Monday, 1 April 2013

"Taksa" oleh Tara Kasenda



Dari teks kuratorial untuk pameran "Taksa" oleh Tara Kasenda di Ark Galerie, sampai dengan 28 April 2013 (maaf atas foto-foto yang dibawah standar, karena hanya saya ambil dengan telpon):



Melayang di Ambang Batas


Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Taksa tak.sa (a) mempunyai makna lebih dr satu; kabur atau meragukan (tt makna); ambigu

Melihat makna dari kata ini, Taksa adalah judul yang tepat untuk pameran Tara Kasenda: bila kita bisa sepakat akan satu pengalaman yang didapatkan dari karya-karya yang ada disini, adalah pengalaman akan ketaksaan dan ambiguitas. Tidak ada kesimpulan pasti yang bisa ditarik disini, baik mengenai pendekatannya terhadap media, teknik, citra, maupun konsep. Saat kita merasa telah mencapai suatu konklusi, ide lain akan dengan cepat menyangkalnya: segera setelah kita mengambil keputusan tentang betapa ringkih dan femininnya warna-warna pastel yang ada, sifat-sifat ini ditentang oleh konotasi industrial yang melekat pada perekat silikon. Segera setelah kita berbicara tentang perekat silikon sebagai media kontemporer, penciptaan warna dan bentuk dalam suatu bidang 2-dimensi membawa kita ke teritori tua yaitu seni lukis.

Dalam karya-karya ini, Tara membuat lembar demi lembar permukaan yang berasal dari perekat silikon, yang menjadi wadah atas gambar hasil manipulasi digital yang ditransfer keatasnya. Digantung dari beberapa titik ketinggian untuk menghasilkan ruang labirin di galeri utama, karya-karya ini mengajak pengunjung untuk berjalan dan bergerak diantara mereka, meminta mereka untuk menyentuh teksturnya yang terasa artifisial seperti plastik, tapi juga tak rata dan organis. Sifat-sifat fisik perekat silikon memang sesuai sebagai sarana eksplorasi ide-ide tentang ambiguitas dan paradox yang memikat Tara: tipis dan tembus pandang, mereka melayang diantara ada dan tidak ada.

Peggunaan silikon mempermasalahkan posisi Tara di teritori seni dimana ia terlatih secara formal, yaitu seni lukis. Meski silikon banyak dipakai dalam seni kontemporer, karakteristik mereka umumnya membawa seniman ke pembuatan objek 3-dimensi, atau digunakan sebagai perekat. Keputusan Tara untuk menciptakan lembar-lembar 2-dimensi untuk mewadahi bentuk-bentuk abstrak dalam palet yang didominasi warna pastel, didasari oleh investigasinya atas sifat paradoksal keindahan, sebuah permasalahan klasik dalam sejarah seni yang lebih besar.

Mempermasalahkan Seni Lukis

Sejarah seni lukis, dianggap sebagai salah satu bentuk seni rupa yang paling tradisional, dipenuhi dengan ledakan perubahan yang radikal – salah satunya adalah momen di New York tahun 1950an,  ketika kuas dan sandaran kanvas (easel) dicampakan. Tanpa alat-alat ini, apa yang dianggap sebagai seni lukis menjadi terbuka atas bermacam pertanyaan baru: apakah melukis, jika kuas tidak lagi diperlukan? Jika diteruskan, cakupan pertanyaan ini tidak lagi terbatas pada alat-alat yang terkait dengan seni lukis, namun juga medianya: apakah lukis, misalnya, tanpa kanvas dan cat?
Sekarang, dengan hilangnya kebenaran esensial mengenai seni lukis, tidak ada lagi definisi yang pasti tentangnya. Saat seni lukis tidak lagi terkekang oleh alat maupun media yang digunakan, satu cara untuk mendefinisi artinya adalah dengan menganggapnya – seperti yang Tara lakukan disini – sebagai aksi mengkomposisi warna dan bentuk pada sebuah permukaan tertentu.

