matter lenyap sepenuhnya dari permukaan lukisan. Yang menggantikannya
adalah bentuk-bentuk yang tidak bisa dikenali, bidang-bidang warna berukuran
besar yang mengisi permukaan kanvas, dan garis-garis geometris vertikal dan
horizontal. Menikung tajam kearah abstraksi, seni rupa tidak lagi memikul
tanggung jawab untuk menjadi cermin alam atau membuat representasi atas dunia,
melainkan untuk mengekspresikan realm misterius atas lapisan emosi yang
terdalam. Pengaruh gagasan baru ini terbukti panjang dan terlihat jelas di abad
21, saat seniman terus bergantung pada bentuk-bentuk abstrak untuk menjelajah
berbagai pengalaman yang bersifat elusif dan ambigu, seperti pengalaman akan
keindahan.
Persoalan filosofis
mengenai keindahan memang setua sejarah peradaban itu sendiri. Apa maksudnya,
saat kita mengatakan sesuatu itu indah? Bila saya menilai suatu benda indah,
apakah ini mengharuskan orang lain berpendapat yang sama? Dalam pengalaman akan
keindahan, apakah kita merujuk pada keadaan psikologis yang terkait dengannnya,
atau pada hal-benda konkrit yang menyebabkannya? Dua jawaban yang serupa akan
jarang ditemukan, dan beranjak dari ide bahwa penilaian akan keindahan
sepenuhnya bersifat subjektif, Tara menggunakan bentuk-bentuk abstrak untuk
berpikir lebih lanjut mengenai paradok-paradoks keindahan.
Penjelajahannya atas sifat
keindahaan yang ambigu juga membawanya ke perekat silikon serta teknik transfer
gambar digital – media dan teknik yang tidak konvensional untuk seni lukis.
Karena pengalaman akan keindahan bersifat subjektif, pribadi dan intim, Tara
mulai mencari kualitas material yang dianggap mampu memprovokasi pengalaman itu
untuknya. Seperti sandaran kanvas dan
kuas, yang menjadi pilihan umum pada seni lukis adalah kanvas. Dalam tradisinya,
kanvas adalah permukaan yang lazim dipilih oleh seniman lukis yang biasanya bekerja
dengan cat minyak, karena memberikan mereka bidang yang tepat untuk cat. Namun,
karena kanvas dan cat minyak tidak memiliki kualitas-kualitas yang diinginkan,
media tradisional ini hanya membawa pencarian Tara ke suatu kebuntuan.
Jika pengalaman kita akan
karya-karya disini menempatkan kita di ambang batas kesimpulan-kesimpulan
pasti, praktek Tara menegosiasi ambang batas lain: antara lukis dan non-lukis.
Saat ia mulai bereksperimentasi dengan perekat silikon dan manipulasi digital,
prakteknya mulai memasuki hubungan yang problematis dengan tradisi yang
membangunnya.
Teknologi dan
Kontemporenaitas
Hubungan problematis ini menandakan dua sisi dari sebuah
praktek artistik: akar yang kuat di masa lalu, namun juga pijakan yang pasti pada
masa sekarang. Meski memiliki kecenderungan untuk mengkaitkan dirinya kepada
tradisi seni lukis yang telah ada, media yang digunakan disini tetap
mencerminkan kondisi sosio-kultural eranya. Di suatu periode dimana zat kimia
seperti silikon tersedia dengan luas untuk publik, ditambah lagi maraknya berbagai
proses digital dalam pencitraan, maka kondisi-kondisi ini akan membentuk
pendekatan-pendekatan artistik yang baru.
Sebelum
perekat silikon, Tara pernah bekerja dengan kaca, tertarik dengan medium tersebut
karena sifatnya yang tembus pandang. Namun, kebutuhan akan bahan yang ringan
dan elastis mulai mendesak. Ia tiba pada penggunaan perekat silikon, yang
memberikan kualitas-kualitas yang dicari: lembar demi lembar silikon yang
ringan, translusen, dan elastis, memungkinkan cahaya untuk menembusnya, dan
ketika digantung, mereka tampak seakan-akan tampil mengambang di tengah udara:
hal-hal ini menunjukkan potensi untuk menciptakan pengalaman yang etereal dan
atmosferik.
Pengalaman seperti ini,
tentu saja, bertolak belakang dengan asumsi umum mengenai bahan silikon itu
sendiri. Silikon – atau bahan-bahan berbasis silikon – adalah zat kimia yang
telah menjadi bagian penting dari keseharian kita. Tiap hari kita berhubungan
dengannya, menggunakannya pada rambut kita dalam bentuk gel dan pelembab, saat
kita mengetik pada keyboard komputer
kita, saat kita menggunakan alat-alat masak atau merapikan mainan, hingga untuk
berbagai kegunaan medis dari plester hingga lensa kontak. Ketahanan silikon
akan suhu tinggi, kelekatannya, dan kualitas permukaannya yang unik, membuat
kita bergantung padanya sebagai pelumas, perekat, pengemulsi, dan pencegah
kelapukan. Diluar rumah kita, silikon sering digunakan untuk bermacam tujuan
konstruksi, mulai dari mobil hingga gedung pencakar langit.
