Friday, 28 March 2014

Incomplete time



Tired of jet lag on a recent trip to Jakarta, I find myself wishing for my body to momentarily suspend its own duration and cohere with local time. My body insists that it is elsewhere, resistant to the temporal demands of present place, while being firmly located at a specific 'here'. Within this displacement, a clearing opens up, burdened by a sudden clarity: I am split between two places. 

Being split between two places means that the body is neither fully there, at the place we departed from, nor here, at the place we have arrived at. As a consequence, the place that we are currently in is experienced as a void, lacking the sturdiness of a place that the body has grown accustomed to. Prior to the body reinstating its habits onto place, the body, for a moment, has no hold of that place.

Unattached, the body that is in a state of transition nevertheless remains complete in terms of experience as the body that is committed to a given place. This commitment begins by the taking over of sleep. Sleep marks the end of displacement, as the body will soon enough adopt the rhythm of 'local time' and reconciles itself with the place it currently finds itself in. Once gathered, then dispersed, the body takes in what is inserted by place into it, keeping the traces of traveling that not so long ago was 'lived' so intensely, at bay.

Monday, 24 March 2014

Exi(s)t #3 @ Dia.lo.gue Artspace. Entry Deadline: 20 May 2014


INSTRUKSI: Bukan Sekadar Memberi dan Menerima


(Catalogue essay untuk pameran Exi(s)t #2, 2013, di Dia.lo.gue Artspace)

Instruksi: aba-aba, arahan, isyarat, kode, komando, perintah, petunjuk, seruan, suruhan, tanda, titah, nasihat, mandat, pesan, titipan, wasiat, pemberitahuan, petuah, hikmah, makna, pelajaran, mendiktekan, pedoman.

Menuangkan 2 sendok kecil biji kopi tumbuk kedalam cangkir, mencampurnya dengan sedikit gula, menyeduh kombinasi kedua bubuk ini dengan air panas, mendiamkannya sebentar hingga suhu menurun sebelum mulai diminum – entah datang dari mana, tapi ada pola instruksi yang kita ikuti dalam membuat secangkir kopi. Lanjutkan lagi ke contoh yang lebih besar, misalnya, mengisi formulir kunjungan ke dokter: cantumkan data pribadi, keluhan kesehatan, serta nomor telepon keluarga terdekat, sesuai dengan urutan yang tertera di kertas itu.  Atau, berbelanja ke supermarket: ambil keranjang atau kereta dorong di dekat pintu masuk, pilih bermacam produk yang kita inginkan dari lorong-lorong yang sudah diberi nomor dan keterangan, akhiri transaksi dengan membayar di kasir. Tak bisa dipungkiri, setiap kegiatan kita sehari-hari dijalani sesuai sistem-sistem instruksi tertentu, yang hadir dalam beragam wujud, bentuk, dan ada untuk memenuhi bermacam tujuan.

Hidup kita dipenuhi dengan berbagai instruksi, yang berfungsi untuk memberi arahan, perintah, atau mengisyaratkan bagaimana kita harus berlaku. Pada sendirinya sebuah instruksi tidak memiliki arti atau fungsi apa-apa, tapi ketika bersinggungan dengan seseorang dalam sebuah masyarakat, sebuah instruksi menuntut aksi dan interaksi: warna merah pada lampu lalu lintas memerintahkan kendaraan untuk berhenti, simbol “X“ mengisyaratkan bahwa kita dilarang masuk, dan sebagainya.

Meski hidup kita sarat akan rangkaian instruksi yang seakan tak pernah habis, kita jarang mempertanyakan apa yang dimaksud untuk mematuhi, menentang, atau memberi interpretasi baru akan sebuah instruksi. Pada pameran Exist kali ini, kami ingin menawarkan beberapa perspektif yang berbeda akan konsep ‘instruksi’, yang melampaui anggapan umum tentang sekadar ‘pemberian’ atau ‘penerimaan’nya saja. Disini, sudut pandang para peserta memperlihatkan intepretasi tak terduga atas ‘instruksi’, mulai dari perintah yang datang dari alam bawah sadar, alienasi yang dirasakan ketika seseorang melenceng dari kode-kode sosial, hingga berbagai aturan monoton yang terus-menerus kita jalani di keseharian kita.

