Salah satu hal yang paling menarik dari Deleuze adalah
bagaimana pengaruhnya dapat dirasakan di area-area yang tidak terduga. Ini
menunjukkan bahwa filsafat Deleuze bersifat sepenuhnya pragmatis: bahkan diawal
karirnya ketika dia masih banyak berkutat dengan para sesepuhnya seperti
Nietzsche, Hume, Leibniz, dan – mungkin paling penting – Spinoza, kita dapat
merasakan bahwa dia tidak hanya tertarik untuk menelusuri teori-teori terdahulu
hanya demi pemahaman atasnya saja, tapi lebih dari itu, Deleuze seakan sedang
mencari cara untuk memahami realita yang dihidupinya dengan menggunakan teori-teori lama. Observasi Claire
Parnet, yang ia nyatakan dalam wawancaranya dengan Deleuze, bahwa bahkan ketika
Deleuze sedang melakukan interpretasi atas Nietzsche dan Kant, Deleuze tetap
terlihat sebagai seorang Deleuzian dan tidak semata seorang Nietzchean atau
Kantian, memang tepat. Filsafat, bagi Deleuze, adalah sebuah kendaraan yang digunakan untuk memobilisasi dan
mengaktivasi pemikiran baru, melampaui bayangan para filsuf terdahulu itu.
Pendekatan Deleuze akan filsafat yang sepenuhnya utilitarian adalah suatu model berfilsafat yang
menyegarkan: filsafat tidak dianggap sebagai spekulasi abstrak belaka tapi
suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan konkrit.
Damian Sutton memberi ulasan yang singkat namun tepat
tentang jangkauan pengaruh Deleuze. Jargon yang sering kita dengar
tentang pola pikir “non linear”, atau trend tentang “berjejaring” dalam praktik
kultural, misalnya, bisa ditelusuri kembali ke konsep yang disusun oleh Deleuze
dengan Guattari dibawah nama “rizoma” (rhizome). Fokus praktik kesenian
saat ini pada “proses”, sebagai contoh lain, juga dapat dilihat sebagai
penerapan ide Deleuze tentang “becomings”. Atau lihat korpus para
pemikir termutakhir saat ini seperti Žižek,
Badiou, Hardt dan Negri – banyak gagasan mereka yang secara lansung dan tidak
langsung terinspirasi oleh filsafat Deleuze. Pengaruh Deleuze terlihat di area
budaya visual melalui tulisan-tulisan Vilém Flusser, atau di kajian teknologi
kontemporer seperti dalam karya-karya Bruno Latour. Di area seni kontemporer,
Simon O’Sullivan juga memiliki interpretasi yang menarik akan ide-ide
Deleuze.
Kesalahan terbesar yang bisa kita lakukan dalam
menggunakan filsafat Deleuze adalah semata mengkutipnya seperti semacam kitab
suci. Ini bertentangan dengan dinamisme filsafat Deleuze yang tidak hanya
terpaku pada pembacaan yang akurat atas teks yang sudah ada, tapi lebih dari
itu: bagaimana kita bisa menjalin suatu hubungan dengan gagasan yang sudah ada
dan memperluasnya, membawanya ke arahan-arahan yang tidak pasti dan tidak
terduga. Ini adalah taktik
berfilsafat yang sangat
khusus, dimana terjadi sebuah keretakan penting dari tradisi berfilsafat
sebelumnya. Kita tidak perlu menghayati ide-ide Deleuze selayaknya dogma:
melainkan, lebih penting untuk mencari cara untuk menggunakan Deleuze juga
sebagai sebuah alat untuk memobilisasi pola pikir baru dan tidak terbayangkan
atas peristiwa yang terjadi di sekitar kita.
Termasuk juga dalam area kesenian. Keliru jika kita semata
berusaha menggunakan ide-ide Deleuze untuk membaca suatu karya atau suatu
praktik kesenian, dengan harapan mengutarakan pemikiran baru tentang karya atau
praktik itu. Mengapa? Karena dengan cara ini tidak akan terjadi pengembangan
dari kompleksitas filsafat yang digunakan. Kita tidak menciptakan metode baru,
hanya menggunakan rumus lama. Mungkin dengan cara ini kita mencapai suatu
pembacaan baru tentang karya yang sedang dibicarakan, tapi – dan ini kesalahan
krusial – tidak ada metode baru yang kita ciptakan disini.
Disini kita juga bisa belajar dari bagaimana Deleuze
berhubungan dengan karya dan praktik tertentu. Ada 2 taktik yang digunakan
Deleuze: pertama, konsep-konsep tertentu membawa Deleuze ke karya dan praktik
tertentu (idenya tentang “body without organs”, misalnya, membawanya ke Francis
Bacon); kedua, karya dan praktik tertentu membawanya ke ide-ide tertentu (karya
Eisenstein dan Kurosawa adalah cara untuk mengartikulasikan ide-ide seperti
“perception-image” dan “action-image”).
John Rachmann menarik kesimpulan seperti berikut atas
bagaimana Deleuze menjalin hubungan antara filsafat dan kesenian: di tangan
Deleuze, filsafat dan kesenian adalah 2 tipe virus yang berbeda dan saling
menularkan, dan hanya dengan itu memiliki kapasitas untuk membiakkan pola pikir
baru, dimana “seni dan gagasan menjadi hidup dan menemukan gemanya melalui satu
sama lain.”
No comments:
Post a Comment