            Sebuah revolusi terjadi di abad 20, ketika subject matter lenyap sepenuhnya dari permukaan lukisan. Yang menggantikannya adalah bentuk-bentuk yang tidak bisa dikenali, bidang-bidang warna berukuran besar yang mengisi permukaan kanvas, dan garis-garis geometris vertikal dan horizontal. Menikung tajam kearah abstraksi, seni rupa tidak lagi memikul tanggung jawab untuk menjadi cermin alam atau membuat representasi atas dunia, melainkan untuk mengekspresikan realm misterius atas lapisan emosi yang terdalam. Pengaruh gagasan baru ini terbukti panjang dan terlihat jelas di abad 21, saat seniman terus bergantung pada bentuk-bentuk abstrak untuk menjelajah berbagai pengalaman yang bersifat elusif dan ambigu, seperti pengalaman akan keindahan.

Persoalan filosofis mengenai keindahan memang setua sejarah peradaban itu sendiri. Apa maksudnya, saat kita mengatakan sesuatu itu indah? Bila saya menilai suatu benda indah, apakah ini mengharuskan orang lain berpendapat yang sama? Dalam pengalaman akan keindahan, apakah kita merujuk pada keadaan psikologis yang terkait dengannnya, atau pada hal-benda konkrit yang menyebabkannya? Dua jawaban yang serupa akan jarang ditemukan, dan beranjak dari ide bahwa penilaian akan keindahan sepenuhnya bersifat subjektif, Tara menggunakan bentuk-bentuk abstrak untuk berpikir lebih lanjut mengenai paradok-paradoks keindahan.

Penjelajahannya atas sifat keindahaan yang ambigu juga membawanya ke perekat silikon serta teknik transfer gambar digital – media dan teknik yang tidak konvensional untuk seni lukis. Karena pengalaman akan keindahan bersifat subjektif, pribadi dan intim, Tara mulai mencari kualitas material yang dianggap mampu memprovokasi pengalaman itu untuknya.  Seperti sandaran kanvas dan kuas, yang menjadi pilihan umum pada seni lukis adalah kanvas. Dalam tradisinya, kanvas adalah permukaan yang lazim dipilih oleh seniman lukis yang biasanya bekerja dengan cat minyak, karena memberikan mereka bidang yang tepat untuk cat. Namun, karena kanvas dan cat minyak tidak memiliki kualitas-kualitas yang diinginkan, media tradisional ini hanya membawa pencarian Tara ke suatu kebuntuan.

Jika pengalaman kita akan karya-karya disini menempatkan kita di ambang batas kesimpulan-kesimpulan pasti, praktek Tara menegosiasi ambang batas lain: antara lukis dan non-lukis. Saat ia mulai bereksperimentasi dengan perekat silikon dan manipulasi digital, prakteknya mulai memasuki hubungan yang problematis dengan tradisi yang membangunnya.



Teknologi dan Kontemporenaitas

Hubungan problematis ini menandakan dua sisi dari sebuah praktek artistik: akar yang kuat di masa lalu, namun juga pijakan yang pasti pada masa sekarang. Meski memiliki kecenderungan untuk mengkaitkan dirinya kepada tradisi seni lukis yang telah ada, media yang digunakan disini tetap mencerminkan kondisi sosio-kultural eranya. Di suatu periode dimana zat kimia seperti silikon tersedia dengan luas untuk publik, ditambah lagi maraknya berbagai proses digital dalam pencitraan, maka kondisi-kondisi ini akan membentuk pendekatan-pendekatan artistik yang baru.

            Sebelum perekat silikon, Tara pernah bekerja dengan kaca, tertarik dengan medium tersebut karena sifatnya yang tembus pandang. Namun, kebutuhan akan bahan yang ringan dan elastis mulai mendesak. Ia tiba pada penggunaan perekat silikon, yang memberikan kualitas-kualitas yang dicari: lembar demi lembar silikon yang ringan, translusen, dan elastis, memungkinkan cahaya untuk menembusnya, dan ketika digantung, mereka tampak seakan-akan tampil mengambang di tengah udara: hal-hal ini menunjukkan potensi untuk menciptakan pengalaman yang etereal dan atmosferik.