Dalam dunia seni, terutama seni performans, pada umumnya instruksi tidak dianggap sepenting pementasan yang dilakukan. Meski perannya penting, instruksi kerap disembunyikan. Misalnya, instruksi untuk sebuah komposisi musik atau koreografi pada teater dan tari sering tidak diperlihatkan pada penonton; instruksi-instruksi tersebut lebih sering dihafalkan oleh seniman dan musisi, agar dapat memberikan pementasan yang seakan-akan terjadi atau mengalir secara natural.

Beberapa peristiwa dari sejarah seni global pernah menunjukkan pentingnya instruksi dalam praktek seni: mulai dari murid-murid komposer John Cage yang menganggap notasi musik mereka sebagai karya seni meski tidak dimainkan, yang akhirnya membentuk aliran Fluxus, hingga contoh yang lebih baru yaitu pameran do-it yang dikuratori oleh Hans Ulrich Obrist. Ini menunjukkan bahwa “instruksi” adalah konsep yang patut dijelajah lebih lanjut.

Di satu sisi, ‘instruksi’ memang bersifat sosial. Bisa dibilang, ia adalah salah satu landasan paling mendasar atas bermacam hubungan antar-manusia. Ambil contoh pengalaman di masa sekolah, seperti pada karya Ratu Raraswati, dimana kita mulai mengalami adanya berbagai instruksi – yang sering kali tidak disahkan sebagai ‘peraturan’ tapi lebih berlaku secara ‘diam-diam’ sebagai kode sosial – yang mendikte bagaimana kita bersikap. Mulai dari memiliki penampilan tertentu hingga menyukai hal yang sama dengan kebanyakan teman kita: semua ini adalah bagian dari jaringan kode sosial dan ‘metode pendisiplinan’ yang mengatur perilaku dan pendapat kita.

Installation view karya Ratu R. Saraswati.

Bagaimana kita menyikapi pola instruksi yang ada di kehidupan sosial kita sudah menjadi bagian dari pertarungan kita sehari-hari. Kita terus menegosiasi pola-pola tersebut, baik dengan mematuhi, menentang, atau menyiasatinya. Berpikir tentang negosiasi ini membawa Dhanny Sanjaya untuk merenungi hakikat kebebasan, terutama ketegangan antara free-will yang diasumsikan dimiliki oleh semua orang dan berbagai peraturan yang pada saat bersamaan menjerat kehidupan mereka. Ketika setiap pilihan dan keputusan yang kita ambil selalu berbenturan dengan instruksi yang ditanam oleh ‘masyarakat umum’, apakah seorang manusia dapat sepenuhnya menjadi bebas?  

Installation view karya Dhanny Sanjaya.

Sebagai bagian dari sebuah ‘masyarakat umum’, kita mengenal apa yang disebut sebagai ‘rutinitas’, yang terbentuk dari perulangan instruksi yang sama untuk mencapai kepentingan tertentu. Keseharian kita dipenuhi oleh keseragaman yang menjerat sekaligus membuat kita terlena, terus menerus mengikuti pola yang sama tanpa menyadari bahwa kita tak henti berputar di suatu siklus monoton. Di dalam ruang galeri, Hendra Permana dengan sengaja menyusun suatu pola instruksi atas beberapa kegiatan untuk pengunjung, yang meski terlihat jenaka dan seakan bermain-main, sebenarnya menjebak mereka dalam sebuah siklus rutinitas.

Installation view karya Hendra Permana.

Lain halnya dengan pertimbangan Angga Cipta, yang melihat bagaimana sistem peraturan yang ada disebuah lingkungan sosial justru memiliki potensi untuk disiasati. Angga mengambil beberapa peristiwa dari kesehariannya di Jakarta untuk memperlihatkan potensi terbentuknya instruksi-instruksi baru dari pola peraturan yang sudah ada disana. Kekisruhan Jakarta kerap menuntut kita untuk dengan cerdik mengakali hal-hal tak terduga, seperti menghindari preman atau kehabisan bensin ketika sedang di perjalanan. Karya Angga menawarkan penjelasan atas langkah demi langkah yang dapat kita lakukan untuk menyiasati situasi-situasi seperti ini.

Installation view karya Angga Cipta.

