Mengulik
otak untuk ide untuk acara Arte-Polis di ITB. Menurut tafsiran saya akan tema, yang
ingin dibahas adalah diperlukannya hubungan antar disiplin-disiplin ilmu untuk mengkaji
‘the making of place’. Saya akan membahas bagaimana ilmu filsafat dan ilmu
design bisa melengkapi satu sama lain dalam memberikan solusi terhadap
persoalan ‘living smart by design’ yang menjadi sub-tema acara ini.
Secara
umum, dalam wacana environmentalism, tugas filsafat adalah menjelaskan
elemen-elemen terselubung dari hubungan antara manusia dan alam, yang mungkin
terlewatkan oleh perspektif ilmu yang lain. Seperti yang kita tahu, ada dua
asumsi terkenal yang mendasari pengertian populer tentang hubungan ini.
Pertama, asumsi bahwa alam adalah suatu domain netral, yang menjadi ‘bermarkna’
karena proyeksi manusia akan berbagai perasaan dan penilaiannya. Alam adalah
‘sesuatu yang ada di luar sana’, dan hanya mempunyai ‘makna’ karena adanya
manusia yang mempunyai kemampuan untuk ‘menyorotkan’ berbagai gagasan dan
norma kepadanya. Asumsi ini bermasalah, karena meletakkan manusia pada posisi
yang memiliki kekuatan sebagai ‘penghasil makna’, dan juga mengimplikasikan
bahwa segala tindakan kita tidak hanya ‘bermakna’, tapi juga ‘berbobot’, dan
bahkan ‘bernorma’. Lihat sekilas berbagai kerusakan lingkungan yang ada
disekitar kita, dan kita akan sadar bahwa premis ini tidak benar. Tindakan
manusia sering tidak ‘bernorma’ ataupun ‘bermakna’, maka sumber ‘makna’ dari
kejadian alam bukanlah manusia.
Jadi
apa dong? Asumsi terkenal kedua beranggapan bahwa hubungan antara manusia dan alam dicirikan oleh ‘kesatuan’ antaranya.
Ini memang pendapat yang lebih bisa dipertanggung-jawabkan daripada gagasan
akan ‘alam-sebagai-objek’ diatas. Makna dan nilai alam, menurut perspektif ini,
terbentuk karena adanya sebuah ‘kinship’ atau ‘kekerabatan’ antara kita dan
alam. Di bingkai teleologis seperti ini, manusia dan alam dianggap ‘bersatu’
dengan selaras dan seimbang. Seperti kita lihat, kesalahan asumsi pertama tadi terletak pada reduksinya akan ‘keliaran’ alam sebagai semata
objek netral tanpa makna, jika tidak ada kehadiran manusia. Kesalahan asumsi kedua terletak pada pengertian bahwa
manusia dan alam mempunyai ‘kesatuan’, dimana manusia bisa selalu sepenuhnya mengerti
cara-cara kerja dan hukum-hukum alam.
Caspar David Friedrich, Wanderer above the Sea of Fog, 1818 |
Ini
juga jelas salah. Karena, seperti yang sering kita rasakan, nature overwhelms: sering kita tidak
dapat menduga atau mengerti sepenuhnya kejadian-kejadian alam. Ini dirasakan
baik dalam suasana takjub seperti si figur orang di lukisan Caspar David Friedrich diatas, maupun dalam pengalaman terperangah saat melihat perubahan
ekologis sebagai dampak dari degradasi lingkungan. Tidak ada ‘kesatuan’ atau
‘ke-sambungan’ yang harmonis disini antara pengertian, kepercayaan maupun
harapan saya akan alam, dengan alam itu sendiri secara konkrit dan riil.
Smog in Jakarta |
Jadi,
gagasan tentang etika lingkungan hidup yang lebih ‘manusiawi’ (apapun itu
maksudnya) mungkin bisa terbentuk dari
eksplorasi tentang ide discontinuity
(ketidak bersambungan?) yang mencirikan hubungan antara kita dan alam. Di beberapa posting berikutnya, akan saya coba bongkar ide awal ini.