Sentimen yang digambarkan oleh Bauman tentang komunitas (ada disini), juga
disebut oleh Rancière di Emancipated
Spectator ketika ia menulis tentang konsep ‘emansipasi’ (pemberdayaan). Menurut
Rancière, yang menjadi persamaan antara para aktifis emansipasi sosial saat
ini, kelompok contra-revolusi di Eropa di abad 18, dan para pemikir
Pasca-Marxisme adalah bagaimana mereka bersedih-sedih membayangkan hilangnya
ikatan sosial dan suatu komunitas yang lapisannya tertata dengan harmonis.
“Komunitas yang terstruktur secara harmonis yang menjadi sumber nostalgia
mereka adalah sebuah komunitas dimana semua orang ada pada tempatnya
masing-masing, pada kelasnya masing-masing, hilang dalam tugas yang dialokasi
pada mereka, dimana mereka dibekali dengan perangkat sensori dan intelektual
yang tepat untuk tempat dan tugas tersebut” (Rancière, 42).
Ia melanjutkan bahwa jika ditarik kebelakang, konsep ‘komunitas’ seperti
ini berpangkal pada pemikiran Plato, “dimana artisan (pekerja?) harus ada di posisi
mereka karena pekerjaan tidak menunggu – pekerjaan tidak meluangkan waktu untuk
ngobrol di agora (catatan: tempat
kumpul-kumpul di zaman Yunani kuno), berunding di rapat atau menonton
bayang-bayang di teater...” (ibid.) Yang ingin ditekankan oleh Rancière adalah,
dalam pengertian seperti ini, ‘keharmonisan’ dalam sebuah komunitas sebenarnya didapatkan
ketika tiap individu diberikan hubungan yang pasti antara pekerjaan dan
peralatan, antara pekerjaan dan kemampuan. Dengan ini, tiap individu memiliki
‘tempat’ atau ‘posisi’nya masing-masing, dan mereka harus menetap disana agar
keharmonisan komunitas mereka tetap terjaga.
Dalam konteks ini, ‘emansipasi’ dilihat sebagai pembebasan individu dari
kemampuan (untuk merasa, berpikir, dan bertindak) yang sebelumnya ditetapkan
untuk mereka oleh komunitas dimana mereka berada. Disini, emansipasi hanya bisa
terjadi karena sebelumnya telah ada suatu taktik mendominasi yang sedang
bekerja: ia hanya bisa hadir sebagai aksi penyelamat untuk apa yang sebelumnya
tertindas. Atau, emansipasi hanya bisa hadir karena sudah ada penindasan yang
sedang bekerja.
Menurut pemikiran Rancière, berarti tidak bisa ada emansipasi tanpa adanya
penindasan terlebih dahulu; emansipasi dan penindasan tak lebih adalah bagian
yang berbeda dari logika yang sama. Maka dari itu, emansipasi tidak bisa
sepenuhnya dianggap sebagai respon kritis terhadap penindasan. Perlu dipahami
bahwa untuk Rancière respon kritis seharusnya tidak terbatas pada sekadar
mencari-cari kesalahan dari fakta yang ada, atau sekadar “membuka kedok” dari
hal-hal yang telah diakui dan dianggap benar. Melainkan, respon kritis
seharusnya menawarkan konfigurasi baru dengan pemahaman bahwa tidak ada realita
yang terselubung dibalik permukaan ataupun suatu rezim tunggal yang memaksakan
kehendaknya (dan harus dibuka kedoknya).
Dengan ini, Rancière menyodorkan suatu cara lain untuk memahami arti bukan
hanya ‘komunitas’ tapi juga ‘emansipasi’, yang tidak terus menerus terkungkung
dalam paradigma penindasan yang kusut dan sudah lama sekali tidak kemana-mana.