Kara Andarani juga mengambil pengalamannya sebagai warga kota sebagai titik berangkat, dimana dia meminta petunjuk jalan dari orang yang tidak dikenal. Ketika dirangkai, berbagai instruksi yang didapat – yang sering kali tidak akurat – memberikan perbandingan yang menarik dengan peta wilayah Jakarta yang sebenarnya. Rangkaian instruksi yang tidak utuh ini menunjukkan tiap daerah sebagaimana diingat secara terfragmentasi oleh penduduknya, yang ketika digabung dengan peta sesungguhnya dan ilustrasi Kara, memperlihatkan sifat pengalaman kota yang niscaya berlapis dan khaotis.


Detail view karya Kara Andarini.

Di sisi lain, ada juga jenis instruksi yang sifatnya pribadi, abstrak dan tak berwujud. Ambil contoh, memimpikan tentang suatu jenis makanan, dan terdorong untuk mencari makanan tersebut ketika kita terbangun. Seperti yang diperlihatkan oleh karya Sarita Ibnoe, alam bawah sadar kita seakan memang mampu memberi perintah atas tindakan kita saat terjaga. Memang, instruksi tidak harus selalu diutarakan atau disampaikan dengan gamblang lewat kata-kata. Seri foto Bey Shouqi juga menunjukkan instruksi yang justru tersirat lewat bahasa tubuh manusia: bahwa tubuh seseorang mampu menyampaikan bermacam instruksi secara implisit, dan mengundang interaksi tertentu tanpa perlu disuarakan secara langsung.  

Installation view karya Sarita Ibnoe.

Installation view karya Bey Shouqi.
Tak bisa disangkal bahwa proliferasi teknologi digital juga membentuk pola instruksi yang berbeda dalam bagaimana kita menjalani keseharian. Dampaknya di praktik seni rupa terlihat jelas ketika kita perhatikan bagaimana situs-situs online dan aplikasi pada smartphone memfasilitasi cara produksi, distribusi, dan konsumsi akan kesenian yang berbeda dengan cara-cara offline. Menanggapi realita ini, Nady Azhry tidak meletakkan wujud fisik dari karya gambarnya, melainkan foto digital atas karya tersebut yang berada di website miliknya, dan dihadirkan didalam layar ipad. Dunia digital juga memungkinkan kita untuk menciptakan alter ego, sebuah kepribadian kedua yang bisa jadi sangat berbeda dengan karakter ‘asli’ seseorang. Terkait hal ini, Nady Azhry menciptakan sebuah sosok fiktif bernama Malee Marsha – seorang make up artist dengan hobi olahraga muay thai – yang bagian kehidupannya dapat kita ‘intai’ melalui foto Instagram yang dihadirkan disini.

Installation view karya Nady Azhry.

Karya-karya di pameran ini adalah wujud penelusuran yang lebih jauh akan beragam bentuk dan pola instruksi yang menjadi bagian integral dari keseharian kita. Para seniman yang terlibat di projek Exi(s)t #2 ini mengurai kompleksitas instruksi itu sendiri, menyentuh dimensi-dimensi yang tak serta-merta tampak diawal: seperti keterkaitannya dengan metode pendisiplinan, kebebasan, rutinitas, budaya digital hingga peran alam bawah sadar. Disini, instruksi dimaknai sebagai sesuatu yang terbuka atas interpretasi dan pembacaan yang lebih dalam – dalam kata lain, melampaui fungsinya sebagai suatu hal yang sekadar diberikan atau diterima begitu saja.



Mutual Contagion



Salah satu hal yang paling menarik dari Deleuze adalah bagaimana pengaruhnya dapat dirasakan di area-area yang tidak terduga. Ini menunjukkan bahwa filsafat Deleuze bersifat sepenuhnya pragmatis: bahkan diawal karirnya ketika dia masih banyak berkutat dengan para sesepuhnya seperti Nietzsche, Hume, Leibniz, dan – mungkin paling penting – Spinoza, kita dapat merasakan bahwa dia tidak hanya tertarik untuk menelusuri teori-teori terdahulu hanya demi pemahaman atasnya saja, tapi lebih dari itu, Deleuze seakan sedang mencari cara untuk memahami realita yang dihidupinya dengan menggunakan teori-teori lama. Observasi Claire Parnet, yang ia nyatakan dalam wawancaranya dengan Deleuze, bahwa bahkan ketika Deleuze sedang melakukan interpretasi atas Nietzsche dan Kant, Deleuze tetap terlihat sebagai seorang Deleuzian dan tidak semata seorang Nietzchean atau Kantian, memang tepat.  Filsafat, bagi Deleuze, adalah sebuah kendaraan yang digunakan untuk memobilisasi dan mengaktivasi pemikiran baru, melampaui bayangan para filsuf terdahulu itu. Pendekatan Deleuze akan filsafat yang sepenuhnya utilitarian adalah suatu model berfilsafat yang menyegarkan: filsafat tidak dianggap sebagai spekulasi abstrak belaka tapi suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan konkrit.

