Tired of jet lag on a recent trip to Jakarta, I find myself wishing for my body to momentarily suspend its own duration and cohere with local time. My body insists that it is elsewhere, resistant to the temporal demands of present place, while being firmly located at a specific 'here'. Within this displacement, a clearing opens up, burdened by a sudden clarity: I am split between two places.Being split between two places means that the body is neither fully there, at the place we departed from, nor here, at the place we have arrived at. As a consequence, the place that we are currently in is experienced as a void, lacking the sturdiness of a place that the body has grown accustomed to. Prior to the body reinstating its habits onto place, the body, for a moment, has no hold of that place.Unattached, the body that is in a state of transition nevertheless remains complete in terms of experience as the body that is committed to a given place. This commitment begins by the taking over of sleep. Sleep marks the end of displacement, as the body will soon enough adopt the rhythm of 'local time' and reconciles itself with the place it currently finds itself in. Once gathered, then dispersed, the body takes in what is inserted by place into it, keeping the traces of traveling that not so long ago was 'lived' so intensely, at bay.
Friday, 28 March 2014
Incomplete time
Monday, 24 March 2014
INSTRUKSI: Bukan Sekadar Memberi dan Menerima
(Catalogue essay untuk pameran Exi(s)t #2, 2013, di Dia.lo.gue Artspace)
Instruksi: aba-aba, arahan, isyarat, kode, komando,
perintah, petunjuk, seruan, suruhan, tanda, titah, nasihat, mandat, pesan, titipan,
wasiat, pemberitahuan, petuah, hikmah, makna, pelajaran, mendiktekan, pedoman.
Menuangkan 2 sendok kecil biji kopi tumbuk
kedalam cangkir, mencampurnya dengan sedikit gula, menyeduh kombinasi kedua bubuk
ini dengan air panas, mendiamkannya sebentar hingga suhu menurun sebelum mulai
diminum – entah datang dari mana, tapi ada pola instruksi yang kita ikuti
dalam membuat secangkir kopi. Lanjutkan lagi ke contoh yang lebih besar,
misalnya, mengisi formulir kunjungan ke dokter: cantumkan data pribadi, keluhan
kesehatan, serta nomor telepon keluarga terdekat, sesuai dengan urutan yang tertera
di kertas itu. Atau, berbelanja ke
supermarket: ambil keranjang atau kereta dorong di dekat pintu masuk, pilih
bermacam produk yang kita inginkan dari lorong-lorong yang sudah diberi nomor
dan keterangan, akhiri transaksi dengan membayar di kasir. Tak bisa dipungkiri,
setiap kegiatan kita sehari-hari dijalani sesuai sistem-sistem instruksi
tertentu, yang hadir dalam beragam wujud, bentuk, dan ada untuk memenuhi
bermacam tujuan.
Hidup kita dipenuhi dengan berbagai
instruksi, yang berfungsi untuk memberi arahan, perintah, atau mengisyaratkan
bagaimana kita harus berlaku. Pada sendirinya sebuah instruksi tidak memiliki
arti atau fungsi apa-apa, tapi ketika bersinggungan dengan seseorang dalam
sebuah masyarakat, sebuah instruksi menuntut aksi dan interaksi: warna merah
pada lampu lalu lintas memerintahkan kendaraan untuk berhenti, simbol “X“
mengisyaratkan bahwa kita dilarang masuk, dan sebagainya.
Meski hidup kita sarat akan rangkaian
instruksi yang seakan tak pernah habis, kita jarang mempertanyakan apa yang
dimaksud untuk mematuhi, menentang, atau memberi interpretasi baru akan sebuah
instruksi. Pada pameran Exist kali
ini, kami ingin menawarkan beberapa perspektif yang berbeda akan konsep
‘instruksi’, yang melampaui anggapan umum tentang sekadar ‘pemberian’ atau
‘penerimaan’nya saja. Disini, sudut pandang para peserta memperlihatkan
intepretasi tak terduga atas ‘instruksi’, mulai dari perintah yang datang dari
alam bawah sadar, alienasi yang dirasakan ketika seseorang melenceng dari
kode-kode sosial, hingga berbagai aturan monoton yang terus-menerus kita jalani
di keseharian kita.
Dalam dunia seni, terutama seni performans,
pada umumnya instruksi tidak dianggap sepenting pementasan yang dilakukan.