            Pengalaman seperti ini, tentu saja, bertolak belakang dengan asumsi umum mengenai bahan silikon itu sendiri. Silikon – atau bahan-bahan berbasis silikon – adalah zat kimia yang telah menjadi bagian penting dari keseharian kita. Tiap hari kita berhubungan dengannya, menggunakannya pada rambut kita dalam bentuk gel dan pelembab, saat kita mengetik pada keyboard komputer kita, saat kita menggunakan alat-alat masak atau merapikan mainan, hingga untuk berbagai kegunaan medis dari plester hingga lensa kontak. Ketahanan silikon akan suhu tinggi, kelekatannya, dan kualitas permukaannya yang unik, membuat kita bergantung padanya sebagai pelumas, perekat, pengemulsi, dan pencegah kelapukan. Diluar rumah kita, silikon sering digunakan untuk bermacam tujuan konstruksi, mulai dari mobil hingga gedung pencakar langit.

           Kendati penggunaan kimia dan komersilnya, silikon juga kerap digunakan dalam seni rupa kontemporer, umumnya untuk perekat atau untuk membuat cetakan 3-dimensi dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi. Elastisitasnya, yang hampir menyerupai kulit manusia, mengizinkan praktek-praktek yang eksperimental. Meskipun kemungkinan yang dibawa oleh silikon seakan-akan tak terhingga, Tara memutuskan untuk menjadikannya sebagai permukaan 2-dimensi untuk mewadahi bentuk-bentuk dan warna yang akan dibuat. Bahkan dengan media yang begitu jauh dari konvensional, latar belakang seni lukis yang dimiliki Tara ternyata tidak dapat dengan semudah itu dipisahkan: disini, permukaan silikon menggantikan permukaan kanvas.

Karena ukuran mereka yang besar, lembar-lembar silikon yang dihasilkan oleh Tara tidak memungkinkan untuk dicetak; maka, digunakan proses transfer gambar digital. Gambar-gambar yang ia gunakan adalah foto mikroskopik atas bermacam jenis bebatuan. Disini, Tara terinspirasi oleh pengkategorian Jennifer McMahon atas alam sebagai “keindahan absolut”; yang dimaksud oleh McMahon adalah objek keindahan yang tidak memiliki tujuan kegunaan tertentu.[1] Foto mikroskopik dipilih karena mereka tidak lagi menyerupai objek-objek yang ada di alam, tapi merupakan abstraksi yang organis.

            Karena praktek Tara didorong oleh keinginan untuk memaknai keindahan secara subjektif, maka warna menjadi sebuah elemen visual yang harus ditelusuri – untuk melakukan ini, ia bergantung pada teknik digital retouching. Penggunaan medium perekat silikon, bersama dengan pemanfaatan teknik digital, adalah pencerminan atas bentuk-bentuk teknologi yang tersedia pada titik historis tertentu, yaitu sekarang. Maka, meski praktek Tara didasari oleh impetus-impetus yang berakar kuat pada sejarah seni, terutama seni lukis, media dan teknik yang digunakan tetap menunjukkan keretakan dari sejarah itu, dan menjadikannya selaras dengan era yang dihidupinya. 


Melayang di Ambang Batas

Di satu sisi, praktek Tara yang berputar disekitar suatu ide klasik mengenai seni sebagai ekspresi emosi si seniman, condong ke arah tradisi yang konvensional. Namun di sisi lain, dengan mengekploitasi teknologi eranya yang telah menjadi bagian besar dari keseharian kontemporer, praktek ini tetap terikat erat pada kenyataan yang ada pada masa sekarang. Meskipun bentuk-bentuk abstrak dan renungan mengenai keindahan melirik ke tradisi dari masa lampau, media dan teknik yang digunakan menunjukkan pijakan yang pasti di masa sekarang.



Karya-karya di pameran ini berangkat dari keinginan untuk menelusuri suatu paradoks mengenai keindahan itu sendiri: keindahan adalah sebuah “rasa” yang tak berwujud dan elusif, namun pada saat yang sama, rasa akan keindahan itu tak bisa terlepas dari hal-benda fisik dan konkrit. Memperhatikan praktek Tara lebih lanjut, saya mendapatkan munculnya konflik-konflik lain yang menciptakan ketegangan yang saling tarik-menarik. Tarik-menarik yang beragam ini – antara lukis dan nonlukis, antara tradisi lama dan pembaruan kontemporer – menempatkan karya-karya di pameran ini dalam posisi yang rumit sekaligus memikat: posisi di ambang batas yang menolak kesimpulan pasti mengenai mereka. 



[1] Tara Kasenda, skripsi untuk program Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institute Teknologi Bandung, tidak diterbitkan (2013).

Katalog Pameran

No comments:

Post a Comment