Damian Sutton memberi ulasan yang singkat namun tepat tentang jangkauan  pengaruh Deleuze. Jargon yang sering kita dengar tentang pola pikir “non linear”, atau trend tentang “berjejaring” dalam praktik kultural, misalnya, bisa ditelusuri kembali ke konsep yang disusun oleh Deleuze dengan Guattari dibawah nama “rizoma” (rhizome). Fokus praktik kesenian saat ini pada “proses”, sebagai contoh lain, juga dapat dilihat sebagai penerapan ide Deleuze tentang “becomings”.   Atau lihat korpus para pemikir termutakhir saat ini seperti Žižek, Badiou, Hardt dan Negri – banyak gagasan mereka yang secara lansung dan tidak langsung terinspirasi oleh filsafat Deleuze. Pengaruh Deleuze terlihat di area budaya visual melalui tulisan-tulisan Vilém Flusser, atau di kajian teknologi kontemporer seperti dalam karya-karya Bruno Latour. Di area seni kontemporer, Simon O’Sullivan juga memiliki interpretasi yang menarik akan ide-ide Deleuze. 

Kesalahan terbesar yang bisa kita lakukan dalam menggunakan filsafat Deleuze adalah semata mengkutipnya seperti semacam kitab suci. Ini bertentangan dengan dinamisme filsafat Deleuze yang tidak hanya terpaku pada pembacaan yang akurat atas teks yang sudah ada, tapi lebih dari itu: bagaimana kita bisa menjalin suatu hubungan dengan gagasan yang sudah ada dan memperluasnya, membawanya ke arahan-arahan yang tidak pasti dan tidak terduga. Ini adalah taktik berfilsafat yang sangat khusus, dimana terjadi sebuah keretakan penting dari tradisi berfilsafat sebelumnya. Kita tidak perlu menghayati ide-ide Deleuze selayaknya dogma: melainkan, lebih penting untuk mencari cara untuk menggunakan Deleuze juga sebagai sebuah alat untuk memobilisasi pola pikir baru dan tidak terbayangkan atas peristiwa yang terjadi di sekitar kita.

Termasuk juga dalam area kesenian. Keliru jika kita semata berusaha menggunakan ide-ide Deleuze untuk membaca suatu karya atau suatu praktik kesenian, dengan harapan mengutarakan pemikiran baru tentang karya atau praktik itu. Mengapa? Karena dengan cara ini tidak akan terjadi pengembangan dari kompleksitas filsafat yang digunakan. Kita tidak menciptakan metode baru, hanya menggunakan rumus lama. Mungkin dengan cara ini kita mencapai suatu pembacaan baru tentang karya yang sedang dibicarakan, tapi – dan ini kesalahan krusial – tidak ada metode baru yang kita ciptakan disini.

Disini kita juga bisa belajar dari bagaimana Deleuze berhubungan dengan karya dan praktik tertentu. Ada 2 taktik yang digunakan Deleuze: pertama, konsep-konsep tertentu membawa Deleuze ke karya dan praktik tertentu (idenya tentang “body without organs”, misalnya, membawanya ke Francis Bacon); kedua, karya dan praktik tertentu membawanya ke ide-ide tertentu (karya Eisenstein dan Kurosawa adalah cara untuk mengartikulasikan ide-ide seperti “perception-image” dan “action-image”).

John Rachmann menarik kesimpulan seperti berikut atas bagaimana Deleuze menjalin hubungan antara filsafat dan kesenian: di tangan Deleuze, filsafat dan kesenian adalah 2 tipe virus yang berbeda dan saling menularkan, dan hanya dengan itu memiliki kapasitas untuk membiakkan pola pikir baru, dimana “seni dan gagasan menjadi hidup dan menemukan gemanya melalui satu sama lain.”