Thursday, 18 June 2015

Komunitas (II)


Sentimen yang digambarkan oleh Bauman tentang komunitas (ada disini), juga disebut oleh Rancière di Emancipated Spectator ketika ia menulis tentang konsep ‘emansipasi’ (pemberdayaan). Menurut Rancière, yang menjadi persamaan antara para aktifis emansipasi sosial saat ini, kelompok contra-revolusi di Eropa di abad 18, dan para pemikir Pasca-Marxisme adalah bagaimana mereka bersedih-sedih membayangkan hilangnya ikatan sosial dan suatu komunitas yang lapisannya tertata dengan harmonis. “Komunitas yang terstruktur secara harmonis yang menjadi sumber nostalgia mereka adalah sebuah komunitas dimana semua orang ada pada tempatnya masing-masing, pada kelasnya masing-masing, hilang dalam tugas yang dialokasi pada mereka, dimana mereka dibekali dengan perangkat sensori dan intelektual yang tepat untuk tempat dan tugas tersebut” (Rancière, 42).
Ia melanjutkan bahwa jika ditarik kebelakang, konsep ‘komunitas’ seperti ini berpangkal pada pemikiran Plato, “dimana artisan (pekerja?) harus ada di posisi mereka karena pekerjaan tidak menunggu – pekerjaan tidak meluangkan waktu untuk ngobrol di agora (catatan: tempat kumpul-kumpul di zaman Yunani kuno), berunding di rapat atau menonton bayang-bayang di teater...” (ibid.) Yang ingin ditekankan oleh Rancière adalah, dalam pengertian seperti ini, ‘keharmonisan’ dalam sebuah komunitas sebenarnya didapatkan ketika tiap individu diberikan hubungan yang pasti antara pekerjaan dan peralatan, antara pekerjaan dan kemampuan. Dengan ini, tiap individu memiliki ‘tempat’ atau ‘posisi’nya masing-masing, dan mereka harus menetap disana agar keharmonisan komunitas mereka tetap terjaga.
Dalam konteks ini, ‘emansipasi’ dilihat sebagai pembebasan individu dari kemampuan (untuk merasa, berpikir, dan bertindak) yang sebelumnya ditetapkan untuk mereka oleh komunitas dimana mereka berada. Disini, emansipasi hanya bisa terjadi karena sebelumnya telah ada suatu taktik mendominasi yang sedang bekerja: ia hanya bisa hadir sebagai aksi penyelamat untuk apa yang sebelumnya tertindas. Atau, emansipasi hanya bisa hadir karena sudah ada penindasan yang sedang bekerja.
Menurut pemikiran Rancière, berarti tidak bisa ada emansipasi tanpa adanya penindasan terlebih dahulu; emansipasi dan penindasan tak lebih adalah bagian yang berbeda dari logika yang sama. Maka dari itu, emansipasi tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai respon kritis terhadap penindasan. Perlu dipahami bahwa untuk Rancière respon kritis seharusnya tidak terbatas pada sekadar mencari-cari kesalahan dari fakta yang ada, atau sekadar “membuka kedok” dari hal-hal yang telah diakui dan dianggap benar. Melainkan, respon kritis seharusnya menawarkan konfigurasi baru dengan pemahaman bahwa tidak ada realita yang terselubung dibalik permukaan ataupun suatu rezim tunggal yang memaksakan kehendaknya (dan harus dibuka kedoknya).
Dengan ini, Rancière menyodorkan suatu cara lain untuk memahami arti bukan hanya ‘komunitas’ tapi juga ‘emansipasi’, yang tidak terus menerus terkungkung dalam paradigma penindasan yang kusut dan sudah lama sekali tidak kemana-mana.


No comments:

Post a Comment