Meski perannya penting, instruksi kerap disembunyikan. Misalnya, instruksi
untuk sebuah komposisi musik atau koreografi pada teater dan tari sering tidak
diperlihatkan pada penonton; instruksi-instruksi tersebut lebih sering
dihafalkan oleh seniman dan musisi, agar dapat memberikan pementasan yang
seakan-akan terjadi atau mengalir secara natural.
Beberapa peristiwa dari sejarah seni global
pernah menunjukkan pentingnya instruksi dalam praktek seni: mulai dari
murid-murid komposer John Cage yang menganggap notasi musik mereka sebagai
karya seni meski tidak dimainkan, yang akhirnya membentuk aliran Fluxus, hingga
contoh yang lebih baru yaitu pameran do-it yang dikuratori oleh Hans
Ulrich Obrist. Ini menunjukkan bahwa “instruksi” adalah konsep yang patut
dijelajah lebih lanjut.
Di satu sisi, ‘instruksi’ memang
bersifat sosial. Bisa dibilang, ia adalah salah satu landasan paling mendasar
atas bermacam hubungan antar-manusia. Ambil contoh pengalaman di masa sekolah,
seperti pada karya Ratu Raraswati, dimana kita mulai mengalami adanya berbagai
instruksi – yang sering kali tidak disahkan sebagai ‘peraturan’ tapi lebih
berlaku secara ‘diam-diam’ sebagai kode sosial – yang mendikte bagaimana kita
bersikap. Mulai dari memiliki penampilan tertentu hingga menyukai hal yang sama
dengan kebanyakan teman kita: semua ini adalah bagian dari jaringan kode sosial
dan ‘metode pendisiplinan’ yang mengatur perilaku dan pendapat kita.
Installation view karya Ratu R. Saraswati.
Bagaimana kita menyikapi pola instruksi
yang ada di kehidupan sosial kita sudah menjadi bagian dari pertarungan kita
sehari-hari. Kita terus menegosiasi pola-pola tersebut, baik dengan mematuhi,
menentang, atau menyiasatinya. Berpikir tentang negosiasi ini membawa Dhanny
Sanjaya untuk merenungi hakikat kebebasan, terutama ketegangan antara free-will yang diasumsikan dimiliki oleh
semua orang dan berbagai peraturan yang pada saat bersamaan menjerat kehidupan
mereka. Ketika setiap pilihan dan keputusan yang kita ambil selalu berbenturan
dengan instruksi yang ditanam oleh ‘masyarakat umum’, apakah seorang manusia
dapat sepenuhnya menjadi bebas?
Installation view karya Dhanny Sanjaya.
Sebagai bagian dari sebuah ‘masyarakat
umum’, kita mengenal apa yang disebut sebagai ‘rutinitas’, yang terbentuk dari
perulangan instruksi yang sama untuk mencapai kepentingan tertentu. Keseharian
kita dipenuhi oleh keseragaman yang menjerat sekaligus membuat kita terlena,
terus menerus mengikuti pola yang sama tanpa menyadari bahwa kita tak henti
berputar di suatu siklus monoton. Di dalam ruang galeri, Hendra Permana dengan
sengaja menyusun suatu pola instruksi atas beberapa kegiatan untuk pengunjung,
yang meski terlihat jenaka dan seakan bermain-main, sebenarnya menjebak mereka
dalam sebuah siklus rutinitas.
Installation view karya Hendra Permana.
Lain halnya dengan pertimbangan Angga
Cipta, yang melihat bagaimana sistem peraturan yang ada disebuah lingkungan sosial justru
memiliki potensi untuk disiasati. Angga mengambil beberapa peristiwa dari
kesehariannya di Jakarta untuk memperlihatkan potensi terbentuknya
instruksi-instruksi baru dari pola peraturan yang sudah ada disana. Kekisruhan
Jakarta kerap menuntut kita untuk dengan cerdik mengakali hal-hal tak terduga,
seperti menghindari preman atau kehabisan bensin ketika sedang di perjalanan.
Karya Angga menawarkan penjelasan atas langkah demi langkah yang dapat kita
lakukan untuk menyiasati situasi-situasi seperti ini.
Installation view karya Angga Cipta.