Kendati penggunaan kimia
dan komersilnya, silikon juga kerap digunakan dalam seni rupa kontemporer,
umumnya untuk perekat atau untuk membuat cetakan 3-dimensi dengan tingkat
akurasi yang relatif tinggi. Elastisitasnya, yang hampir menyerupai kulit
manusia, mengizinkan praktek-praktek yang eksperimental. Meskipun kemungkinan
yang dibawa oleh silikon seakan-akan tak terhingga, Tara memutuskan untuk
menjadikannya sebagai permukaan 2-dimensi untuk mewadahi bentuk-bentuk dan
warna yang akan dibuat. Bahkan dengan media yang begitu jauh dari konvensional,
latar belakang seni lukis yang dimiliki Tara ternyata tidak dapat dengan
semudah itu dipisahkan: disini, permukaan silikon menggantikan permukaan
kanvas.
Karena ukuran mereka yang
besar, lembar-lembar silikon yang dihasilkan oleh Tara tidak memungkinkan untuk
dicetak; maka, digunakan proses transfer gambar digital. Gambar-gambar yang ia
gunakan adalah foto mikroskopik atas bermacam jenis bebatuan. Disini, Tara
terinspirasi oleh pengkategorian Jennifer McMahon atas alam sebagai “keindahan
absolut”; yang dimaksud oleh McMahon adalah objek keindahan yang tidak memiliki
tujuan kegunaan tertentu.[1]
Foto mikroskopik dipilih karena mereka tidak lagi menyerupai objek-objek yang
ada di alam, tapi merupakan abstraksi yang organis.
Karena praktek Tara
didorong oleh keinginan untuk memaknai keindahan secara subjektif, maka warna
menjadi sebuah elemen visual yang harus ditelusuri – untuk melakukan ini, ia bergantung
pada teknik digital retouching. Penggunaan
medium perekat silikon, bersama dengan pemanfaatan teknik digital, adalah
pencerminan atas bentuk-bentuk teknologi yang tersedia pada titik historis
tertentu, yaitu sekarang. Maka, meski praktek Tara didasari oleh
impetus-impetus yang berakar kuat pada sejarah seni, terutama seni lukis, media
dan teknik yang digunakan tetap menunjukkan keretakan dari sejarah itu, dan
menjadikannya selaras dengan era yang dihidupinya.
Melayang di Ambang
Batas
Di satu sisi, praktek Tara yang berputar disekitar suatu ide klasik mengenai seni sebagai ekspresi emosi si seniman, condong ke arah tradisi yang konvensional. Namun di sisi lain, dengan mengekploitasi teknologi eranya yang telah menjadi bagian besar dari keseharian kontemporer, praktek ini tetap terikat erat pada kenyataan yang ada pada masa sekarang. Meskipun bentuk-bentuk abstrak dan renungan mengenai keindahan melirik ke tradisi dari masa lampau, media dan teknik yang digunakan menunjukkan pijakan yang pasti di masa sekarang.
Di satu sisi, praktek Tara yang berputar disekitar suatu ide klasik mengenai seni sebagai ekspresi emosi si seniman, condong ke arah tradisi yang konvensional. Namun di sisi lain, dengan mengekploitasi teknologi eranya yang telah menjadi bagian besar dari keseharian kontemporer, praktek ini tetap terikat erat pada kenyataan yang ada pada masa sekarang. Meskipun bentuk-bentuk abstrak dan renungan mengenai keindahan melirik ke tradisi dari masa lampau, media dan teknik yang digunakan menunjukkan pijakan yang pasti di masa sekarang.
Karya-karya di pameran ini
berangkat dari keinginan untuk menelusuri suatu paradoks mengenai keindahan itu
sendiri: keindahan
adalah sebuah “rasa” yang tak berwujud dan elusif, namun pada saat yang sama,
rasa akan keindahan itu tak bisa terlepas dari hal-benda fisik dan konkrit. Memperhatikan
praktek Tara lebih lanjut, saya mendapatkan munculnya konflik-konflik lain yang
menciptakan ketegangan yang saling tarik-menarik. Tarik-menarik yang beragam ini – antara lukis dan nonlukis, antara tradisi
lama dan pembaruan kontemporer – menempatkan karya-karya di pameran ini dalam
posisi yang rumit sekaligus memikat: posisi di ambang batas yang menolak
kesimpulan pasti mengenai mereka.
[1] Tara Kasenda, skripsi untuk program Sarjana Seni
Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institute Teknologi Bandung, tidak
diterbitkan (2013).
Katalog Pameran |
No comments:
Post a Comment