Kara Andarani juga mengambil pengalamannya sebagai
warga kota sebagai titik berangkat, dimana dia meminta petunjuk jalan dari
orang yang tidak dikenal. Ketika dirangkai, berbagai instruksi yang didapat –
yang sering kali tidak akurat – memberikan perbandingan yang menarik dengan
peta wilayah Jakarta yang sebenarnya. Rangkaian instruksi yang tidak utuh ini
menunjukkan tiap daerah sebagaimana diingat secara terfragmentasi oleh
penduduknya, yang ketika digabung dengan peta sesungguhnya dan ilustrasi Kara,
memperlihatkan sifat pengalaman kota yang niscaya berlapis dan khaotis.
Detail view karya Kara Andarini.
Di sisi lain, ada juga jenis instruksi yang
sifatnya pribadi, abstrak dan tak berwujud. Ambil contoh, memimpikan tentang
suatu jenis makanan, dan terdorong untuk mencari makanan tersebut ketika kita
terbangun. Seperti yang diperlihatkan oleh karya Sarita Ibnoe, alam bawah sadar
kita seakan memang mampu memberi perintah atas tindakan kita saat terjaga.
Memang, instruksi tidak harus selalu diutarakan atau disampaikan dengan
gamblang lewat kata-kata. Seri foto Bey Shouqi juga menunjukkan instruksi yang
justru tersirat lewat bahasa tubuh manusia: bahwa tubuh seseorang mampu
menyampaikan bermacam instruksi secara implisit, dan mengundang interaksi
tertentu tanpa perlu disuarakan secara langsung.
Installation view karya Sarita Ibnoe.
Installation view karya Bey Shouqi.
Tak bisa disangkal bahwa
proliferasi teknologi digital juga membentuk pola instruksi yang berbeda dalam
bagaimana kita menjalani keseharian. Dampaknya di praktik seni rupa terlihat
jelas ketika kita perhatikan bagaimana situs-situs online dan aplikasi pada smartphone
memfasilitasi cara produksi, distribusi, dan konsumsi akan kesenian yang
berbeda dengan cara-cara offline. Menanggapi
realita ini, Nady Azhry tidak meletakkan wujud fisik dari karya gambarnya,
melainkan foto digital atas karya tersebut yang berada di website miliknya, dan dihadirkan didalam layar ipad. Dunia digital juga memungkinkan kita untuk menciptakan alter ego, sebuah kepribadian kedua yang
bisa jadi sangat berbeda dengan karakter ‘asli’ seseorang. Terkait hal ini,
Nady Azhry menciptakan sebuah sosok fiktif bernama Malee Marsha – seorang make up artist dengan hobi olahraga muay thai – yang bagian kehidupannya
dapat kita ‘intai’ melalui foto Instagram
yang dihadirkan disini.
Installation view karya Nady Azhry.
Karya-karya di pameran ini adalah wujud penelusuran
yang lebih jauh akan beragam bentuk dan pola instruksi yang menjadi bagian integral
dari keseharian kita. Para seniman yang terlibat di projek Exi(s)t #2 ini mengurai kompleksitas instruksi itu sendiri,
menyentuh dimensi-dimensi yang tak serta-merta tampak diawal: seperti
keterkaitannya dengan metode pendisiplinan, kebebasan, rutinitas, budaya
digital hingga peran alam bawah sadar. Disini, instruksi dimaknai sebagai
sesuatu yang terbuka atas interpretasi dan pembacaan yang lebih dalam – dalam kata
lain, melampaui fungsinya sebagai suatu hal yang sekadar diberikan atau
diterima begitu saja.
Mutual Contagion
Salah satu hal yang paling menarik dari Deleuze adalah
bagaimana pengaruhnya dapat dirasakan di area-area yang tidak terduga. Ini
menunjukkan bahwa filsafat Deleuze bersifat sepenuhnya pragmatis: bahkan diawal
karirnya ketika dia masih banyak berkutat dengan para sesepuhnya seperti
Nietzsche, Hume, Leibniz, dan – mungkin paling penting – Spinoza, kita dapat
merasakan bahwa dia tidak hanya tertarik untuk menelusuri teori-teori terdahulu
hanya demi pemahaman atasnya saja, tapi lebih dari itu, Deleuze seakan sedang
mencari cara untuk memahami realita yang dihidupinya dengan menggunakan teori-teori lama. Observasi Claire
Parnet, yang ia nyatakan dalam wawancaranya dengan Deleuze, bahwa bahkan ketika
Deleuze sedang melakukan interpretasi atas Nietzsche dan Kant, Deleuze tetap
terlihat sebagai seorang Deleuzian dan tidak semata seorang Nietzchean atau
Kantian, memang tepat. Filsafat, bagi Deleuze, adalah sebuah kendaraan yang digunakan untuk memobilisasi dan
mengaktivasi pemikiran baru, melampaui bayangan para filsuf terdahulu itu.
Pendekatan Deleuze akan filsafat yang sepenuhnya utilitarian adalah suatu model berfilsafat yang
menyegarkan: filsafat tidak dianggap sebagai spekulasi abstrak belaka tapi
suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan konkrit.
Damian Sutton memberi ulasan yang singkat namun tepat
tentang jangkauan pengaruh Deleuze. Jargon yang sering kita dengar
tentang pola pikir “non linear”, atau trend tentang “berjejaring” dalam praktik
kultural, misalnya, bisa ditelusuri kembali ke konsep yang disusun oleh Deleuze
dengan Guattari dibawah nama “rizoma” (rhizome). Fokus praktik kesenian
saat ini pada “proses”, sebagai contoh lain, juga dapat dilihat sebagai
penerapan ide Deleuze tentang “becomings”. Atau lihat korpus para
pemikir termutakhir saat ini seperti Žižek,
Badiou, Hardt dan Negri – banyak gagasan mereka yang secara lansung dan tidak
langsung terinspirasi oleh filsafat Deleuze. Pengaruh Deleuze terlihat di area
budaya visual melalui tulisan-tulisan Vilém Flusser, atau di kajian teknologi
kontemporer seperti dalam karya-karya Bruno Latour. Di area seni kontemporer,
Simon O’Sullivan juga memiliki interpretasi yang menarik akan ide-ide
Deleuze.
Kesalahan terbesar yang bisa kita lakukan dalam
menggunakan filsafat Deleuze adalah semata mengkutipnya seperti semacam kitab
suci. Ini bertentangan dengan dinamisme filsafat Deleuze yang tidak hanya
terpaku pada pembacaan yang akurat atas teks yang sudah ada, tapi lebih dari
itu: bagaimana kita bisa menjalin suatu hubungan dengan gagasan yang sudah ada
dan memperluasnya, membawanya ke arahan-arahan yang tidak pasti dan tidak
terduga. Ini adalah taktik
berfilsafat yang sangat
khusus, dimana terjadi sebuah keretakan penting dari tradisi berfilsafat
sebelumnya. Kita tidak perlu menghayati ide-ide Deleuze selayaknya dogma:
melainkan, lebih penting untuk mencari cara untuk menggunakan Deleuze juga
sebagai sebuah alat untuk memobilisasi pola pikir baru dan tidak terbayangkan
atas peristiwa yang terjadi di sekitar kita.
Termasuk juga dalam area kesenian. Keliru jika kita semata
berusaha menggunakan ide-ide Deleuze untuk membaca suatu karya atau suatu
praktik kesenian, dengan harapan mengutarakan pemikiran baru tentang karya atau
praktik itu. Mengapa? Karena dengan cara ini tidak akan terjadi pengembangan
dari kompleksitas filsafat yang digunakan. Kita tidak menciptakan metode baru,
hanya menggunakan rumus lama. Mungkin dengan cara ini kita mencapai suatu
pembacaan baru tentang karya yang sedang dibicarakan, tapi – dan ini kesalahan
krusial – tidak ada metode baru yang kita ciptakan disini.
Disini kita juga bisa belajar dari bagaimana Deleuze
berhubungan dengan karya dan praktik tertentu. Ada 2 taktik yang digunakan
Deleuze: pertama, konsep-konsep tertentu membawa Deleuze ke karya dan praktik
tertentu (idenya tentang “body without organs”, misalnya, membawanya ke Francis
Bacon); kedua, karya dan praktik tertentu membawanya ke ide-ide tertentu (karya
Eisenstein dan Kurosawa adalah cara untuk mengartikulasikan ide-ide seperti
“perception-image” dan “action-image”).
John Rachmann menarik kesimpulan seperti berikut atas
bagaimana Deleuze menjalin hubungan antara filsafat dan kesenian: di tangan
Deleuze, filsafat dan kesenian adalah 2 tipe virus yang berbeda dan saling
menularkan, dan hanya dengan itu memiliki kapasitas untuk membiakkan pola pikir
baru, dimana “seni dan gagasan menjadi hidup dan menemukan gemanya melalui satu
sama lain.”
Subscribe to:
Posts (Atom)